Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
DILEMA DI ANTARA DUA HATI

DILEMA DI ANTARA DUA HATI

Tetesan Fajar

5.0
Komentar
7
Penayangan
5
Bab

Seorang wanita harus memilih antara suami yang selalu mendukungnya dan kekasih lamanya yang kembali hadir dalam hidupnya. Perselingkuhan emosional ini memaksanya mempertanyakan arti cinta dan kesetiaan.

Bab 1 Awal yang Tenang

Maya menatap keluar jendela, menikmati sinar matahari yang hangat. Suara riang anak-anak bermain di taman membuatnya tersenyum. Di sisi lain, Rian, suaminya, sedang duduk di meja makan, menikmati secangkir kopi.

"Maya, kau sudah siap untuk pergi? Kita harus berangkat sebelum jalanan macet," Rian berkata sambil mengaduk kopi di cangkirnya.

"Ya, sebentar lagi. Aku hanya ingin menikmati secangkir teh ini," jawab Maya, sambil memandangi secangkir teh hijau yang telah disiapkannya.

Rian mengangguk, senyum manis menghiasi wajahnya. "Kau tahu, kita sudah merencanakan akhir pekan ini sejak lama. Jangan sampai kita terlambat."

Maya tersenyum, tetapi dalam hatinya, ia merasa ada yang hilang. Kehidupan mereka memang stabil-rumah yang nyaman, pekerjaan yang baik, dan cinta yang tampaknya sempurna. Namun, ada sesuatu yang membuatnya merasa tidak puas.

"Rian, kau sudah mengingatkan kita untuk pergi ke acara pameran seni di kota?" Maya bertanya, berusaha mengalihkan pikirannya.

"Sudah, sayang. Aku sudah menyiapkan semuanya," jawab Rian, bangkit dari kursi dan mengambil jaketnya. "Ini akan menjadi akhir pekan yang menyenangkan."

Maya mengangguk, tetapi pikirannya melayang. Ia ingat saat-saat berapi-api saat masih muda, ketika ia merasa hidupnya penuh warna. Kini, ia merasa terjebak dalam rutinitas.

"Rian, bagaimana kalau setelah pameran, kita makan malam di tempat baru?" usulnya, berusaha untuk bersemangat.

"Bagus! Aku suka ide itu," Rian menjawab dengan semangat. "Kita harus merayakan setiap momen, kan?"

"Ya, tentu," Maya menjawab, tetapi senyumnya tidak sepenuhnya tulus. Di dalam hatinya, ia merindukan kebebasan dan kegembiraan yang pernah ada.

Saat mereka bersiap-siap, Maya teringat tentang sahabatnya, Tara, yang selalu menyemangatinya. "Aku harus berbicara dengan Tara nanti," pikirnya. Mungkin sahabatnya bisa memberinya perspektif baru tentang hidupnya yang sekarang.

Di mobil, Rian menyalakan radio dan lagu favorit mereka mengalun lembut. Maya terpaksa tersenyum saat Rian mulai menyanyi sambil menyetir. Suara Rian yang serak menambah kehangatan suasana.

"Jangan menghentikan karierku, Maya! Siapa tahu, aku bisa jadi penyanyi terkenal!" Rian bercanda.

"Impian yang bagus, tapi aku rasa suara mu hanya akan membuat burung-burung terbang menjauh," Maya menjawab, tertawa.

Rian tertawa, menepuk pahanya. "Setidaknya aku bisa membuatmu tersenyum."

Tetapi di balik senyuman itu, Maya merasakan kesedihan yang mendalam. Di satu sisi, ia mencintai Rian, tetapi di sisi lain, ia merindukan bagian dari dirinya yang seolah-olah telah hilang. Saat mereka berkendara menuju pameran seni, hatinya berdebar-debar, menginginkan perubahan, tetapi tidak tahu bagaimana cara mewujudkannya.

"Apakah kau sudah siap untuk melihat seni yang menakjubkan?" Rian bertanya dengan antusias.

"Ya, tentu saja," jawab Maya, berusaha menampilkan semangat. Namun, jauh di dalam hatinya, ada sebuah pertanyaan yang terus mengganggu: Apakah semua ini cukup untuknya?

Ketika mereka sampai di lokasi pameran, Maya tahu bahwa ini hanya awal dari perjalanan yang lebih rumit. Dan saat Arman, mantan kekasihnya, kembali muncul di hidupnya, segalanya akan berubah.

Pameran seni itu berlangsung di sebuah galeri kecil dengan pencahayaan lembut yang menciptakan suasana intim. Rian terlihat antusias, menggandeng tangan Maya saat mereka melangkah masuk.

"Lihat, itu karya seniman lokal yang terkenal!" seru Rian sambil menunjuk sebuah lukisan besar berwarna cerah. "Kita harus berfoto di depannya!"

Maya tersenyum dan mengangguk. Rian selalu tahu cara untuk membuat momen-momen kecil terasa istimewa. Mereka berpose di depan lukisan tersebut, Rian tersenyum lebar sementara Maya berusaha menampilkan senyumnya yang paling menawan. Namun, di dalam hati, ia merasakan kerinduan akan sesuatu yang lebih dalam.

Setelah berkeliling melihat berbagai karya seni, mereka berhenti di sebuah sudut galeri yang lebih tenang. Maya melihat lukisan yang menggambarkan dua orang yang saling merangkul, dengan latar belakang yang gelap namun dipenuhi dengan bintang-bintang.

"Bagaimana menurutmu, Maya?" Rian bertanya, melihat ke arah lukisan itu.

"Lukisan ini... terasa emosional. Seperti menggambarkan cinta yang berjuang melawan kegelapan," jawab Maya, jujur dengan perasaannya.

Rian mengangguk, "Seni memang bisa mengungkapkan banyak hal. Mungkin kita juga bisa menemukan cara untuk mengatasi masalah kita, jika ada."

Maya terdiam, hatinya bergetar. Rian selalu bersikap positif, tetapi ia tidak bisa mengabaikan rasa kosong yang mengendap di hatinya.

"Apakah kau pernah merasa terjebak, Rian?" Maya bertanya, suara pelan.

Rian menoleh, matanya menyiratkan kekhawatiran. "Terjebak? Dalam arti apa?"

"Seperti, dalam rutinitas hidup. Apakah kau pernah merindukan sesuatu yang lebih, sesuatu yang lebih berarti?"

Rian tampak berpikir sejenak. "Maya, kita semua pasti mengalami masa-masa itu. Tapi aku percaya, kita bisa menciptakan momen berharga dalam hidup kita. Seperti saat ini, bersama-sama."

Maya tersenyum, tetapi keraguannya semakin mendalam. "Kau benar, tetapi kadang-kadang aku merasa seperti ada bagian dari diriku yang hilang."

"Bagian apa?" tanya Rian, matanya tidak lepas dari wajah Maya.

"Entahlah, mungkin bagian dari diriku yang lebih liar, lebih bebas," jawab Maya, menghindari tatapan Rian.

"Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri, Maya. Kita bisa membuat hidup ini lebih berwarna," Rian berkata, mencoba memberikan semangat.

Maya mengangguk, tetapi hatinya masih merasa berat. Mereka melanjutkan berkeliling galeri, tetapi pikiran Maya terus melayang pada kenangan-kenangan bersama Arman, mantan kekasihnya yang tiba-tiba muncul kembali dalam hidupnya.

Setelah beberapa saat, Rian meminta izin untuk mengambil foto-foto. "Kau tunggu di sini, ya? Aku akan mencari angle yang bagus," katanya sebelum beranjak.

Maya berdiri sendiri di depan lukisan yang sama, merasakan ketegangan di dadanya. Dalam keadaan hening itu, ia mendengar suara seorang pria dari belakangnya.

"Maya?"

Maya menoleh, dan jantungnya berhenti sejenak. Di depannya berdiri Arman, dengan senyum yang familiar dan tatapan yang menggoda. "Sudah lama tidak bertemu," katanya.

Maya merasakan perasaannya campur aduk. "Arman... apa kabar?" suaranya bergetar.

"Baik. Aku baru kembali dari luar negeri. Melihat pameran seni adalah salah satu agenda pertamaku," Arman menjelaskan, matanya bersinar penuh semangat.

"Ya, aku dan Rian datang ke sini juga," jawab Maya, berusaha terdengar santai.

"Rian, ya? Dia sangat beruntung bisa bersamamu," Arman berkata, sedikit mengecilkan jarak di antara mereka.

Maya merasakan ketegangan. "Terima kasih," jawabnya singkat, tetapi hatinya berdebar lebih cepat.

"Bagaimana hidupmu?" tanya Arman, tampak tulus. "Kau terlihat berbeda. Lebih dewasa."

Maya tersenyum tipis, tetapi di dalam hatinya, keraguan kembali muncul. Ia merasa terjebak antara dua dunia-yang satu stabil dan nyaman, yang lainnya berapi-api dan penuh gairah.

"Rian akan kembali sebentar lagi," Maya memberi tahu Arman, berusaha mengalihkan perhatian.

"Dia baik? Aku selalu tahu kau berdua cocok," Arman menjawab, tetapi ada nada penyesalan di suaranya.

Maya ingin berkata sesuatu, tetapi kata-kata itu terhenti di tenggorokannya. Dalam momen yang singkat itu, ia merasakan kembali ikatan emosional dengan Arman, sesuatu yang selama ini ia cari.

Rian kembali mendekat, membawa kamera dan senyum lebar. "Maya, siap untuk foto lagi?"

Ketika Rian mendekat, Maya merasakan beban di hatinya semakin berat. Dalam sekejap, ia harus memilih: apakah ia akan membiarkan masa lalu kembali mengisi kehidupannya, ataukah ia akan berjuang untuk masa depan yang sudah dibangunnya?

Maya memandangi Rian, kemudian kembali menatap Arman, menyadari bahwa dilema di antara dua hati baru saja dimulai.

Bersambung...

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Tetesan Fajar

Selebihnya

Buku serupa

Cinta yang Tersulut Kembali

Cinta yang Tersulut Kembali

Romantis

4.9

Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku