Tunanganku punya saudara kembar. Selama setahun terakhir, pria yang tidur seranjang denganku sama sekali bukan tunanganku. Aku baru tahu kalau pria yang kucintai hanyalah seorang aktor, seorang pengganti. Tunanganku yang asli, Brama, diam-diam sudah menikah dengan adik angkatnya, Kirana. Tapi rencana mereka jauh lebih jahat daripada sekadar bertukar tempat. Mereka akan membiarkanku menikahi si kembaran, lalu merekayasa sebuah "kecelakaan" untuk mengambil kornea mataku untuk Kirana. Saat aku mengetahui rencana busuk mereka, Kirana malah memfitnahku telah menyerangnya. Brama, pria yang pernah bersumpah akan melindungiku, tega menyuruh orang mencambukku sampai aku terkapar berlumuran darah di lantai. Lalu Kirana membunuh kakek Brama dan lagi-lagi menyalahkanku. Tanpa ragu, Brama menjebloskanku ke rumah sakit jiwa agar aku membusuk di sana. Dia tidak pernah sekalipun meragukan kebohongan Kirana. Dia begitu saja membuangku, wanita yang selama lima tahun diakuinya sebagai kekasih hatinya. Tapi mereka lupa satu hal. Aku bukan hanya Farah Maheswari, seorang yatim piatu tak berdaya. Aku adalah Aurora Suryakancana, pewaris sebuah kerajaan bisnis raksasa. Setelah diselamatkan dari neraka itu, aku memalsukan kematianku dan menghilang. Sekarang, aku kembali untuk memulai hidup baru, dan kali ini, aku hidup untuk diriku sendiri.
Tunanganku punya saudara kembar. Selama setahun terakhir, pria yang tidur seranjang denganku sama sekali bukan tunanganku.
Aku baru tahu kalau pria yang kucintai hanyalah seorang aktor, seorang pengganti. Tunanganku yang asli, Brama, diam-diam sudah menikah dengan adik angkatnya, Kirana.
Tapi rencana mereka jauh lebih jahat daripada sekadar bertukar tempat. Mereka akan membiarkanku menikahi si kembaran, lalu merekayasa sebuah "kecelakaan" untuk mengambil kornea mataku untuk Kirana.
Saat aku mengetahui rencana busuk mereka, Kirana malah memfitnahku telah menyerangnya. Brama, pria yang pernah bersumpah akan melindungiku, tega menyuruh orang mencambukku sampai aku terkapar berlumuran darah di lantai.
Lalu Kirana membunuh kakek Brama dan lagi-lagi menyalahkanku. Tanpa ragu, Brama menjebloskanku ke rumah sakit jiwa agar aku membusuk di sana.
Dia tidak pernah sekalipun meragukan kebohongan Kirana. Dia begitu saja membuangku, wanita yang selama lima tahun diakuinya sebagai kekasih hatinya.
Tapi mereka lupa satu hal. Aku bukan hanya Farah Maheswari, seorang yatim piatu tak berdaya. Aku adalah Aurora Suryakancana, pewaris sebuah kerajaan bisnis raksasa. Setelah diselamatkan dari neraka itu, aku memalsukan kematianku dan menghilang. Sekarang, aku kembali untuk memulai hidup baru, dan kali ini, aku hidup untuk diriku sendiri.
Bab 1
Sudut Pandang Farah Maheswari:
Tunanganku punya saudara kembar. Selama setahun terakhir, pria yang tidur seranjang denganku sama sekali bukan tunanganku.
Aku mengetahui hal ini dari sebuah pesan singkat tanpa nama.
"Datang ke Villa Bintang. Kamar 302. Ada kejutan untukmu."
Hampir saja pesan itu kuhapus. Aku dan Brama sudah bersama selama lima tahun. Bulan depan kami akan menikah. Ini pasti ulah murahan dari wanita putus asa yang tidak terima Brama akan menjadi milikku seutuhnya.
Jariku sudah melayang di atas tombol blokir.
Tapi kemudian, pesan kedua masuk. Sebuah video.
Jantungku mulai berdebar kencang dan berat di dalam dada. Aku menekan tombol putar.
Videonya goyang, direkam dari seberang sebuah bar yang remang-remang. Aku melihat seorang pria yang wajahnya sama persis dengan Brama-rahang yang tegas, rambut gelap yang selalu ia sisir ke belakang. Tapi pria ini berbeda. Dia membungkuk di atas meja bar, sebatang rokok murah terselip di bibirnya, matanya memancarkan kilatan sinis dan nekat yang belum pernah kulihat pada Brama.
Dia tertawa bersama orang yang merekamnya.
"Jadi, kau benar-benar akan melakukannya?" tanya orang di balik kamera. "Kau akan berpura-pura menjadi dia? Dan menikahi pacarnya?"
Pria yang mirip Brama itu mengisap rokoknya dalam-dalam dan mengembuskan asap berbentuk cincin. "Kenapa tidak? Dia membayarku mahal. Lagipula," seringainya, suaranya serak, berbeda jauh dari suara Brama yang halus dan merdu, "kedengarannya seru juga. Menjadi CEO sempurna untuk sementara."
Video itu berakhir.
Ponsel terlepas dari jemariku yang kaku, jatuh berdebam di lantai kayu. Aku tidak bisa bernapas. Rasanya seperti ada tali yang mengikat dadaku, meremas udara dari paru-paruku.
Sebuah permainan. Hidupku, cinta kami, hanyalah sebuah permainan.
Aku tidak ragu lagi. Kuraih kunci mobilku, pikiranku dipenuhi badai penyangkalan dan teror yang membara. Aku melaju ke Villa Bintang, alamat dari pesan itu terpatri di benakku.
Villa itu adalah sebuah resor pribadi terpencil milik Brama, tempat yang hanya diperuntukkan bagi klien-klien terpentingnya. Aku belum pernah ke sini. Dia selalu bilang ingin memisahkan kehidupan kerjanya dari kehidupan kami.
Aku menemukan Kamar 302. Pintunya sedikit terbuka. Tanganku gemetar saat mendorongnya, cukup untuk bisa mengintip ke dalam.
Dan kemudian aku mendengar suaranya. Suara Brama yang asli. Bukan suara serak tiruan dari video, tapi suara yang selama lima tahun telah membisikkan janji-janji manis di telingaku.
"Jadilah anak baik, Kirana. Makan supnya sedikit lagi."
Itu adalah nada suara yang sudah bertahun-tahun tidak kudengar. Lembut. Sabar. Penuh kasih sayang yang tak lagi ia tunjukkan padaku.
Aku mengintip dari celah pintu. Brama sedang duduk di tepi tempat tidur, dengan hati-hati menyuapi seorang wanita yang matanya diperban. Kirana. Adik angkatnya.
Dengan lembut ia menyeka setetes sup dari dagu Kirana dengan ibu jarinya. Sebuah tindakan yang begitu intim hingga membuatku mual.
Wanita itu memakai jam tangan Brama. Patek Philippe yang uangnya kutabung selama dua tahun untuk hadiah ulang tahun ketiga kami. Jam itu terlihat longgar di pergelangan tangannya yang mungil, pengingat berkilauan akan cinta yang seharusnya menjadi milikku.
"Aku tidak mau, Brama," gumam Kirana, suaranya lemah dan rapuh. "Rasanya pahit."
"Aku tahu," bujuk Brama. "Tapi ini baik untukmu. Dokter bilang kau butuh nutrisi untuk membantumu pulih." Dia berbicara tentang kecelakaan mobil yang dialami Kirana setahun lalu, yang katanya menyebabkan cedera otak parah, amnesia, dan kebutaan parsial. Dia bilang itu salahnya, seharusnya dia yang menyetir.
Hatiku, yang kupikir tak bisa lebih hancur lagi, remuk berkeping-keping.
Lalu suara rapuh Kirana kembali memecah keheningan. "Kak... apa kita benar-benar sudah menikah?"
Sendok di tangan Brama berhenti di tengah jalan menuju bibir Kirana. Keheningan di ruangan itu memekakkan telinga.
"Ya," katanya, suaranya rendah dan tegas. "Kita sudah menikah."
Dunia seakan jungkir balik. Telingaku berdenging. Menikah. Dia sudah menikah dengan adiknya. Sementara dia bertunangan denganku.
"Lalu... lalu bagaimana dengan Farah?" tanya Kirana, wajahnya yang diperban menoleh ke arahku seolah bisa merasakanku di sana. "Kau masih akan menikahinya bulan depan."
Brama meletakkan mangkuk itu. "Jangan khawatirkan dia. Itu hanya formalitas."
Formalitas. Lima tahun hidupku, sebuah formalitas.
"Aku akan biarkan Danu yang menjalani upacaranya," lanjutnya, suaranya begitu tenang dan mengerikan. "Dia sangat mencintaiku, dia penurut sekali. Dia tidak akan sadar perbedaannya. Setelah pernikahan, kita akan atur sebuah... kecelakaan kecil. Kornea matanya sangat cocok untukmu, Kirana. Begitu kau mendapatkan matanya, kau akan bisa melihat lagi."
Aku membekap mulutku untuk menahan jeritan. Darahku seakan membeku. Dia bukan hanya berencana menggantikan dirinya dalam hidupku. Dia berencana membuangku, memotong-motong tubuhku seolah aku tak lebih dari sekumpulan aset.
Aku teringat semua saat dia membelai wajahku dan berkata dia mencintai mataku. "Matamu jernih sekali, Farah," katanya dulu. "Seperti menatap langit yang cerah." Dia bukan sedang mengagumiku. Dia sedang berbelanja.
Semua pengorbanan yang telah kulakukan untuknya melintas di benakku. Aku melepaskan mimpiku menjadi pelukis karena dia bilang bau terpentin membuatnya pusing. Aku mengubah seluruh gaya berpakaianku karena dia lebih suka gaya klasik yang kalem. Aku menjauhi teman-teman yang dianggapnya terlalu berisik atau tidak berkelas. Aku telah membentuk diriku menjadi wanita sempurna untuknya, menghapus bagian-bagian dari diriku sampai aku hanyalah cerminan dari keinginannya.
Dan untuk apa? Untuk menjadi donor organ bagi istri rahasianya.
Tiba-tiba, kepala Brama menoleh ke arah pintu. "Siapa di sana?"
Jantungku berhenti berdetak. Aku menahan napas, menempelkan diriku rata ke dinding.
Dia bangkit dan berjalan menuju pintu. Aku bisa melihat bayangannya semakin besar, membentang di lantai. Selama sedetik yang menakutkan, kupikir dia akan menemukanku. Tapi dia hanya melirik keluar, tatapannya melewati tempat persembunyianku di lorong yang remang-remang, lalu dia menutup pintu dengan rapat.
Aku mendengar suara kunci berputar.
Dari balik pintu kayu, aku bisa mendengar suara Danu, sekarang jelas dan berada di dalam ruangan bersama mereka. "Semua berjalan sesuai rencana?"
"Sempurna," jawab Brama. "Dia tidak curiga sama sekali."
Dia mengangkat Kirana ke dalam pelukannya, menggendongnya seolah wanita itu adalah hal paling berharga di dunia, dan membawanya lebih jauh ke dalam suite, menjauh dari pintu.
Kakiku akhirnya lemas. Aku merosot ke dinding, tubuhku gemetar tak terkendali.
Saat itu juga, ponselku bergetar di tanganku. ID penelepon menunjukkan "Brama."
Jariku gemetar saat menjawab.
"Hai, sayang," suara ceria dan serak kembarannya, Danu, memenuhi telingaku. "Cuma telepon mau bilang selamat malam. Aku kangen."
Perutku mual karena jijik.
"Brama," bisikku, suaraku pecah dan parau karena air mata yang tertahan. "Kita putus."
"Apa katamu, manis?" tanyanya. Embusan angin menderu di luar villa, dan dia pasti tidak mendengarku karena suara bising itu. "Aku tidak bisa mendengarmu. Sampai jumpa besok, ya? Aku cinta kamu."
Dia menutup telepon.
Keputusan final itu menghantamku seperti pukulan fisik. Dia bahkan tidak mendengarku. Deklarasi kebebasanku, usaha terakhirku yang putus asa untuk merebut kembali sebagian dari diriku, hilang ditelan angin.
Aku duduk di sana, di lantai dingin sebuah hotel yang seharusnya tidak kudatangi, dan akhirnya aku membiarkan air mata jatuh. Aku telah memberikan pria ini hatiku, jiwaku, seluruh duniaku. Dan dia telah mengambil semuanya, berencana meninggalkanku tanpa apa-apa selain kuburan kosong.
Yah, dia salah.
Kuseka air mataku dengan punggung tangan. Cintaku bukanlah hadiah untuk dibuang. Itu adalah bagian dari diriku. Dan aku akan mengambilnya kembali.
Ponselku bergetar lagi. Pesan lain dari nomor tak dikenal.
Kali ini bukan peringatan. Melainkan sebuah penawaran.
"Bukan hanya dia yang punya pilihan. Kau juga. Tertarik dengan perjanjian baru?"
Bab 1
29/10/2025
Bab 2
29/10/2025
Bab 3
29/10/2025
Bab 4
29/10/2025
Bab 5
29/10/2025
Bab 6
29/10/2025
Bab 7
29/10/2025
Bab 8
29/10/2025
Bab 9
29/10/2025
Bab 10
29/10/2025
Bab 11
29/10/2025
Bab 12
29/10/2025
Bab 13
29/10/2025
Bab 14
29/10/2025
Bab 15
29/10/2025
Bab 16
29/10/2025
Bab 17
29/10/2025
Bab 18
29/10/2025
Bab 19
29/10/2025
Bab 20
29/10/2025
Buku lain oleh Gavin
Selebihnya