Kuhancurkan Harga Dirimu, Galih
/0/30892/coverbig.jpg?v=da461d8505888db26cd08f12daafd534&imageMogr2/format/webp)
ludah saat ia membatalkan rencana restoran kami untuk ke-52 kalinya. Aku menole
membutuhkannya, ia justru mengirimiku
ak ingat aku a
ngundurkan diri dari pekerjaan, dan kembali ke kampung halaman untuk memulai
Ia bahkan berlutut di depan kantor bar
karena kamu membatalkan pernikahan kita 52 kali. Aku tidak akan menikahimu karena kamu me
seperti ia menghancurkan hatiku. Mulai seka
a
Suwi
u tahu ada yang tidak beres. Angka lima puluh dua. Itu bukan sekadar angka, itu adalah pengingat betap
seperti ditusuk jarum. Aku hanya ingin bersandar pada bahu Galih, mencari sedikit kekuatan di tengah kekacau
ung sana terasa seperti jurang yang menganga, menelan habis sisa harapanku. "Davina butuh aku, Mir," jawabnya, suaranya terdengar jauh da
g terukir indah, hasil pilihanku sendiri. Ini adalah tempat kami, atau setidaknya, aku berpikir begitu. Tapi kini, bayangan Davina Arsyad, mod
terdengar lembut tapi tegang. "Ayah dengar Galih lagi sibuk sama model itu lagi." Aku hanya bisa mengangguk, padahal mereka tidak bisa me
tu berharga, semua kukesampingkan demi mendukungnya. Aku merancang menu restoran kami, membantunya mencari investor, bahkan membe
ku gemetar saat menggenggam getaran ponsel di sakuku. Galih. Dia membatalkan proyek ini lagi. "Davina pingsan, Mir. Aku
emuanya beres!" Aku mencoba menjelaskan, berharap ia mengerti. "Davina lebih butuh aku," ulangnya, seolah itu adalah mantra a
atanya, suaranya kini terdengar lebih halus, seperti madu yang terlalu kental dan lengket. Aku mendengarnya, tapi ka
mati. Dia pergi. Meninggalkanku sendirian di antara puing-pui
yang berulang, sebuah siklus penghancuran yang terus terjadi, dan aku, dengan bodohnya
amarah yang kini mulai membakar seluruh relung hatiku. Aku tidak menangis, tidak menjerit. Hanya
seolah itu bisa menghapus segalanya. Aku memaksakan senyum tipis. "Tidak apa-apa," jawabku, suaraku datar dan ha
adalah teka-teki yang sulit dipecahkan. Aku hanya mengangkat bahu acuh t
biru. "Aku bawakan makanan favoritmu. Sup tom yum udang." Aku menatap kotak it
menatapnya, menghindari tatapannya. Ha
m pahit merekah di bibirku. Ini bukan makanan favoritku. Aku alergi seafood. Makanan ini... Makanan in
a kami. Dulu, setiap melihatnya, hatiku berdesir, dipenuhi kebahagiaan. Kini, kalung itu terasa seperti ran
at di telapak tanganku. Tidak ada lagi kehangatan yan
alung itu ke sana. Suara dentingan logam beradu dengan plastik. Be
. Cukup. Semuanya