Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Gairah Liar Istri Kecilku

Gairah Liar Istri Kecilku

Queen Mikayla

5.0
Komentar
55
Penayangan
5
Bab

WARNING 21+ HARAP BIJAK DALAM MEMILIH BACAAN! AREA DEWASA! *** Saat kencan buta, Maia Vandini dijebak. Pria teman kencan butanya memberikan obat perangsang pada minuman Maia. Gadis yang baru lulus SMA ini berusaha untuk melarikan diri. Hingga ia bertemu dengan seorang pria asing yang ternyata seorang CEO. "Akh... panas! Tolong aku, Om.... " "Jangan salahkan aku! Kau yang memulai menggodaku!"

Bab 1 Kencan Buta

"Temui pria ini!" suara Bibi Nana tegas, nyaris seperti perintah.

Maia menatap kertas kecil berisi alamat restoran yang baru saja diserahkan Bibi Nana. Tinta hitam di atas kertas itu seakan menyala di matanya.

Maia menelan ludah, tangannya meremas gaun lusuh yang ia kenakan. "Bibi, aku baru lulus SMA. Aku ingin kuliah. Aku ingin punya masa depan yang aku pilih sendiri."

Tamparan mendarat begitu cepat di pipinya, hingga wajahnya refleks menoleh ke samping. Panasnya seketika menjalar. Maia tertegun, tangannya menyentuh pipi yang kini berdenyut.

"Kau pikir hidup ini murah? Sepuluh tahun kami mengurusmu! Makan, sekolah, tempat tinggal-semua itu butuh uang!" Suara Bibi Nana meninggi. "Ini saatnya kau membayar!"

Maia menunduk, merasakan matanya mulai memanas. Sejak kecil, setelah kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan, ia tinggal bersama Paman Rudi dan Bibi Nana. Ia tahu mereka bukan orang kaya, tapi ia tidak pernah menyangka bahwa kasih sayang yang ia terima selama ini ternyata bukan tulus, melainkan investasi yang harus ia kembalikan.

"Bibi, aku janji akan bekerja sambil kuliah. Aku akan membayar semua pengeluaran yang sudah bibi dan paman keluarkan untukku, tapi jangan suruh aku menikah hanya demi uang!" suaranya bergetar, namun tekadnya kuat.

Bibi Nana mendengus, melipat tangan di dada. "Apa yang bisa kau lakukan dengan ijazah SMA? Kau pikir kau bisa membayar semua itu hanya dengan kerja sambilan? Kau harus realistis, Maia!"

Maia menggeleng cepat. "Aku bisa cari beasiswa-"

"Omong kosong!" Kali ini, tangan Bibi Nana terangkat lagi, tetapi Maia mundur selangkah, menghindari tamparan kedua.

Paman Rudi yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara. "Maia, dengarkan bibimu. Kau tahu kami tidak mungkin terus menanggung beban ini. Pria yang akan kau temui itu kaya. Jika kau menikah dengannya, hidupmu akan terjamin."

"Bagaimana jika aku tidak bahagia?" Maia berani menatap mereka berdua.

Bibi Nana mencibir. "Bahagia itu bisa dibeli. Kau hanya perlu hidup enak, tak perlu khawatir soal uang. Apa lagi yang kau inginkan?"

Maia terdiam.

"Besok malam, jam tujuh, di restoran ini," Bibi Nana menepuk kertas di tangan Maia. "Datanglah, berpakaian rapi, dan bersikaplah manis. Jangan buat malu!"

Setelah berkata demikian, Bibi Nana berbalik, meninggalkan Maia dengan Paman Rudi yang hanya menghela napas berat.

***

Malam itu, Maia duduk di meja restoran yang telah dipesan. Gaun yang ia kenakan terasa asing di tubuhnya-terlalu mewah, terlalu berlebihan untuk seseorang yang bahkan tak ingin berada di sini.

Maia menggigit bibirnya, tangannya mencengkeram ujung rok ketika melihat pria di depannya. Usianya jauh di atasnya, dengan perut sedikit buncit dan senyum yang terasa menjijikkan.

"Kau Maia, kan?" suara pria itu berat, matanya menelusuri tubuh Maia tanpa malu-malu.

Maia menelan ludah, merasa perutnya mual. "Iya..." suaranya hampir tak terdengar.

"Bagus. Aku Alex. Nana sudah banyak bercerita tentangmu. Gadis muda, cantik, dan pastinya akan jadi istri yang baik," Alex tertawa kecil, mengambil gelas anggur dan menyesapnya pelan.

Maia ingin bangkit dari kursinya, ingin berlari, tetapi bayangan wajah Bibi Nana dan ancaman yang diberikan membuatnya tetap duduk. Ia tahu, jika ia kabur, ia tak punya tempat untuk pulang.

"Kau tahu, aku orang yang murah hati," lanjut Alex, menatap Maia seolah ia barang dagangan. "Aku sudah menyiapkan mahar 500 juta untukmu. Itu cukup, kan? Sebagai ganti semua biaya yang dikeluarkan keluargamu untukmu?"

Maia mengepalkan tangannya di bawah meja. "Aku bukan barang yang bisa dibeli," katanya tegas.

Alex terkekeh, meletakkan gelasnya. "Semua wanita punya harga, Maia. Tinggal berapa yang mereka pasang."

Maia ingin berteriak, tapi ia tahu itu tak ada gunanya. Pria ini jelas bukan tipe yang bisa dibantah dengan kata-kata.

Alex melambai ke pelayan, dan beberapa menit kemudian, segelas jus jeruk diletakkan di hadapan Maia. "Minumlah," katanya.

Maia menatap gelas itu ragu.

"Apa? Takut aku meracunimu?" Alex terkekeh, mengambil gelas anggurnya kembali. "Tenang saja, aku ingin kau tetap hidup. Kau terlalu berharga untuk mati begitu saja."

Maia memaksakan senyum, lalu menyesap jus itu sedikit. Rasanya biasa saja, tak ada yang aneh.

Tapi beberapa menit kemudian, tubuhnya mulai terasa berbeda. Panas menjalar dari tengkuk ke dada, lalu turun ke perutnya. Keringat mulai muncul di pelipisnya, napasnya menjadi lebih berat.

Maia mengerjapkan mata, mencoba tetap fokus.

"Kenapa... aku merasa aneh?" gumamnya.

Alex tersenyum puas. "Obat itu bekerja lebih cepat dari yang kukira."

Maia tersentak. "Apa... yang kau lakukan?"

Alex bangkit dari kursinya, mendekati Maia yang kini kesulitan mengontrol tubuhnya. Ia berjongkok di sampingnya, membelai rambut gadis itu.

"Aku hanya membantumu sedikit," bisiknya. "Agar kau lebih mudah menerima takdirmu."

Maia ingin menjerit, tapi suaranya hanya keluar sebagai desahan yang memalukan. Ia merasa tubuhnya bukan lagi miliknya.

"Tidak..." Maia memaksakan diri untuk bangkit, tapi lututnya lemas.

Alex tertawa, dengan mudahnya menyelipkan lengan di bawah tubuh Maia, mengangkatnya dari kursi.

"Kita seberangi jalan sebentar, sayang. Aku sudah menyiapkan kamar yang nyaman untuk kita," katanya, berjalan menuju pintu restoran dengan Maia di pelukannya.

Pikiran Maia berkabut, tapi satu hal yang ia tahu pasti-jika ia sampai ke hotel itu, semuanya akan berakhir.

Tidak.

Dengan sisa tenaga, Maia menggerakkan tangannya, mencengkeram bahu Alex dan menggigit sekuat tenaga.

"ARGH!" Alex berteriak, melepaskan Maia dari pelukannya.

Maia terjatuh ke lantai, tapi adrenalin membuatnya segera merangkak menjauh. Napasnya memburu, tubuhnya masih terasa panas, tapi pikirannya mulai sedikit jernih.

Orang-orang di restoran mulai memperhatikan.

"Ada apa ini?" salah satu pelayan mendekat.

Maia memanfaatkan kekacauan itu untuk berlari keluar restoran, meski kakinya masih terasa lemas. Ia tidak tahu harus ke mana, hanya satu tujuannya-menjauh dari pria itu.

Alex mengumpat, mengejar Maia. "BERHENTI!"

Maia menoleh ke belakang, melihat pria itu semakin dekat. Ia menyeberang jalan tanpa pikir panjang, mendengar suara klakson mobil yang hampir menabraknya.

Tubuhnya bergetar, dadanya naik turun. Ia tidak bisa pulang, tidak bisa kembali ke Bibi Nana, dan sekarang ada pria yang ingin menangkapnya.

Matanya liar mencari tempat persembunyian, lalu melihat sebuah gang sempit di antara dua bangunan.

Tanpa berpikir dua kali, ia berlari ke dalamnya.

Alex tidak bisa mengejar. Lelaki itu berdiri di pinggir jalan, mengumpat kesal.

"Kau tidak akan bisa lari selamanya, Maia," gumamnya. "Aku akan menemukannya lagi."

Sementara itu, di dalam gang, Maia tersungkur, tubuhnya masih bereaksi terhadap obat itu. Air mata turun di pipinya, tapi ia menggigit bibir, menahan isak.

"Aku harus selamat. Aku harus keluar dari semua ini."

Maia berusaha bertahan, menekan gejolak yang membakar tubuhnya. Setiap sel di dalam dirinya terasa panas, pikirannya berkabut. Langkahnya goyah saat mencoba menyeberang jalan. Tapi sialnya, sebuah mobil melaju cepat dari arah kiri.

BRAK!

Tubuhnya terhempas ke samping, jatuh ke aspal dengan nyeri yang menjalar di sekujur tubuhnya.

"Kampret! Apa dia baik-baik saja?" suara seorang pria terdengar dari kejauhan, lalu bunyi pintu mobil dibanting.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Queen Mikayla

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku