Amara, begitulah teman-teman memanggilku. Lahir dari keluarga yang tidak baik-baik saja. Mama pergi entah kemana sedangkan papa sibuk dengan kehidupannya sendiri, tanpa memikirkan perasaan anak sematawayangnya ini. Sejak keduanya berpisah, hidupku semakin tak karuan, papa menikah lagi dengan seorang perempuan yang jahatnya tingkat dewa, bahkan mungkin lebih. Entahlah .... Hingga semua ini membuat aku lebih senang berada di luar rumah. Cerita hidupku justru sedikit berwarna ketika lelaki bernama Agung datang dan memberi cinta. Kami bertemu dengan tanpa sengaja, ketika aku berusaha lari dari kejaran polisi. Salahku juga sih, hanya karena tak ingin terlambat datang ke acara reuni, aku sampai melupakan kelengkapan berkendara. Agung datang disaat yang tepat, ketika aku membutuhkan pertolongan. Tadinya kupikir permasalahan ini sepele dan akan segera selesai ketika motorku menyala, namun tak disangka ternyata dua orang penjaga keamanan di desa tersebut memergoki kami, mereka mengira kami berbuat hal yang tidak diindahkan. Akhirnya, kami pun dibawa ke balai desa setempat, dari sini semuanya menjadi rumit.Tuduhan yang tidak kami lakukan membuat kami dipaksa untuk mematuhi adat desa ini, yakni menikah. Pernikahan dadakan pun dilakukan, rasanya semua ini seperti mimpi. Hidupku jauh berubah, lelaki yang bernama Agung ini justru pasrah menerima keadaan. Hari demi hari kami lalui dengan ketidaknyamanan. Hingga suatu hari, ada perasaan lain yang muncul di hati. Perasaan yang sulit kumengerti maknanya itu semakin merajai hati. Sayang, justru karena perasaan inilah, petaka datang silih berganti hingga dalam keadaan mencekam dan tak bisa kugunakan otak untuk berfikir sebagaimana mestinya. Aku dan Agung pun saling menguatkan satu sama lain, hingga perjuangan kami berdua menemui titik terang. Ternyata benar kata pepatah, perjuangan tidak akan pernah menghianati hasil. Hingga cinta itu benar-benar datang tanpa halangan apapun. Layaknya di negeri dongeng para putri, aku pun merasakan cinta dan kebahagiaan sejati, aku dan lelaki bernama Agung pun hidup bahagia.
Tin ... Tin ....
Suara klakson di sana sini menambah ramai kondisi jalan. Entah mengapa jalanan yang biasanya lengang, malam ini nampak begitu ramai dan padat merayap sehingga kemacetan pun tak dapat dihindari. Seseorang berjalan balik memutar arah, lalu di susul sirine mobil polisi dengan suara khasnya yang tak kalah ramai dengan deru kendaraan.
Sial, ada razia rupanya!
Segera kubelokkan sepeda motor ke sebuah jalan sempit, seingatku jalanan sempit berliku seperti ini seringkali disebut dengan jalan tikus, entahlah bagaimana awal ceritanya kenapa sebutan itu ada, yang terpenting aku bisa lolos dulu dari polisi. Kalau saja aku tadi tidak terburu-buru, mungkin stnk tak akan ketinggalan seperti ini. Fikiranku tadi saat hendak berangkat hanyalah satu, segera tiba di tempat reuni teman sekolah. Sebenarnya masuk ke jalan ini juga bukan pilihan yang benar, terlebih aku jarang melewatinya. Syukur-syukur jika aku tidak tersasar.
"Woy, Mbak. Mau ke mana? Di sana hutan nggak ada tembusan." Seru seseorang, yang tadi juga mengantri karena macet.
Ah ... bodo amat! Mau hutan kek, ada hantu kek, yang penting aku nggak berurusan sama polisi, fyuh! Aku tak menghiraukan suara tersebut.
Kutarik gas motor lebih kencang, berharap tak mendengar lagi omongan-omongan yang hanya membuat bising telinga. Roda motor pun melaju semakin kencang hingga aku tak begitu memperhatikan badan jalan yang licin dan gelap.
Ngeng!
Semakin lama melewati jalanan ini cahaya penerangan pun semakin redup pula, hingga lama kelamaan tak ada lagi cahaya lain selain dari sorot lampu motorku. Sedangkan kiri dan kanan di kelilingi pohon-pohon yang menjulang tinggi. Sedetik kemudian aku mulai kehilangan keseimbangan dan akhirnya ....
Byur!!
Aku tercebur ke sebuah sungai kecil, naasnya motorku tidak bisa keluar. Aku pun berusaha untuk merangkak keluar dari sungai dengan kondisi yang gelap pekat. Bahkan sendal yang kupakai juga hilang entah kemana. Aku menangis sejadinya, tak berhenti merutuki diri yang kenapa sedari tadi tak mendengarkan perkataan orang. Nasib ...nasib!
Tapi tak lama kemudian aku sadar jika ini adalah hutan, jadi menangis pun kurasa percuma, siapa juga yang akan mendengar, paling-paling hantu dan binatang buas yang datang. Hi ... ngeri! Ya kecuali tiba-tiba ada keajaiban ada pangeran tampan yang mau membantu, membawa sebuah lilin lengkap dengan kuda putihnya! Wait ... kuda putih? Ih gak jadi deh, gimana kalau tiba-tiba yang datang adalah hantu!Huaaaaa....
Bimbang antara kembali keluar lewat jalan tadi atau terus melanjutkan perjalanan ini. Hingga kuputuskan duduk pada pinggiran jalan tanah yang ditumbuhi rumput. Kulantunkan doa tak henti berharap ada keajaiban datang. Tiba-tiba dari kejauhan samar-samar terlihat sorot cahaya mengarah padaku, aku memutuskan mendekati cahaya tersebut, semakin dekat cahaya tersebut semakin menyilaukan mata ini.
"Mbak, ngapain malam-malam ada di sini?" selidik pria di depanku.
"Lagi mojok. Lah terus kamu sendiri ngapain malam-malam ke tempat beginian?"
"Mojok itu apa, Mbak? Ini saya mau ngambil air di sungai, Mbak."
"Memangnya rumahmu nggak ada air?" tanyaku kemudian semakin penasaran.
"Ya ndak ada, Mbak. Wong ini desa terpencil!" Sahutnya seraya berlalu dan berdiri pada pinggiran sungai kemudian mulai menimba air.
Tangannya menyorot pada bagian kiri kolam, terlihat jelas di sana sepeda motorku tengah berendam dengan cantiknya pada bibir sungai.
"Loh, itu sepeda motor Mbak kah? Kok berenang di situ?" Ujarnya seraya menyorot cahaya senternya padaku.
Kurang asem nih, orang. Di kira motorku mau mandi apa?
Aku merengut, coba bukan karena dia manusia satu-satunya di tempat ini sudah kujitak kepalanya dengan kekuatan super. Duh, sabar ... sabar ...
"Gimana, bisa bantuin aku ngeluarkan itu motor nggak?"
"Ya bisa saja Mbak. Tapi paling besok, karena ndak bisa sendirian."
"Terus, aku pulangnya gimana?"
***
Pria bernama Agung itu pun mengajakku untuk bermalam di rumahnya. Awalnya aku menolak dan curiga jangan-jangan dia orang jahat yang sengaja mengambil kesempatan dalam kesempitan. Bukankah kata bang napi kejahatan itu ada bukan hanya niat dari pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan. Waspadalah!
Setelah mengobrol cukup lama, barulah aku mengerti dan mulai berpikir baik tentangnya. Katanya, ia tinggal bersama ibunya, jadi kupikir dia tak akan macam-macam, dari tampangnya sih dia juga terlihat orang baik-baik.
Akhirnya aku pun memutuskan untuk mau dan ikut dengannya, daripada berdiam di tempat tak jelas dan seram begini, ya kan! Dalam perjalanan ke rumahnya, aku yang dari tadi berjalan bertelanjang kaki tiba-tiba menginjak sesuatu.
"Aduh sakit!" erangku hingga dia berhenti dan melihat ke arah telapak kakiku.
"Mbak, kok nyeker? Sandalnya di mana, jatuh ke sungai juga ya?"
Hadeh, ni orang nanya sendiri, jawab sendiri!
"Sini kulihat kakinya!" seraya membungkuk kan badan dan meraba telapak kakiku.
Saat ia berusaha menarik sesuatu di telapak kaki, terdengar suara peluit di tiup nyaring, aku mengedarkan pandangan ke arah sumber suara ternyata ada dua orang hansip berlari menghampiri kami.
"Kalian berdua, ngapain malam-malam di sini? Peraturan kampung ini sudah jelas, selepas maghrib dilarang perempuan dan laki-laki bukan muhrim berdua-duaan."
Agung cuma tertunduk. Sedangkan aku berusaha menjelaskan peristiwa yang terjadi. Namun sialnya para hansip ini tidak peduli, mereka justru mau menggiring kami ke balai desa. Aku hanya berdecak kesal. Mana pria lugu di sampingku ini malah diam saja tanpa berusaha memberi penjelasan.
Sedetik kemudian, Agung akhirnya bersuara "Maaf, Pak Hansip bisa berhenti sebentar kaki dia sakit, izinkan saya meminjamkan sandal saya ini, agar kakinya tidak terkena kotoran dan infeksi."
Aku tercengang saat dia memasukkan sandal jepit nya ke telapak kakiku, sedangkan dia malah bela-belain jalan tanpa alas kaki. Ketika aku memandangi wajahnya dia malah spontan berkata " Jangan dilihatin terus, Mbak. Nanti naksir!"
"Busyet, pede amat lu tong!"
Sesampainya di balai desa, sudah banyak warga kampung tengah menunggu. Dengan duduk bersila kami di persilahkan duduk, salah seorang warga di suruh memanggil ibunya Agung. Tidak lama salah seorang tetua adat berbicara, menjelaskan peraturan di kampung ini dan kami sudah melanggar. Jadi harus siap menerima hukuman yaitu di nikahkan malam ini juga di balai desa secara adat dan agama.
Sontak aku berdiri dan berteriak "Apa, peraturan macam apa ini? Saya saja baru tahu nama dia tadi. Lagian gimana mau nikah, wali saya aja nggak ada!"
Para Hansip berdiri hendak menangkapku, kata mereka aku tidak punya pilihan lain. Karena kalau itu tidak dilakukan desa mereka bakal terkena kutukan.
Ya ampun ini tahun berapa sih? Kok kayak zaman penjajahan aja! Nggak pokoknya enggak, aku nggak mau nikah. Aneh-aneh saja mereka, emang mereka pikir nikah itu semudah membalikkan telapak tangan, eh bukan emang mereka pikir nikah itu semudah ngambil singkong di sawah orang, eh apaan sih. Pokoknya itudah! Aku nggak mau pokoknya nggak mau!
Aku melengos ketika mereka memaksaku duduk di tengah bersama Agung, katanya prosesi pernikahan segera dimulai. Aku masih berusaha berontak, akan tetapi Agung membisikiku bahwa ikuti saja prosesnya, biar lebih mudah untuk keluar dari kampung ini. Nanti dia yang akan membantu. Mau tidak mau aku menerima tawarannya. Dengan syarat dia jangan pernah macam-macam apalagi ambil kesempatan.
Saat prosesi hendak dimulai, seorang perempuan tua datang tergopoh-gopoh ke balai sambil berkata "Ya ampun Le, kok kamu malah jadi begini? Pasti perempuan ini yang maksa kamu berduaan ya?"
Eh gimana-gimana buk?Nggak salah dengar ya? Kok jadi nyalahin aku sih? Wah gak beres nih orang-orang, main hakim sendiri saja. Lagian kenapa aku bisa berada di sini sih? Rasanya kayak mimpi, mending kalau ketiban durian runtuh! Wew, enggak ding ketiban durian kan sakit!Fyuh!
Salah seorang warga menarik tangan ibu si Agung agar duduk. Seseorang mengabarkan semua sudah siap, tinggal mas kawin saja yang belum ada. Aku menoleh pada Agung, niat hati mau menuntut banyak. Akan tetapi ini kan cuma pernikahan pura-pura jadi aku harus bisa berakting agar semua berjalan lancar dan besok bisa segera keluar dari sini.
Seseorang bertanya padaku "Sampean mau mas kawin apa? Biar disiapkan. Tapi jangan yang tidak ada di kampung ini.
Aku melirik kakiku yang sakit terkena duri, entah kenapa muncul di otakku, sepasang sandal yang dipinjamkan Agung tadi walaupun sudah buluk tetapi tetap nyaman digunakan, masa besok aku pulang tanpa alas kaki lagi.
Aku segera berdiri dan berkata," Aku minta sepasang sandal jepit sebagai mahar!"
Bab 1 Terjebak Pernikahan
30/06/2024
Bab 2 Kembali Pulang
30/06/2024
Bab 3 Anak Terbuang
30/06/2024
Bab 4 Pengirim Misterius
30/06/2024
Bab 5 Nyaman dan Cinta
30/06/2024
Bab 6 Mencintai Tanpa Memiliki
30/06/2024
Bab 7 Permintaan yang Menyakitkan
30/06/2024
Bab 8 Tempat yang Tepat
30/06/2024
Bab 9 Salahku di mana
30/06/2024
Bab 10 Sebatas Angan
30/06/2024
Bab 11 Perubahan Agung
30/06/2024
Bab 12 Mencari Amara
30/06/2024
Bab 13 Pertolongan dari Tuhan
30/06/2024
Bab 14 Penyesalan Tak berujung
30/06/2024
Bab 15 Bertemu Kembali
30/06/2024
Bab 16 Kebakaran
30/06/2024
Bab 17 Teror
30/06/2024
Bab 18 Ternyata aku Cinta
30/06/2024
Bab 19 Sebuah Rasa
30/06/2024
Bab 20 Rindu Tak Berujung
30/06/2024
Bab 21 Pindah Rumah
03/07/2024
Bab 22 Perasaan yang bersambut
05/07/2024
Bab 23 Hal yang tersembunyi
07/07/2024
Bab 24 Mencari Restu
08/07/2024
Bab 25 Hari yang Berat
11/07/2024
Bab 26 Insecure Agung
13/07/2024
Bab 27 Hari Bahagia Amara (pov Dave)
16/07/2024
Bab 28 Malam pertama
19/07/2024
Bab 29 Kembali ke Kampung
23/07/2024
Bab 30 Dave Memilih Sendiri
25/07/2024
Bab 31 Dia yang Hilang
30/07/2024
Bab 32 Tidak Mampu
06/08/2024