Setelah kecelakaan yang membuat suaminya lumpuh, Jennifer terjebak dalam intrik rumit yang dirancang oleh Yola, mantan istri Pak Wijaya, pengusaha kaya raya yang dihantui dendam masa lalu. Dulu, Yola harus melihat kekayaan keluarganya hilang setelah ayahnya direbut oleh sekretaris yang lebih muda, membuatnya bersumpah tidak akan hidup miskin lagi. Kini, dengan ambisi dan kepahitan yang tertanam kuat, Yola mengincar kekayaan Pak Wijaya dan siap menyingkirkan siapa pun yang menghalangi jalannya, termasuk Jennifer. Di Bali, Jennifer yang rapuh terlibat dalam hubungan terlarang dengan Arman, tanpa menyadari bahwa hampir semua orang di sekitarnya, termasuk Arman, adalah pion dalam permainan kejam Yola. Saat Jennifer mulai menyadari manipulasi Yola, ia mendapati dirinya dihadapkan pada pilihan antara melindungi cinta dan pernikahannya, atau bertarung menghadapi Yola dan kekasihnya, Robert, yang tak segan menggunakan kekerasan demi mewujudkan rencana mereka.
Chapter 1
Pesta pernikahan Alex dan Jennifer berlangsung megah di sebuah aula yang dihiasi bunga putih dan lilin mewah. Hari itu, kebahagiaan pasangan pengantin terpancar dari wajah keduanya.
Walaupun sudah berjam-jam berdiri menyambut 3000 tamu undangan, tapi Alex dan Jennifer tetap tersenyum cerah, menyalami tamu undangan yang datang dari berbagai kalangan.
"Selamat ya, Alex! Akhirnya kau menemukan pasangan hidup yang tepat," ujar seorang kolega Alex sambil tertawa ringan.
"Terima kasih," jawab Alex hangat.
Tak jauh dari pelaminan, antrean panjang masih terlihat mengular.
Namun, perhatian Alex tiba-tiba tertuju pada sekelompok tamu yang baru saja tiba, seorang wanita paruh baya yang anggun dengan aura tegas, seorang pria berkacamata dan dua anaknya.
Alex membelalakkan mata. "Hera?" bisiknya tak percaya.
Ketika wanita itu sudah dekat, Alex tak bisa menahan diri. Ia langsung memeluk wanita yang wajahnya tak asing baginya.
"Mbak Hera!" seru Alex penuh keharuan, mencium pipi kiri dan kanan wanita itu. "Kenapa nggak kasih kabar kalau mau datang? Aku benar-benar nggak menyangka!"
Hera tersenyum kecil, meskipun masih dengan ekspresi wajahnya yang terkesan judes. "Ya, sengaja mau bikin kejutan. Lagipula, baru sempat datang hari ini. Seminggu yang lalu rencananya ke Bali, tapi suamiku sibuk dengan persiapan kepindahan kami ke Indonesia."
Jennifer, yang memperhatikan dari pelaminan, sempat bingung melihat keakraban Alex dengan wanita itu. Ia sempat berpikir Hera adalah kolega lama Alex yang belum pernah diceritakan sebelumnya.
"Bagaimana keadaanmu di Kanada selama ini?" tanya Alex antusias sambil tersenyum lebar.
"Baik," jawab Hera singkat. "Kontrak kerja suamiku sudah habis. Kami memutuskan untuk kembali ke Indonesia, dan sekarang lagi cari rumah. Aku ingin tinggal di Bali."
"No! Jakarta lebih bagus untuk anak-anak kita," sela pria di sebelah Hera dengan nada ringan, sambil melirik istrinya tajam.
Hera mendelik tajam. "Kita sudah bahas ini, bukan?"
Pria itu hanya mengangkat bahu lalu melengos, menghindari tatapan Hera yang seolah bisa membakar apa saja.
Alex tertawa kecil, merasa rindu dengan interaksi khas antara Hera dan suaminya. Ia lalu menoleh ke Jennifer yang masih berdiri mematung di pelaminan. "Ma, ke sini sebentar."
Jennifer berjalan mendekat dengan anggun, senyum lembutnya tak pernah luntur. "Siapa mereka, Pa?" tanyanya pelan.
Alex menggenggam tangan Hera dan berkata dengan nada penuh kebanggaan, "Ini kakakku, Hera. Hera, ini istriku, Jennifer."
Hera menjabat tangan Celine, mengamati wanita muda itu dari atas ke bawah dengan tatapan tajam yang membuat Jennifer sedikit gugup. "Hera," ujar Hera memperkenalkan diri tanpa basa-basi.
"Jennifer," jawab Jennifer sambil tersenyum sopan.
Hera mendekat sedikit, memperhatikan Jennifer dengan lebih intens. Tatapannya tajam, seolah mencoba menilai sesuatu yang hanya ia tahu.
Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Hera akhirnya berbicara, "Kamu cantik. Tapi aku penasaran, apa kau cukup kuat untuk mendampingi adikku? Hidup bersamanya tidak mudah, apalagi dengan segala urusan bisnis dan masa lalunya."
Jennifer tertegun, tak menyangka dengan komentar langsung itu.
Namun, ia menarik napas panjang dan menjawab dengan tenang, "Saya mencintai Alex, Mbak Hera. Dan saya siap menghadapi semua tantangan di masa depan bersamanya."
Alex tersenyum, memandang Jennifer dengan rasa bangga. "Kamu tidak perlu khawatir, Mbak. Jennifer adalah wanita yang luar biasa."
Hera mengangguk kecil, meskipun sorot matanya tajam dan sangat merendahkan. "Kita lihat saja nanti," gumamnya pelan, hampir seperti tantangan.
Setelah memperkenalkan Hera, Alex beralih ke dua anak muda di sampingnya. "Ini Daniel, anak sulung kakakku. Usianya..."
"26 tahun," Sahut Hera judes.
Alex tersenyum sambil menepuk pundak pria muda yang tampak santai namun menyebalkan. . "Dan ini Erika, adiknya, berapa mbak?"
"24." Jawab Hera acuh tak acuh.
Daniel maju lebih dulu untuk menyalami Celine. "Halo Tante Jenny," ucapnya dengan nada menggoda, sambil mengulurkan tangan.
Jennifer tersenyum sopan, menjabat tangannya dengan ringan. Namun, ia mulai merasa risih ketika Daniel tidak segera melepaskan genggamannya. Mata pria itu tampak menyapu wajah Jennifer dengan kagum, membuatnya sedikit tidak nyaman.
"Cantik sekali," gumam Daniel, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri.
Sebelum Jennifer sempat merespons, Daniel tiba-tiba menarik tubuhnya lebih dekat dan mencium pipi Jennifer kiri dan kanan.
Jennifer tertegun, bahkan hampir tersentak mundur. Namun ia menahan diri, mencoba menjaga sopan santun di depan keluarga Alex.
Alex hanya tertawa santai. "Daniel memang begitu, sayang. Dia sedikit nakal, tapi tidak ada maksud buruk."
Jennifer mengangguk kecil, meski di dalam hati ia merasa tersinggung. Jennifer tetap mencoba tersenyum tetapi hatinya sudah mulai waspada.
Hera, yang memperhatikan adegan itu, angkat bicara. "Jangan kaget. Itu kebiasaan Daniel di Kanada. Di sana, cium pipi itu sudah biasa."
Jennifer tersenyum tipis, tetapi jelas terlihat bahwa senyum itu dipaksakan. "Oh, begitu. Saya mengerti," katanya singkat.
Ketika gilirannya untuk menyapa Erika, Jennifer mengulurkan tangan dengan ramah. Namun, Erika tidak menyambut uluran tangan itu. Sebaliknya, gadis itu hanya menatap Jennifer dengan dingin, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Jennifer terkejut, tetapi ia menutupinya dengan tersenyum sopan.
Suasana semakin canggung ketika Latif, suami Hera, juga tidak bersalaman dengannya. Pria itu hanya berdiri di belakang Hera, matanya terus menghindar dari Alex. Namun, saat sekali melirik ke arah Alex, tatapannya penuh dengan kebencian yang sulit disembunyikan.
Jennifer mengernyit. "Ada sesuatu yang aneh di sini." pikirnya. "Mengapa Latif tampak begitu dingin dan seolah menyimpan dendam kepada Alex? Apakah ada sesuatu di masa lalu yang belum diceritakan Alex?
Namun, pikirannya terhenti saat Hera berkata santai, "Alex, kami mau menumpang di rumahmu untuk sementara waktu, sampai Latif menemukan rumah di Jakarta."
Tanpa ragu, Alex langsung menjawab, "Tentu, Mbak. Tinggallah selama yang Mbak mau. Rumahku kan juga rumahnya Mbak."
Hera mengangguk puas, sementara Jennifer hanya bisa tersenyum tipis. Perasaannya mulai tidak enak.
Tiba-tiba, Erika nyeletuk seenaknya. "Om Alex, aku mau kerja sambil kuliah di sini. Kan Om pemilik perusahaan besar, pasti ada tempat buat aku, kan?"
Alex tersenyum lebar. "Tentu, Erika. Kamu mau kerja di bagian apa?"
Erika menegakkan tubuhnya, suaranya terdengar angkuh. "Aku mau cari universitas yang bagus untuk S2, tapi sambil itu, aku mau jadi direktur di perusahaan Om."
Alex tertawa kecil. "Direktur? Wah, kamu punya ambisi besar. Baiklah, nanti kita atur. Om akan bantu kamu kuliah, dan kita bisa diskusikan soal pekerjaanmu."
Jennifer merasa detak jantungnya semakin cepat. Sikap Erika yang sombong dan tuntutannya yang berlebihan membuatnya tidak nyaman.
Sementara itu, Daniel terus memperhatikan Jennifer. Tatapannya jelas tidak biasa, seperti sedang membayangkan hal-hal berbau porno.
Jennifer bergidik ngeri, ia mencoba menghindari pandangannya, tetapi perasaan risih tidak juga hilang.
Ketika Alex berbicara dengan Hera dan Erika tentang rencana mereka di Indonesia, Jennifer hanya diam sambil berusaha menahan perasaannya yang tidak enak.
"Sepertinya Daniel anak muda nakal, atau ada sesuatu yang lebih berbahaya di balik sorot matanya?" Jennifer mulai waspada.
Di tengah hiruk-pikuk pesta, Jennifer menyadari bahwa kehadiran keluarga baru Alex bukanlah hal yang biasa.
Hera yang dingin dan terlihat kejam, Erika yang sombong dan angkuh, Latif yang misterius, dan Daniel yang tampak seperti serigala berbulu domba.
Jennifer berusaha menenangkan diri. Namun, di dalam hatinya, bayangan ancaman mulai muncul perlahan.
-------*AQ*-------
[To Be Continued...]