Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
235
Penayangan
5
Bab

| khusus dewasa | Laras dijebak oleh lelaki biadab bernama Frans sehingga dia berakhir menjadi seorang wanita panggilan. Dia merahasiakan semua itu dari suaminya, Bagas. Sementara Bagas, laki-laki itu rela meninggalkan rumah orang tuanya demi menikahi Laras. Meski seorang sarjana dan berasal dari keluarga kaya raya, Bagas rela bekerja sebagai kuli bangunan untuk menghidupi istrinya. Tanpa dia tahu jika Laras selalu menemui klien yang memesannya di suatu hotel. Hingga suatu malam, Bagas tidak sengaja melihat Laras pergi menaiki mobil mewah dengan seorang laki-laki. Akankah Bagas mengetahui semuanya?

Bab 1 DIUSIR DARI KONTRAKAN

Istriku digilir banyak laki-laki di saat aku pergi bekerja!!

________________

Jakarta 2010

Brak!

"Enyah kalian dari rumah saya!"

"Tolong kasih saya kesempatan lagi, Bu! Paling tidak tunggu suami saya pulang dulu ..."

"Alaaa ... ngapain mesti nunggu suami kamu yang kere itu? Paling juga si Bagas mau minta tempo lagi! Nggak sudi saya!"

Laras menangis sambil duduk di teras rumah kontrakan yang sudah ia tempati bersama suaminya selama lima bulan. Perempuan pemilik kontrakan marah besar karena mereka menunggak lagi.

Mau bagaimana lagi?

Laras tidak punya uang simpanan sepeser pun. Sementara suaminya, Bagas belum dapat kerjaan sejak mereka meninggalkan Solo.

Laras tidak menyalahkan sikap kasar pemilik rumah kontrakan yang mengusirnya. Wajar saja dia marah, karena mereka belum membayar hingga dua bulan terakhir.

Adzan Magrib terdengar berkumandang dari toa mesjid.

Bagas baru saja tiba di pelataran rumah. Dia terkejut setengah mati melihat istrinya yang sedang menangis. Juga pemilik rumah kontrakan yang sedang melempar semua barang-barang mereka dari ambang pintu.

Segera laki-laki itu menepikan motor bututnya. Bergegas langkah panjang Bagas menghampiri Laras.

"Mas Bagas," lirih istrinya. Dengan mata basah Laras melihat suaminya datang.

Bagas menatap sendu wajah Laras. Sang istri masih terisak-isak. Lantas ia menoleh ke arah perempuan bertubuh gemuk yang sedang memasang wajah sinis melihatnya.

"Bu, tolong jangan usir kami. Insyaallah besok saya akan membayar uang kontrakan," kata Bagas tidak yakin.

Bu Rina, pemilik rumah kontrakan tersenyum miring mendengarnya. "Besok kata mu? Emang besok kamu punya duit mau bayar? Minggu lalu juga kamu bilang besok mau bayar, tapi apa? Tai kucing!"

Bagas tertunduk lesu mendengar penuturan Bu Rina.

Benar, dia tidak tahu apa besok bisa dapat uang buat bayar kontrakan atau tidak. Seharian ini saja dia belum dapat kerjaan. Meski sudah kesana-kemari mencarinya.

Melihat Bagas yang kebingungan, Bu Rina berdecak jengah. "Kalian ini bikin saya pusing saja! Lebih baik cepat enyah dari hadapan saya! Rumah ini udah ada yang mau tempati!" katanya lantas pergi.

Melihat hal itu, Laras putus asa. Sementara Bagas segera menyusul langkah Bu Rina.

"Bu, saya mohon ... tolong kasih kamu tempo sampai Minggu depan. Saya janji akan bayar. Tapi tolong jangan usir kami sekarang. Saya bingung mau kemana malam-malam begini," lirih Bagas dengan muka memelas.

Bu Rina menatap bosan. "Tadi kamu bilang besok, sekarang Minggu depan. Saya tahu sebenarnya kamu memang nggak mampu bayar! Jadi, sudahlah! Saya muak dengarnya."

Bagas terdiam sejenak. Dia berpikir keras sampai jemarinya gemetaran. Dia bingung harus pergi kemana kalau mereka benar-benar di usir dari kontrakan.

Sejak menikahi Laras enam bulan yang lalu, orang tuanya tak sudi lagi menerimanya di rumah besar mereka. Bahkan, Bagas dilarang kembali ke kota asalnya, Solo.

"Bu, saya mungkin tidak punya apa-apa buat dijadikan jaminan, tapi saya bersedia menjadi pelayan Bu Rina, kalau saya tidak bisa bayar Minggu depan."

Mendengar penuturan Bagas, Bu Rina cukup terkejut. Dia menoleh langsung ke arah laki-laki muda yang berdiri di sampingnya.

Bagas menundukkan kepalanya dalam keputusasaan.

Minggu lalu sewaktu Bu Rina akan mengusirnya dari kontrakan, saat itu Laras belum pulang. Cuma ada Bagas di rumah.

"Saya tahu kamu nggak punya duit buat bayar, tapi ... saya punya tawaran buat kamu."

"Tawaran? Apa itu, Bu Rina?"

Perempuan berusia 45 tahun itu tersenyum smirk, lantas menjawab dengan mencondongkan wajahnya ke depan Bagas.

"Kamu masih muda dan gagah. Kamu bisa jadi pelayan saya."

Bagas terkejut. Wajahnya berbinar. "Jadi pelayan di rumah makan Bu Rina maksudnya? Saya mau, Bu!"

Bu Rina tersenyum miring lalu menggeleng. "Bukan. Di rumah makan sudah ada tiga pelayan, saya nggak mau tambah lagi."

"Lantas?"

"Kamu bisa jadi pelayan pribadi saya. Tugas kamu cuma bikin saya seneng. Kamu mau, kan?"

Bagas tercengang. Dia lantas mundur dengan wajah tidak percaya. Gila! Bisa-bisanya perempuan tua itu ingin dia menjadi piaraannya.

"Saya nggak mau, Bu."

Bu Rina langsung naik pitam. "Yasudah kalo kamu ndak mau, cepet bayar uang kontrakan!"

Bagas memalingkan wajahnya seraya memejamkan mata. Terpaksa ia menerima tawaran itu.

Bu Rina langsung berbinar mendengar penuturan Bagas. Laki-laki asal Solo itu memiliki paras yang tampan dan kulit yang sao matang, serta postur tubuh yang ideal. Dia segera mendekat pada Bagas.

"Kamu bener mau jadi pelayan saya selama satu bulan?" ucapnya setengah berbisik. Dia tidak mau dua orang laki-laki yang mengawalnya itu mendengar ucapannya kepada Bagas.

Bagas mengangguk pelan. "Saya terpaksa, Bu."

Persetan dengan jawaban laki-laki itu, Bu Rina tersenyum puas mendengarnya.

"Oke kalo gitu. Besok sore saya jemput kamu di tepi jalan besar seberang mall. Saya nggak suka menunggu, loh!" katanya sambil menatap Bagas dalam-dalam.

Laki-laki itu cuma mengangguk pelan. Dan Bu Rina segera pergi bersama dua orang antek-anteknya.

Fuuh ...

Dihela napas panjang oleh Bagas. Setelah bayangan Bu Rina menghilang di balik pintu pagar, ia bergegas menghampiri Laras.

"Gimana, Mas?" tanya sang istri dengan wajah khawatir.

Bagas tersenyum tipis. "Kamu nggak usah kuatir, Bu Rina mau kasih tempo buat kita sampai Minggu depan."

Laras lega mendengarnya.

"Masuk yuk! Udah malam, nggak baik terus berada di luar," kata Bagas lagi.

Laras mengangguk. Perempuan muda itu segera bangkit dibantu oleh Bagas. Setelah membenahi barang-barang yang berserakan di depan pintu, mereka segera masuk rumah.

"Mas Bagas pasti capek sudah cari kerjaan seharian. Aku buatin kopi dulu, ya?" Laras bicara sambil melipat beberapa pakaian di sofa.

Bagas sedang termenung sambil berdiri di ambang jendela kamar. Laras menyipit heran melihat suaminya diam saja.

"Mas Bagas?"

Bagas terkejut saat sentuhan hangat menyentuh bahunya dari arah belakang. Ia menoleh. Wajah heran Laras menyambutnya.

"Kok melamun? Pasti Mas Bagas masih mikirin uang kontrakan, ya? Laras minta maaf, karena nggak bisa bantuin Mas Bagas. Sejak kita menikah, Laras cuma jadi beban buat kamu, Mas! Bahkan, Mas Bagas di usir dari rumah karena Laras!"

Bagas buru-buru menggeleng. Lantas ia merangkum wajah putih Laras yang sedang bersedih. Dia menatapnya dengan lembut.

"Ini bukan salah kamu. Sudah tanggung jawab aku sebagai suami untuk bahagiakan kamu! Aku yang mestinya minta maaf, karena sebagai suami aku belum bisa membuatmu bahagia ..."

Laras menangis terharu. Dan Bagas segera meraih sang istri ke dalam pelukannya.

'Saya tunggu kamu di tepi jalan besar seberang mall. Saya nggak suka menunggu loh!'

Malam ini Bagas tak bisa tidur. Ucapan Bu Rina terus terngiang-ngiang.

Rasanya jijik sekali kalau dibayangkan. Mustahil dia harus menuruti keinginan perempuan tua itu!

Namun apa daya, dia kebingungan sudah seperti cacing yang terjebak di tengah lingkaran garam. Bagas putus asa dan tidak tahu harus berbuat apa.

"Kopinya sudah habis, Mas. Laras mau ke warung dulu." Laras bicara pada laki-laki berkemeja kotak-kotak lengan pendek yang sedang termenung sambil duduk di teras rumah.

Bagas pasti masih memikirkan dari mana ia dapat uang buat bayar kontrakan. Meski sangat sedih, Laras tidak bisa membantunya.

Laki-laki yang sedang duduk di teras belakang rumah cuma melirik ke punggung Laras. Dilihatnya sang istri yang sedang berjalan menuju pintu pagar rumah.

Entah apa yang harus dia katakan pada Laras. Tidak mungkin istrinya mengizinkan dia menemui Bu Rina untuk melakukan hal yang menjijikan.

"Nggak bisa! Utang kemarin aja belum dibayar, kamu mau utang lagi?! Kamu pikir saya belanja nggak pake duit?!"

Laras menunduk malu saat pemilik toko sembako marah-marah padanya. Pagi itu dia jadi pusat perhatian orang-orang yang sedang berbelanja di toko tersebut.

"Maafkan saya, Bu. Permisi." Dengan wajah merah Laras memutuskan segera meninggalkan toko sembako.

Orang-orang menoleh serempak ke arahnya saat perempuan muda berparas cantik itu melintas.

"Enak aja mau utang! Dikira ini toko sembako bapak dia apa?!" Pemilik toko masih marah-marah.

Laras jadi nelangsa mendengarnya. Air mata yang berjatuhan menghalangi pandangan. Hingga tak sengaja ia menabrak seseorang.

"Maaf!"

"Eh, nggak pa-pa kok!"

Suara seorang laki-laki. Laras mengangkat sepasang matanya guna melihat rupa orang tersebut.

Benar, laki-laki. Usianya sekitaran 27 tahun. Lebih tua dua tahun dari Mas Bagas.

"Mbak nggak pa-pa?" tanya laki-laki itu sambil membuka kacamata hitamnya. Ia tersenyum amat manis saat mata sembab Laras menatap.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Dewa Amour

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku