Cinta sejati tak pernah meminta, tapi memberi. Kata-kata itu masih terngiang jelas di telinga Rania. Selama bertahun-tahun berjuang, ternyata tak cukup berarti bagi ibu mertuanya. Sedangkan suami yang selama ini mati-matian membelanya, malah berbalik tak lagi menyukainya.
*Mengemis Cinta Suami*
"Cinta sejati tidak pernah meminta, tapi memberi."
Kata-kata itu masih jelas terngiang di telinga Rania. Tanpa sadar, air mata meleleh membasahi kulit wajahnya yang bersih. Dengan tubuh yang masih tertutup selimut, Rania meringkuk dalam pelukan bantal guling kesayangannya. Ya, itu adalah tubuh suaminya.
Rania memejamkan mata, berusaha menenangkan diri, tapi rasa sesak di dadanya tidak bisa ia hindari. Andra, suaminya, yang dulu selalu hadir di sampingnya, yang dulu selalu menggenggam tangannya dengan penuh cinta, kini terasa begitu jauh. Jarak antara mereka bukan lagi hanya fisik, tapi juga hati. Setiap kali ia mencoba mendekat, Andra selalu menghindar. Mungkin, kata-kata yang ia dengar tentang cinta sejati itu benar-cinta sejati memang tidak pernah meminta, tapi ... apakah cinta yang selalu memberi itu tidak akan pernah lelah? Apakah ia akan selalu bisa memberi tanpa merasa diberi?
Rania menarik napas panjang, mencoba mengusir bayangan-bayangan itu dari pikirannya. Namun, kenangan itu datang begitu saja, seperti aliran air yang tak bisa dibendung. Dua tahun terakhir adalah ujian terberat dalam hidupnya. Ia tidak tahu harus mulai dari mana. Waktu berjalan, dan meski ia berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan rumah tangga ini, ia merasa semakin kehilangan Andra.
***
Pagi itu, Rania bangun lebih pagi dari biasanya. Cahaya matahari yang masuk melalui celah tirai menembus ruangan, memberikan nuansa keemasan yang hangat. Dengan langkah perlahan, ia berjalan menuju kamar mandi. Wajahnya yang pucat dan lelah tampak berbeda dari Rania yang dulu selalu ceria dan penuh semangat. Ia menatap bayangannya di kaca, seolah mencari sosok yang hilang.
Kedua matanya merah, bekas tangisan semalam yang tak bisa ia tahan lagi. Sesekali ia menyeka air mata yang menetes. Dalam diam, ia bertanya-tanya, apakah Andra masih melihatnya? Apakah ia masih tahu betapa ia merindukan perhatian darinya? Wanita itu tahu, Andra bukan orang yang mudah untuk diajak berbicara tentang perasaan. Laki-laki itu lebih suka diam, lebih suka menghindar, dan selalu sibuk dengan dunia kerjanya yang tak ada habisnya.
Pagi ini, seperti pagi-pagi sebelumnya, Andra sudah pergi sebelum Rania sempat menyapanya. Rania tahu dia tidak bisa lagi berharap Andra akan mengingatnya.
Sejak beberapa bulan terakhir, mereka hanya berbicara hal-hal yang bersifat praktis-tentang pekerjaan, rumah, dan urusan rumah tangga lainnya. Tidak ada lagi percakapan yang mengalir alami, tidak ada lagi tawa yang mengisi ruang rumah mereka. Semua terasa hampa. Namun, pagi itu, sebuah hal kecil terjadi. Saat Rania selesai menyiapkan sarapan dan duduk di meja makan, ia merasa ada yang berbeda. Ia mendengar langkah kaki yang familiar, yaitu langkah Andra menuju ruang makan. Suaranya yang berat, langkahnya yang terburu-buru, Daan ada semacam keengganan di sana. Rania menoleh ke arah pintu.
"Selamat pagi," ucap Rania pelan, berusaha tersenyum meski hatinya terasa berat.
Andra yang baru saja masuk ke ruangan, menghentikan langkahnya. Ia menatap Rania sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke meja makan. Rania bisa melihat kelelahan di wajah Andra, sama seperti yang ia rasakan.
"Selamat pagi," jawab Andra singkat, sambil duduk di kursi di seberang Rania.
Rania menghela napas pelan, menatap suaminya yang terasa semakin jauh. Tidak ada sapaan lembut, tidak ada pelukan hangat seperti dulu. Tidak ada lagi kata-kata manis yang mengalir dari bibir suaminya itu. Semuanya terasa kering, seperti taman yang kekurangan air.
"Makannya pelan-pelan, Bang!" ucap Rania, berusaha membuka percakapan.
Andra memandang sekilas ke arah Rania, lalu mengalihkan pandangannya ke ponsel yang ada di meja dan makan dengan tergesa-gesa.
"Ada rapat pagi ini. Aku harus mengejar deadline," jawabnya dengan nada datar.
Rania menelan ludah, mengatur napas. Ia tahu, ini bukan hanya tentang rapat atau pekerjaan. Ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi, sesuatu yang tidak bisa ia sentuh atau bicarakan begitu saja.
"Bang, kita perlu bicara," kata Rania akhirnya. Suaranya bergetar. "Tentang kita."
Andra menatapnya sejenak, lalu kembali menunduk.
"Aku sibuk, Rania. Kita bisa bicarakan nanti saja," jawabnya, suara Andra terdengar seperti tergerus oleh kesibukan yang ia tanggung.
Rania merasakan hatinya dipenuhi rasa sakit yang tak tertahankan. Begitu mudahnya Andra menghindar dari percakapan yang menurut Rania sangat penting. Ia merasa seperti sebuah bayang-bayang dalam hidup suaminya-selalu ada, tapi tak pernah benar-benar dilihat.
"Tapi aku mau kita membicarakan ini sekarang, Bang," kata Rania, sedikit lebih tegas, "kita harus menghadapinya. Aku merasa ... aku merasa kamu sudah tidak peduli lagi padaku."
Andra berhenti sejenak, matanya menatap Rania dengan ekspresi yang sulit dibaca.
"Aku tidak tahu apa yang kamu maksud," jawabnya datar, tapi ada sedikit kerutan di dahinya.
Rania merasa ada yang menahan napas di dadanya. "Kamu sudah lama tidak memelukku lagi. Kamu sudah lama tidak memberi perhatian. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi aku merasa ... seperti aku tidak ada artinya lagi buatmu."
Andra terdiam. Mata Rania mencari-cari tanda di wajah suaminya, berharap ada sesuatu-sebuah penyesalan, sebuah keinginan untuk berubah, tapi yang ada hanya keheningan.
"Aku nggak ngerti maksud kamu, Ran," jawab Andra akhirnya, suaranya lebih rendah. "Aku sibuk dengan pekerjaan, dan kamu, kamu malah sibuk menuntut hal yang tidak masuk akal!"
Rania menatap suaminya penuh rasa kecewa.
Bagaimana mungkin suaminya berpikir itu semua hal yang tidak masuk akal?
Meskipun hatinya terluka, Rania tetap berharap, tetap berjuang, meskipun itu berarti harus mengemis cinta dari suaminya.