Seorang pria yang sudah menikah kembali bertemu dengan cinta pertamanya yang belum pernah ia lupakan. Hubungan ini membuatnya meragukan pernikahannya dan mempertanyakan apa itu cinta sejati.
Suasana reuni sekolah menengah atas yang diadakan di sebuah hotel mewah terasa penuh dengan tawa dan kebahagiaan. Lampu-lampu berkilau, menghiasi ballroom yang ramai dengan kerumunan wajah-wajah yang pernah dikenal. Di antara kerumunan itu, Arman berdiri, berusaha mencari teman-temannya di masa lalu.
Sejak tiba di acara tersebut, Arman merasakan ketegangan yang tak biasa. Ia mengenakan jas hitam yang terlihat rapi, namun jiwanya dipenuhi oleh rasa cemas. Mengapa ia merasa seperti ini? Apakah karena kenangan-kenangan yang tersimpan dalam sanubarinya? Dia mencoba menepis perasaan itu, tetapi bayangan masa lalu tak pernah sepenuhnya hilang.
Saat berjalan menyusuri ruangan, ia mendengar suara tawa yang familiar. Dengan ragu, ia berbalik dan melihat sekelompok orang yang sedang berbincang. Di tengah-tengah mereka, seorang wanita berdiri dengan senyuman yang tak pernah bisa dilupakan-Alya. Cinta pertamanya. Perasaannya seolah menghangat dan bergetar saat melihatnya.
Alya terlihat berbeda. Rambutnya yang panjang tergerai dengan anggun, dan matanya bersinar dengan kebahagiaan. Tiba-tiba, Arman merasa seperti waktu mundur. Semua kenangan indah semasa SMA menyerbu pikirannya: tawa di kantin, janji-janji di bawah pohon beringin, dan malam-malam ketika mereka berbagi impian dan harapan.
Dengan langkah mantap, Arman mendekatinya. Alya menyadari kehadirannya, dan matanya melebar. Senyumnya lebar ketika mereka saling bertatap muka.
"Arman!" serunya, suaranya penuh keceriaan. "Tak kusangka bisa bertemu denganmu di sini!"
"Ya, sama-sama. Sudah lama sekali," Arman menjawab, suaranya agak tersekat. Ia merasa jantungnya berdegup lebih cepat.
Mereka berdua tertawa, berusaha menghilangkan rasa canggung yang tiba-tiba muncul. Alya mulai menceritakan kehidupannya-bagaimana dia sekarang menjadi seorang seniman terkenal dan mendapatkan banyak penghargaan atas karyanya. Arman mendengarkan dengan penuh kekaguman, bangga dengan pencapaian mantan kekasihnya. Namun, di balik senyumannya, ada rasa sakit yang menghinggapi hatinya.
"Bagaimana denganmu? Apa kabar?" tanya Alya, mengamati Arman dengan penuh perhatian.
"Baik, saya sekarang bekerja di perusahaan keluarga. Menikah, punya anak," jawabnya, meskipun hatinya terasa berat. Dia tidak bisa mengungkapkan rasa tidak puas yang menyelubungi hidupnya saat ini.
Mereka berbagi cerita dan tawa, tetapi seiring berjalannya waktu, perasaan yang lebih dalam mulai muncul kembali. Setiap tawa, setiap sentuhan, seolah menghidupkan kembali kenangan yang terpendam. Arman merasa bingung; ia mencintai istrinya, tetapi ada sesuatu yang membuatnya terikat pada Alya.
Ketika malam mulai larut, mereka berdiri di balkon, menikmati pemandangan kota yang berkilauan. Keheningan mengisi ruang di antara mereka, dan Arman bisa merasakan getaran emosi yang mengalir di antara mereka.
"Aku tidak pernah benar-benar melupakanmu, Arman," Alya akhirnya berkata, suaranya lembut. "Aku selalu berharap yang terbaik untukmu."
Arman menatapnya, hati dan pikirannya berperang. Apakah ini sebuah kesempatan kedua? Sebuah petunjuk dari takdir bahwa mereka seharusnya bersama?
Dengan rasa yang begitu mendalam, Arman menyadari bahwa pertemuan ini telah membuka kembali luka lama dan menghidupkan harapan yang sudah lama dia kubur. Dalam sekejap, ia berada di persimpangan antara masa lalu dan masa depan, meragukan jalan yang telah ia pilih dan mempertanyakan apa arti cinta sejati sebenarnya.
Ketika mereka berpisah malam itu, Arman tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Kenangan indah dan pahit bersatu, menciptakan gejolak yang tidak bisa ia abaikan. Cinta yang terpendam ini, apakah akan membawanya pada kebahagiaan, atau justru menghancurkan segala yang telah ia bangun?
Ketika Arman meninggalkan hotel, langkahnya terasa berat. Pikiran dan perasaannya berputar seperti badai. Ia duduk di dalam mobilnya, berusaha menenangkan diri. Setiap sudut matanya, setiap detak jantungnya mengingatkannya pada Alya, yang kini kembali muncul dalam hidupnya setelah sekian lama. Kenangan masa lalu yang menyentuh dan manis itu tiba-tiba mengalir deras dalam ingatannya.
Dia teringat momen-momen di mana mereka merencanakan masa depan bersama, impian-impian yang sempat tertunda. Namun, semua itu pupus ketika kehidupan memisahkan mereka. Sekarang, di balik senyuman Alya, ada harapan yang seolah tak kunjung padam. Arman merasakan konflik antara rasa setia terhadap istri dan kecintaannya yang tak kunjung pudar terhadap Alya.
Beberapa hari berlalu sejak reuni, namun pertemuan itu terus menghantui pikirannya. Di tempat kerjanya, ia berusaha berkonsentrasi, tetapi wajah Alya selalu muncul. Tidak jarang ia terjebak dalam lamunan, memikirkan apa yang akan terjadi jika ia memilih untuk mengejar kembali cintanya yang telah hilang.
Suatu sore, saat di rumah, Arman berbaring di sofa, menatap langit senja melalui jendela. Suara tawa anak-anaknya yang bermain di luar terdengar jelas, tetapi hatinya terasa kosong. Istrinya, Maya, datang dan duduk di sampingnya, menyentuh bahunya.
"Sayang, kamu baik-baik saja? Sepertinya kamu tidak fokus belakangan ini," tanya Maya, penuh perhatian.
Arman tersenyum tipis. "Iya, hanya sedikit lelah. Banyak pekerjaan."
Maya mengangguk, tetapi Arman bisa melihat keraguan di matanya. Istrinya adalah wanita yang selalu mendukungnya, tetapi Arman tidak ingin membebani Maya dengan masalah yang kini menghantuinya.
Namun, malam itu, saat anak-anak sudah tidur, Arman tak bisa tidur. Dia meraih ponselnya dan membuka pesan yang pernah ia tukar dengan Alya. Pesan-pesan itu masih ada, penuh dengan candaan dan kenangan. Rasa rindu menyelimutinya saat melihat foto-foto lama mereka berdua. Dalam gelap, ia memutuskan untuk mengirim pesan kepada Alya.
"Hey, bagaimana kabarmu? Aku masih memikirkan reuni itu," tulisnya, jari-jarinya bergetar saat menekan tombol kirim.
Hanya beberapa menit kemudian, balasan datang. "Aku baik, Arman. Reuni itu benar-benar menyenangkan. Aku juga memikirkanmu. Mari kita bertemu lagi?"
Jantung Arman berdebar kencang. "Tentu, kapan? Mungkin kita bisa makan siang?"
"Bagaimana dengan akhir pekan ini? Di tempat favorit kita?" jawab Alya.
Saat membaca pesan itu, Arman merasakan campuran kegembiraan dan ketakutan. Dia tahu bahwa pertemuan itu bisa mengguncang hidupnya, tetapi ia tidak bisa menolak panggilan hatinya.
Akhir pekan itu tiba lebih cepat dari yang ia duga. Arman bersiap-siap dengan penuh kecemasan, mengenakan kaos favoritnya dan celana jeans. Dia mengemudikan mobilnya menuju kafe yang sering mereka kunjungi saat masih sekolah. Setiap detak jantungnya terasa seperti ketukan yang menantang, mengingatkan akan masa-masa indah yang pernah ada.
Saat sampai di kafe, Arman melihat Alya sudah menunggu. Dia mengenakan gaun sederhana berwarna biru, rambutnya tergerai indah. Senyumnya menawan, tetapi ada sesuatu yang membuatnya tampak lebih dewasa, lebih bijak.
"Hey!" sapa Alya ceria saat melihatnya.
"Hey," jawab Arman, mencoba terdengar santai meskipun hatinya berdebar.
Mereka duduk, dan suasana terasa akrab, meski ada kerinduan yang mendalam. Pembicaraan mengalir dengan lancar, membahas kenangan masa lalu dan pencapaian masing-masing. Arman menyadari bahwa meskipun waktu telah berlalu, koneksi di antara mereka masih kuat.
Namun, saat Alya mulai berbicara tentang kehidupannya, Arman merasakan ketegangan di dadanya. Ada kebahagiaan dalam cerita-cerita Alya, tetapi di balik itu, ia merasakan kesedihan yang mendalam. "Aku masih sendiri, Arman," ungkap Alya, menatapnya dengan mata yang penuh makna.
Kata-kata itu menghantam Arman seperti petir. Ia merasa terpukul, sekaligus merasa bersalah. Di saat yang sama, di dalam hatinya, ada dorongan untuk meraih kembali kesempatan itu, untuk menjalin kembali hubungan yang terputus.
"Mungkin kita bisa memberikan kesempatan kedua pada diri kita?" Alya bertanya, seolah dapat membaca pikirannya.
Arman merasa lidahnya kelu. Dia ingin mengatakan ya, tetapi wajah Maya dan anak-anaknya muncul dalam pikirannya. Semua kebahagiaan yang telah ia bangun terasa begitu berharga, tetapi apakah cinta itu akan pernah memudar?
Dalam momen hening itu, Arman tahu satu hal: keputusan yang ia buat sekarang akan menentukan arah hidupnya selanjutnya. Dan dengan itu, rasa hati yang terbelah semakin dalam, menanti jawaban dari semua pertanyaan yang mengelilingi jiwa mereka berdua.
Bersambung...
Buku lain oleh eryede
Selebihnya