Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
264
Penayangan
26
Bab

Apakah rasa sakit hati dan benci juga berasal dari benci?

Bab 1 Bagian 1 : Hilang

"Jangan pulang, ya, sudah sore. Sebentar lagi kabut akan turun."

"Hahahaha, mana ada kabut di sini, Tante."

Embusan napas panjang.

"Percayalah pada tante, Win. Menginaplah di sini saja malam ini, ya?"

Edwin menggelengkan kepalanya.

"Maaf, Tante, Edwin nggak takut, Insya Allah Edwin akan pulang sekarang saja."

"Edwin ...."

"Ah, Tante ini ada-ada saja. Edwin sudah besar tante. Insya Allah tidak apa-apa. Nanti Edwi telepon kalau sudah sampai kosan, ya?"

Embusan napas kecewa dari wanita setengah baya itu. Wanita itu takut keponakannya, Edwin, tidak akan pernah sampai di kosannya malam ini.

****

Edwin menaiki motornya dengan kecepatan tinggi, karena dia takut kemalaman di jalan. Tadi ketika dia meninggalkan rumah tantenya sudah pukul dua. Tadi, sih, masih terang dan cerah, tetapi saat Edwin mulai menuruni jalan kecil di bukit itu, lama-lama kabut mulai turun perlahan, dan udara yang dingin mulai menyesakkan dada.

Edwin mulai menurunkan kecepatan motornya. Dia mulai bergidik dengan kabut yang sangat tebal di sekelilingnya. Lampu depan motornya sudah dihidupkan, tetapi jarak pandang Edwin paling hanya seratus atau lima puluh meter ke depan, agak sedikit mengkhawatirkan, apalagi kalau mengingat agak banyak kendaraan wisata yang melalui jalan ini. Edwin takut akan diseruduk dari belakang oleh bis atau mobil wisata.

Edwin semakin khawatir. Kabut semakin tebal dan udara terasa semakin sesak. Edwin memutuskan untuk menghentikan motornya sebentar, sekedar untuk mengambil napas saja, Edwin hampir tidak bisa menahan sesak di dadanya.

Edwin mengembuskan napas panjang dan minum sejenak. Kabut itu begitu pekat, seakan bisa mencekiknya. Edwin merasa semakin panik, istirahat pun tidak bisa membuatnya lega, dia merasa semakin tercekam ketakutan, karena kabut itu semakin gelap, seakan melilit tubuhnya.

Tiba-tiba ada sorot lampu yang menembus kabut pekat itu. Edwin hendak berteriak minta tolong, tetapi dia tidak perlu melakukannya, karena ternyata mobil itu berhenti di dekat motor Edwin.

Edwin sangat lega ketika seorang pria keluar dari mobil itu. Pria itu langsung berlari ke arah Edwin.

"Edwin Wijanarka?" tanya pria setengah baya itu dengan napas terengah.

Edwin mengangguk pasrah.

"Ya Allah, Alhamdulillah! Akhirnya ketemu juga. Mas Edwin sudah hilang selama tiga hari, kami semua sudah mencari ke mana-mana. Ayo, kita turun! Motornya ditinggal di sini saja, ya? Ada tim susulan yang akan mengambil motor Mas Edwin," kata pria itu dengan bersemangat.

Edwin mengangguk lega. Dia segera mengikuti pria itu masuk ke dalam mobil yang ada di depan mereka. Pria itu langsung memakaikan masker oksigen kepada Edwin, dan Edwin pun bernapas dengan lega. Dia berbaring dengan penuh kelegaan di bed yang ada di dalam mobil itu.

"Kita akan segera turun!"

"Pegangan, ya?"

"Siap!"

Edwin belum bisa mencerna apa yang dimaksud dengan percakapan itu, sampai kemudian dia merasakan mobil yang ditumpanginya melorot ke bawah, terus ... terus ... dan terus ....

Edwin tidak paham dengan apa yang terjadi, karena dia tidak bisa melihat apa-apa, dia hanya melihat hitam kegelapan dan kabut yang sangat tebal.

****

"Ini foto terakhir Mia dan Rizal. Foto ini diambil sebelum mereka hilang, Ust."

Faiz ikut melihat foto itu.

"Bukankah berkabut? Apa diperbolehkan mendaki?" tanya Faiz.

Prasetya menggelengkan kepalanya.

"Kami tidak memedulikan larangan itu, Ust. Dan akhirnya Mia dan Rizal diculik nenek bungkuk itu .... " Prasetya terdiam dan menunduk.

Faiz miris. Betapa banyak orang-orang yang tidak memedulikan peraturan yang disampaikan para penjaga di setiap pos pendakian. Faiz merasa gemas pada pria di depannya itu.

"Termasuk panjenengan juga ikut mendaki?" tanya Faiz gemas.

Bambang tersenyum.

"Sabar, Mas Faiz. Biar ustadz saja yang tanya," kata Bambang.

Tiba-tiba Prasetya memeluk kaki Bambang, dia menangis tersedu.

"Kami hanya bermain-main, Ust! Kami hanya bermain-main!" seru Prasetya dalam tangisnya.

***

Malam itu rinai gerimis turun di Tintrim. Tintrim yang biasanya panas dan gerah sekarang begitu sejuk.

Annisa membuka pintu rumahnya ketika mendengar suara mobil berhenti di depan rumahnya. Hafidz turun dan membukakan pintu untuk bapaknya.

Hafidz mencium tangan bapaknya dan ibunya. Annisa tersenyum.

"Mampir dulu, Fidz," kata Annisa.

Hafidz tertawa.

"Halah, ummi, ki, (Halah ibuk, ini,)" kata Hafidz. Annisa tertawa, tetapi kemudian wajahnya berubah agak sedih sedikit.

"Bapakmu gimana, Mas?" tanya Annisa.

Hafidz tersenyum sabar, tetapi Annisa tentu saja tahu bagaimana hati Hafidz, dan menyesal bertanya ketika melihat bulir-bulir air mata itu menetes di pipi anaknya yang pertama.

Annisa memeluk Hafidz.

"Sabar, ya, Nak," bisik Annisa, dia juga ikut menangis.

"Tadi bapak sudah ditalqin abi, Mi," kata Hafidz pelan.

Annisa terkejut sepenuhnya. Matanya membulat tak percaya. Dia melepas pelukannya dan memandang Hafidz lekat, dia juga menoleh kepada Bambang dan ... oh ... Annisa melewatkan air mata suaminya. Annisa beristighfar, dia segera mendekati Bambang. Bambang tersenyum dan mengangguk, sebulir air mata sekarang mengalir di pipinya, tetapi Bambang bisa menguasai dirinya dan tersenyum pada Annisa.

"Hafidz benar, Ndhuk. Tadi aku juga meruqyah Ustadz Setiyadi," jawab Bambang.

Annisa tidak bisa menterjemahkan kata itu. Meruqyah Ustadz Setiyadi? Hampir saja dia mengatakan kalau Bambang bohong, tetapi sepertinya wajah Bambang biasa saja, dan bahkan uraian air mata itu semakin deras saja.

"Pamit dulu, Umm. Yusuf dan Antika di rumah sendirian. Tadi ibuk sama Arini pergi ke kota sebentar," kata Hafidz. Rinaian air mata di mata Hafidz masih selayak gerimis di luar sana. Annisa memgangguk, mereka berpelukan lama dan melepaskan Hafidz pulang ke rumahnya.

Bambang tersenyum pada Annisa ketika Hafidz sudah tidak terlihat lagi. Mereka berpelukan, Annisa menangis haru. Bagaimana tidak, sahabat suaminya, yang juga sangat dikenalnya, sudah hampir mendekati akhir masa hidupnya.

"Ustadz Firman sudah diberitahu, Ust?" tanya Annisa.

Bambang mengangguk.

"Kasihan Antika. Dia masih kecil," kata Bambang. Annisa mengangguk dan memabayangkan Azkiya. Ah, apa jadinya kalau yang akan meninggal itu adalah suaminya.

Bambang tersenyum dan merangkul istrinya.

"Nggak usah mikir yang aneh-aneh. Allah maha tahu apa yang terbaik untuk kita. Allah sudah menentukan jalan hidup kita sejak empat ribu tahun yang lalu. Tidak boleh khawatir dengan semua kuasa Allah pada kita, Ndhuk," kata Bambang.

Ah, Annisa tak bisa menahan harunya. Biasanya Bambang menasihatinya dengan senyum, tawa atau wajah gemas, sekarang, dia menasihati Annisa dengan deraian air mata, bahkan Bambang berhenti sejenak dan terisak. Annisa tak kuasa menahan air mata. Ah, sedih sekali. Sedih sekali.

Mereka berpelukan lagi. Rasanya kesedihan ini tak kunjung luruh juga, malah semakin memekat dan meraja. Bambang beristighfar berulang kali, mencoba meredam semua rasa yang melingkupi hatinya.

Bambang dan Setiyadi sudah saling mengenal lama sekali. Sepertinya sejak mereka masih kecil. Sejak Sapto Aji masih

terkenal menjadi preman di Tintrim. Dulu sekali sepertinya. Bambang dan Setiyadi selalu mengaji bersama dan kadang bermain bersama, mereka sering mengintip rumah Sapto di Tintrim Tengah. Mereka berdua sama-sama pendiam dan tenang, hampir tidak pernah berkelahi dan lebih memilih membaca daripada bermain di luar.

Ketika SMA, mereka berpisah jalan. Bambang melanjutkan SMA ke Karang Pandan, sementara Setiyadi, yang terhitung lebih tua daripada Bambang, lebih memilih masuk SMA di Ketanggungan. Sore harinya mereka masih selalu mengaji bersama di Tintrim Tengah, sampai Bambang melanjutkan studi ke Arab Saudi dan Setiyadi masuk pesantren di Jawa Timur.

Karir Setiyadi melaju lebih dahulu dibandingkan Bambang. Dia menjadi salah satu di antara para pengajar atau ustadz pertama di Rumah Tahfidz di Tintrim. Dua atau tiga tahun kemudian Bambang masuk ke Rumah Tahfidz dan mencetuskan ide untuk mendirikan pesantren ruqyah di Tintrim. Ide yang membuat Bambang dipilih oleh Bu Nur untuk menggantikan Bu Nur memimpin Rumah Tahfidz kalau Bu Nur meninggal.

Ah, jaman itu. Jaman mereka masih berusia tiga puluhan dan masih menikmati masa muda mereka, mada kegemilangan mereka.

Kemudian datanglah Firman.

Entahlah. Yang pasti Allah lah yang menentukan bahwa secara fisik mereka bertiga hampir sama. Kurus, tinggi, dan berkulit bersih. Ah, Bambang sudah terbiasa dipanggil Setiyadi atau Firman. Demikian pula mereka berdua. Dan itu tidak menjadi masalah bagi mereka bertiga, yang secara diam-diam menjalin persahabatan yang erat, tanpa pernah mengatakannya secara langsung.

Orientasi Firman memang cukup berbeda dengan Bambang. Firman meletup-letup dan tidak sabaran, sementara Bambang --yang sebenarnya juga tidak jauh berbeda dari Firman-- bisa mengemas semua emosinya dengan lebih baik dan apik, sehingga orang akan lebih senang bercerita atau curhat pada Bambang, padahal sebenarnya sama saja, tetapi untuk kasus Bambang, yang tahu letupan emosinya paling hanya Annisa saja. Ah, kasihan juga Annisa, ya?

Qadarullah mereka bertiga juga terlambat menikah, kata orang. Bambang menikah di pertengahan usia tiga puluhan, sementara Setiyadi dan Firman menikah menjelang usia empat puluh. Tetapi, kan, jodoh adalah hak prerogatif Allah, manusia hanya berhak menjalaninya saja.

Bambang berusaha memejamkan matanya malam itu. Dia sudah pindah kamar dua kali dan sekarang dia tidur dengan Azkiya, anak bungsunya yang baru resmi masuk taman kanak-kanak beberapa hari yang lalu, dan usia Bambang sudah masuk pertengahan enam puluh, oh, Azkiya memang selayak cucunya. Dia memeluk Azkiya erat. Pikiran Bambang sangat tidak tenang. Dia beristighfar tanpa henti, tetapi hatinya tak kunjung menemukan ketenangannya.

Bambang memutuskan untuk bangun dan berwudhu saja, dia merasa lelah ketika terus memaksa matanya untuk terpejam. Ketika Bambang hendak membuka pintu, bertepatan dengan Annisa yang membuka pintu, mereka sama-sama terkejut.

Annisa tersenyum dan memberikan HP Bambang kepada Bambang.

"Hafidz," bisik Annisa.

Hati Bambang tenggelam. Dia merasa tahu apa yang akan dikatakan Hafidz padanya.

"Assalamualaikum."

"Waalaikum salaam. Bi, Yusuf ke situ. Dia kuminta menjemput abi," kata Hafidz pendek, jelas dan tegas.

"Kenapa, Fidz?" tanya Bambang, berusaha meredam emosinya sendiri.

"Kami minta tolong abi untuk ke sini, njih, Bi," jawab Hafidz diplomatis.

Bambang mengiyakan dan segera mengakhiri panggilan itu. Matanya begitu pedas menahan emosi. Dia segera keluar kamar dan berwudhu, meninggalkan Annisa dan Azkiya sendirian.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Endah Wahyuningtyas

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku