Edelweiss Hana terjebak oleh pesona mendebarkan Reigan Finley Alfarez, ayah angkatnya. Ia berusaha mengendalikan diri, akan tetapi api gelora di dadanya kian membakar. Akhirnya Hana tak kuasa lagi menahan semua hasrat yang terpendam. Akankah Reigan turut terbakar api gairah?
BUGH!
"Aaargh!"
Reigan tersentak saat tanpa sengaja tubuh kokohnya ditabrak oleh seorang gadis ramping yang tampak kuyu.
Gadis dengan sweater biru muda itu menjerit sesaat, kemudian berlalu begitu saja tanpa ekspresi yang berarti. "Maaf," ucapnya lirih sebelum benar-benar berpaling dan pergi.
'Mirip Suster Arumi!'
"Tunggu!" panggil Reigan refleks.
Mata sembab gadis itu menoleh ke arah Reigan sekali lagi, kemudian melengos pergi tanpa peduli apapun.
'Gue enggak sengaja. Kabur, ah!'
"Gadis bandel, tunggu jangan lari!" Reigan spontan mengejar, sebab wajah si gadis mengingatkannya pada wajah seorang wanita yang selama ini ia cari.
"Sial! Mengapa dia cepat sekali!" rutuk Reigan gusar. Ia tetap mengejar, tak ingin kehilangan jejak.
Kedua asisten dan empat bodyguardnya turut mengejar.
Mereka seketika heran dengan kelakuan Reigan Finley Alfarez, sang putra presdir yang pemalas dan cuek, tiba-tiba saja ia menjadi begitu peduli kepada seorang gadis random tak dikenal.
'Kocak amat Bos, keren-keren malah ngejar cabe-cabean.' Willy menggerutu di dalam hati.
Selama ini Reigan adalah sosok yang dingin dan arogan. Uang, dan kekuasaan adalah nomor satu dalam catatannya, adapun para gadis cantik tidak lebih dari selembar tisu pembersih kotoran baginya. Sebab itu Willy heran melihatnya mengejar seorang gadis random di jalanan.
Meskipun ia malas terjun ke dunia bisnis secara langsung, Reigan turut andil membantu pengawasan kinerja para pegawai perusahaan ayahnya. Ia enggan ambil bagian dalam perusahaan, tapi bersemangat menghitung berapa persen uang yang harus masuk ke rekeningnya setiap bulan.
Beruntung, Reigan putra tunggal, Gunawan Alfarez, Presdir SIGMA Group. Sejak Reigan kecil, kedua orangtuanya yang sibuk terlampau memanjakannya dengan uang.
"Siapa gadis itu, Willy? Apakah kamu dan Tuan Reigan mengenalnya?" tanya Rangga penasaran, sembari mempercepat langkahnya mengejar Bos mereka.
"I don't know. Aku yakin Big Boss mengenalnya, sebab itu ia mengejarnya. Atau mungkin Big Boss sanghe melihatnya." Willy menggendikkan bahu. Ia juga berjalan cepat.
"Sanghe-sanghe! Apaan!" Rangga protes dengan netra memicing.
"Hahahahha.... Big Boss lebih suka menghabiskan waktunya berkuda, dan melakukan berbagai jenis olahraga lainnya, daripada menghabiskan waktunya untuk berkencan." Rangga melanjutkan membela Reigan dari penilaian negatif Willy.
"Aaargh! Aku sering lihat Bos melotot kalau ada cewek seksi yang lewat." Willy bersikeras.
"Dia hanya terpukau sesaat. Awas saja kalau kamu bilang si Bos sanghe lagi, akan kulaporkan kau!" Rangga mengancam.
"Sial, eh! Jangan gitu, please!" Willy menyerah. Rangga tersenyum mengejek.
Sekilas terlihat sosok ramping berambut panjang berjalan cepat menaiki anak tangga, ia menghindari lift dan eskalator yang terdapat di dalam gedung besar pusat perbelanjaan modern itu.
Hana hanya mengulang apa yang dulu kerap dilakukannya bersama sang ibu, berlarian di tangga hingga mencapai rooftop, tempat yang dulu paling disukai mendiang ibunya untuk menyaksikan langit senja.
Edelweis Hana melangkahkan kaki mendekati sisi rooftop tanpa ragu pada awalnya, akan tapi kemudian langkahnya perlahan melambat.
"Akh, ternyata sangat mengerikan...." gumamnya lirih saat wajahnya menunduk ke bawah, orang-orang yang melintas tampak kecil dalam penglihatannya. Bagaimana tidak, ia berada di rooftop gedung delapan lantai.
Sekali lagi Hana bergidik ngeri, dan ia tidak sadar kalau dirinya pun terlihat mengerikan dengan rambut panjang riap-riapan dipermainkan angin malam yang bertiup cukup kencang.
"Aku ingin bebas dari semua penderitaan. Jika raga ini terbujur kaku, maka tak akan ada lagi rasa sakit," sekali lagi bibirnya mendesis, diiringi kakinya maju satu langkah.
"T-t-tap-tapi... aku belum pernah merasakan dicintai dengan hebat oleh siapapun." Hana menyesali kehidupannya yang malang.
Ibu tiri yang kejam dan ayah yang tidak punya kepedulian, membuat hidupnya serasa di neraka. Sungguh, ia masih punya mimpi untuk melanjutkan hidup agar bisa merasakan bagaimana rasanya dicintai seseorang dengan tulus dan dalam.
"Ibu..." Bibir Hana bergetar. "Sebenarnya aku ingin hidup lebih lama, bertemu seorang pria yang akan menjadi pasanganku, menikah, kemudian membesarkan beberapa orang anak bersama. Tapi... hanya ibu yang paling memahami dan menyayangiku. Lebih baik... aku menyusul ibu saja."
Hana memejamkan mata, satu langkah lagi semua akan berakhir baginya. Namun... sebelum itu terjadi, satu lengan kokoh merengkuh pinggang Hana yang ramping, menarik tubuh gadis belia itu ke belakang dengan keras.
Hana terkesiap. "Ugh, lepaskan aku! Biarkan aku terjun." Ia memberontak, akan tetapi lengan Reigan sangat kuat merengkuh tubuhnya.
"Gadis bodoh, apa yang kamu lakukan? Tubuhmu akan hancur menjadi bubur jika terjatuh dari ketinggian gedung ini. Lagipula, aku tidak suka seseorang berbuat bodoh di proverty milik keluargaku, hanya akan menjadi berita buruk di media dan menurunkan reputasi perusahaan ayahku." Reigan membentak keras gadis di dalam kungkungannya. Ia tak habis pikir mengapa gadis semuda ini ingin membebaskan diri dari kehidupan dunia. Sebegitu beratkah bebannya?
"Apa pedulimu? Aku enggak tahu kamu siapa, tolong lepasin!" Hana menjerit lemah. Ia berada di puncak emosinya, pada salah satu titik terendah kehidupannya.
Reigan menatap wajah penuh air mata itu. "Apa kamu tidak kasihan kepada kedua orang tuamu? Mereka bersusah payah membesarkanmu. Dan ibumu pasti sangat sedih memiliki anak serapuh dirimu."
Reigan berusaha mempengaruhi gadis yang berhasil menyita perhatiannya tersebut. Pipi si gadis terlihat lebam, sudut bibirnya sedikit pecah. Reigan jadi kasihan, hal yang tak pernah ia rasakan.
'Gadis ini sangat mirip suster Arumi. Apakah dia putri suster Arumi yang dulu masih balita? Waktu berlalu dengan cepat, dan dia sudah gadis remaja sekarang.'
Reigan tidak pernah melupakan masa-masa kelam itu. Saat ia baru saja lulus Sekolah Dasar, rumah tangga kedua orang tuanya dalam kehancuran, sementara itu ia sedang mengalami cidera cukup serius karena sebuah kecelakaan.
Tidak ada siapapun yang memperhatikan dan memberi kasih sayang padanya, kecuali seorang suster yang ditugaskan untuk merawatnya. Reigan merasa terabaikan saat itu.
Kedua orang tua Reigan hampir tidak punya waktu untuk mengurus putra mereka, menyerahkan putra mereka kepada suster sepenuhnya.
Beruntung, suster bernama Arumi itu sangat baik dan penuh kasih sayang. Ia memperlakukan Reigan seperti putranya sendiri.
Bukan hanya merawatnya, Suster Arumi selalu memberikan nasihat-nasihat yang berharga kepadanya. Puluhan tahun berlalu, Reigan tidak pernah melupakan Suster Arumi.
Sejak lama ia mencari keberadaan suster itu, akan tetapi ia belum pernah menemukan jejaknya sama sekali. Sepulang kuliah dari Amerika, Reigan mulai mencari tahu keberadaan Suster Arumi, akan tetapi ia belum berhasil menemukannya hingga detik ini.
'Benar-benar sangat mirip, tapi bagaimana mungkin wanita itu semakin lama... semakin muda? Aku yakin gadis ini adalah putri atau adiknya,' batin Rei.
"Gadis bodoh, siapa namamu? Katakan apa masalahmu, siapa tahu kami bisa membantu," ujar Willy yang sedari tadi telah menyaksikan apa yang terjadi bersama rekan-rekannya yang lain. Melihat tuannya peduli kepada si gadis, ia pun turut menunjukkan kepeduliannya.
"Namaku Hana. Membantuku? A-aku... aku tidak punya apapun untuk membalas budi. Lepaskan! Biarkan aku melakukan apa yang seharusnya kulakukan." Hana berbicara nyaris berbisik, seakan-akan tidak memiliki energi tersisa.
"Gadis bodoh, suaramu lemah sekali. Sudah berapa lama kamu tidak makan?" Willy bertanya dengan kedua alis bertaut.
"Willy! Jangan memanggilnya seperti itu, sekalipun benar ia seorang gadis yang bodoh, bersikap baiklah padanya." Reigan membentak.
Netra Hana mendelik mendengar ucapan pria yang menolongnya. Terdengar pedas di telinga Hana.
"Oh, iya Bos. Maaf, aku salah bicara." Willy merunduk menahan kesal, sebab ia hanya mengikuti bosnya itu memanggil bodoh kepada si gadis belia.
"Gadis kecil, dunia sangat luas dan indah untuk dijelajahi. Buat apa menyiksa diri sendiri." Rei mulai menegakkan tubuh Hana, tapi ia belum mau melepaskan lengannya dari pinggang ramping gadis itu. Khawatir Hana akan berbuat nekad lagi.
"Aku bukan gadis kecil, usiaku sembilan belas tahun. Aku sadar resiko dari setiap perbuatan yang kuambil. Aku enggak mengenal kalian, tolong le-pas-kan a-ku!" Sekali lagi Hana memberontak, akan tetapi lengan kokoh pria tak dikenalnya itu bergeming. Tiba-tiba Hana merasa alam berubah menjadi gelap dalam sekejap
"Shit! Dia pingsan, sungguh merepotkan!" rutuk Rei kesal.
Bab 1 Gadis Bandel Jangan Lari!
18/01/2025
Bab 2 Gadis Perawan Dicari
18/01/2025
Bab 3 Terpaksa Menjual Diri
18/01/2025
Bab 4 Bertemu Sang Pembeli
18/01/2025
Bab 5 Call Me Papa!
18/01/2025
Bab 6 Thank You Papaku yang Hot & Tampan
18/01/2025
Bab 7 Trik Kecil Gadis Perawan
18/01/2025
Bab 8 Hot Papa, Help Me!
18/01/2025
Bab 9 Cemburu Panas Membara
18/01/2025
Bab 10 Aduh, Difitnah Jual Diri
18/01/2025
Bab 11 Jangan Fitnah putriku yang Manja
18/01/2025
Buku lain oleh Zaida Snow
Selebihnya