Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
1.6K
Penayangan
21
Bab

Hidup Larasati Sinta baik-baik saja sebelumnya, sebelum usianya menginjak tujuh belas tahun, sebelum kejadian-kejadian aneh menimpa dirinya, juga sebelum Erland Altair Januar, senior dengan predikat most wanted boy di sekolah bersikeras menjadikan Laras sebagai pacar. Bukan apa-apa, Laras dan Erland tidak saling mengenal. Pertemuan pertama mereka bahkan layak disebut 'kecelakaan' dengan Laras sebagai korban dan Erland sebagai pelaku. Dan untuk ukuran dua orang yang tidak saling kenal, pacaran tentu hubungan yang terlalu jauh bukan? - Teenfiction/Fantasy - A story by Puput Pelangi

Bab 1 Satu

Samsara:

Sebuah keadaan tumimbal lahir (kelahiran kembali) yang berulang-ulang tanpa henti dan penuh penderitaan.

***

Hidup Larasati Sinta baik-baik saja sebelumnya. Sebelum usianya menginjak tujuh belas tahun, sebelum kejadian-kejadian aneh menimpa dirinya, juga sebelum Erland Altair Januar, senior dengan predikat most wanted boy di sekolah bersikeras menjadikan Laras sebagai pacar.

Bukan apa-apa, Laras dan Erland tidak saling mengenal. Pertemuan pertama mereka bahkan layak disebut 'kecelakaan' dengan Laras sebagai korban dan Erland sebagai pelaku. Dan untuk ukuran dua orang yang tidak saling kenal, pacaran tentu hubungan yang terlalu jauh bukan?

Belum lagi adanya sosok Bayangan Hitam yang terus mengikuti Laras ke mana-mana.

Laki-laki dengan pakaian serba hitam yang tidak pernah menunjukkan wajah aslinya yang ada di balik tudung dan selalu melakukan dan mengatakan hal-hal di luar nalar di depannya.

Laras pikir apa yang terjadi padanya hanya mimpi dan ilusi.

Mimpi perihal Erland.

Ilusi perihal Bayangan Hitam.

Tapi tidak.

Semuanya nyata.

Dan Laras mau gila saja rasanya karena semua hal aneh yang datang dan menimpa hidupnya.

***

Kamu berada di antara batas sadar dan tidakku.

Siapa? Siapa kamu?

Aku penasaran bagaimana wajahmu.

Akankah kau semeriah butir hujan, semerdu desir angin, atau seharum bunga yang baru mekar?

Bahkan siluetmu masih terlihat samar-samar seperti ambang batas ada dan tiada.

Aku rasa salah mengatakan ini, tapi aku terusik karenamu dan aku kadang merinduimu.

Saat kepenatan menghinggapi dan kesendirian resah, aku ingin melihatmu.

Lagi dan lagi.

Meski hanya dalam mimpi.

***

Kamu berada di antara batas sadar dan tidakku.

Siapa? Siapa kamu?

Aku penasaran bagaimana wajahmu.

Akankah kau semeriah butir hujan, semerdu desir angin, atau seharum bunga yang baru mekar?

Bahkan siluetmu masih terlihat samar-samar seperti ambang batas ada dan tiada.

Aku rasa salah mengatakan ini, tapi aku terusik karenamu dan aku kadang merinduimu.

Saat kepenatan menghinggapi dan kesendirian resah, aku ingin melihatmu.

Lagi dan lagi.

Meski hanya dalam mimpi.

***

Namaku Larasati Sinta. Kalau tidak Laras, Sinta adalah panggilanku. Atau bisa juga Sati. Mau panggil aku apa, itu terserah kalian. Karena dipanggil apa pun aku fine fine saja asal kalian memanggilku dengan nama yang memang menjadi namaku.

Dari semua nama itu teman-temanku memanggilku Laras, tapi tidak sedikit juga yang memanggilku Sinta. Mereka adalah teman-teman masa kecilku. Dan soal Sinta, hanya keluarga dan teman masa kecilkulah yang memanggilku dengan nama itu.

Papaku orang Surabaya. Mamaku asli orang ibu kota, Jakarta. Mereka menikah bukan karena cinta. Keduanya sama-sama dijodohkan oleh orang tuanya masing-masing yang bersahabat dan masih memiliki hubungan darah. Bisa dibilang saudara jauh.

Dari pernikahan itu mereka dikaruniai dua orang anak. Kakakku, Rama Manggala, dan aku, Larasati Sinta. Di cerita ini Rama dan Sinta adalah saudara, oke?! Ha ha.

Setelah sepuluh tahun menikah, Papa dan Mama memutuskan untuk bercerai. Saat itu aku masih duduk di bangku kelas satu SD. Kalau tidak salah masih berumur tujuh tahun, sedangkan Kak Rama sembilan tahun. Waktu itu hak asuh kami langsung diberikan kepada Mama karena Papa tidak menuntut hak asuh itu.

Aku yang masih kecil saat itu sangat marah. Tidak mau melakukan apa pun termasuk yang namanya pergi ke sekolah. Padahal untuk anak seusiaku, ke sekolah adalah hal yang sangat menyenangkan karena di sekolah dapat bertemu banyak teman. 'Purek' istilah Jawanya. Merajuk. Aku tidak mau makan dan tidak mau bicara dengan siapa pun sampai jatuh sakit dan baru sembuh setelah Mama dan Papa bersedia menemaniku tidur selama dua hari di kamarku.

Setelah diberi penjelasan panjang lebar oleh keduanya, aku akhirnya bisa menerima perceraian itu. Berbeda dengan Kak Rama yang langsung mengerti dan menerima setelah sekali dijelaskan, bahkan sebelum perceraian.

Bisa dibilang, kedua orang tuaku bercerai secara damai. Dan aku tahu, mereka lebih bahagia setelah itu, karena sedari awal, keduanya memang tidak saling mencintai.

Setelah bercerai, Mama dan Papa menjadi sahabat. Mereka tetap menyayangi anak-anaknya meski tidak lagi bersama. Dan sekali saja, aku tidak pernah merasa kekurangan cinta dan kasih sayang dari keduanya. Aku yakin Kak Rama juga merasakan hal yang sama. Bagiku Mama dan Papa adalah orang tua terbaik yang ada di dunia. Aku sangat menyayangi mereka.

Lima tahun berlalu dan Papa memutuskan untuk menikah lagi. Papa menikah dengan seorang wanita yang dulu menjadi kekasihnya, Tante Gita. Ia seorang perempuan yang baik dan mereka hidup bahagia.

Mama sendiri, Mama memilih tidak menikah lagi dan hidup bertiga saja bersamaku dan Kak Rama. Mama beralasan tidak ingin cintanya terhadap kami terbagi dengan orang lain.

Tahun berikutnya, Tante Gita melahirkan seorang adik untukku. Seorang bayi laki-laki tampan yang kemudian diberi nama Bima oleh Papa. Ia begitu mirip Papa dan aku menyayanginya.

Di tahun yang bahagia itu hal buruk terjadi. Mama jatuh sakit dan tidak lama kemudian meninggal.

Aku sangat sedih karena ternyata Mama menyembunyikan sakitnya dari kami. Saat Mama kritis di rumah sakit waktu itu, kami baru tahu kalau ternyata Mama menderita sakit kanker darah. Sudah stadium 4 sehingga tidak banyak yang bisa dilakukan hingga akhirnya Mama meninggal. Dan di saat terpuruk itu, Tante Gita yang akan selalu menemaniku dalam diam. Ia akan memelukku saat aku menangis dan mendengarkan ceritaku dengan sabar tentang Mama, semalaman ketika aku tak bisa tidur, bahkan saat Bima rewel sekalipun.

Kurasa cukup di situ saja cerita sedihnya.

Sekarang, mau tahu kenapa aku tidak memanggil Tante Gita dengan sebutan Mama atau sejenisnya?

Alasannya ... Tante Gitalah yang melarangku. Sebenarnya aku sudah memanggilnya Mama Gita setelah ia resmi menikah dengan Papa. Namun, Tante Gita melarang dan mengatakan kalau hanya mamakulah yang berhak kupanggil Mama. Dan sejak itu, yang terjadi adalah aku yang selalu memanggilnya Tante sampai sekarang.

Satu tahun setelah Mama meninggal, Papa dan Tante Gita pindah ke Surabaya dari Jakarta. Mereka berdua sebenarnya berat meninggalkan aku dan Kak Rama sendirian di kota ini. Tapi mau bagaimana lagi, mereka sudah satu tahun menunda kepindahan mereka ke Surabaya karena kepergian Mama.

Lagi pula, aku tidak boleh egois, kan? Mereka harus tetap pindah ke Surabaya, tempat orang tua Tante Gita yang sudah mulai sakit-sakitan tinggal.

Akhirnya tinggallah aku sendiri bersama Kak Rama di ibu kota. Papa biasanya akan berkunjung saat sedang ada pekerjaan di kota ini dan di kota-kota lain sekitar Jawa Barat. Aku sendiri biasa berlibur ke Surabaya saat liburan sekolah bersama kakakku.

Keluarga Papa di Surabaya sangat baik. Keluarga Tante Gita juga. Aku selalu merasa nyaman berada di antara mereka, karena di ibu kota, aku tidak punya keluarga lagi selain kakakku. Kakek dan nenek dari pihak Mama sudah lama meninggal sedangkan semua saudara Mama tinggal di luar negeri. Mereka jarang berkunjung setelah Mama meninggal, bahkan tidak pernah. Seingatku, terakhir kali mereka datang adalah saat pemakaman Mama. Dan itu berarti sudah empat tahun yang lalu. Setelah itu tidak ada lagi hubungan atau kabar apa pun.

Ah, astaga. Aku baru ingat jika aku belum menceritakan apa pun tentang kehidupanku saat ini.

Maka baiklah, biar kuceritakan sedikit. Panjang juga sih sebenarnya. Tapi izinkan aku memulainya.

Satu tahun setelah Mama meninggal, selain kepindahan Papa, yang terjadi adalah mobil dan rumah kami yang dijual. Kami membeli rumah yang lebih kecil dengan biaya perawatan yang lebih murah daripada rumah yang sebelumnya menggunakan uang hasil penjualan itu dengan sisanya yang ditabungkan untuk biaya pendidikan kami. Untuk uang listrik dan kebutuhan sehari-hari, Papa yang masih membiayai.

Setiap bulan Papa akan mengirim sejumlah uang untuk makan dan kebutuhan kami. Di sisi lain, Kak Rama juga bekerja. Aku sendiri pun mengambil pekerjaan paruh waktu satu tahun belakangan. Yah, apa lagi kalau tidak belajar hidup mandiri dan karena merasa tidak enak sebab terus meminta pada Papa untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya. Aku harus sadar kalau Papa juga punya keluarga sendiri di Surabaya. Terlebih, tahun ini Bima sudah mulai masuk TK. Kebutuhan mereka pasti semakin banyak.

Di Jakarta, aku bersekolah di sebuah sekolah favorit, SMA Garuda. Salah satu sekolahan elite dan bonafide yang berisikan anak-anak orang kaya dan para pejabat negeri sebagai muridnya.

Sebagai orang biasa, aku tidak memiliki banyak teman di sekolahan. Alasanku bukan karena aku anti sosial. Aku hanya tidak ingin terlalu bergaul dengan anak-anak itu. Bukan karena mereka jahat atau bagaimana. Namun, karena kebanyakan dan bisa dipukul rata anak-anak itu cenderung suka boros dan menghambur-hamburkan uang.

Uang saku pemberian Papa memang cukup banyak, tapi aku lebih suka menabungkan uang itu daripada kugunakan untuk sekadar bersenang-senang. Lagi pula kasihan Papa yang sudah bersusah payah mencari uang jika aku malah berfoya-foya dengan uangnya. Aku bukan seorang anak yang tega.

Syukurnya, meski aku kurang suka bergaul dengan anak-anak di sekolahku yang kelas sosialnya jelas berada di atasku, aku tetap memiliki beberapa teman dekat yang bisa juga dibilang sahabat. Mereka adalah Karina, Gini, dan Alina. Dengan mereka aku cukup sering menghabiskan waktu bersama.

Soal bagaimana kami bisa dekat, kebetulan aku dan Karina duduk sebangku, sedangkan Gini dan Alina, keduanya duduk tepat di meja depanku. Kami menemukan kecocokan pada diri satu sama lain dan menjadi sahabat.

Baiklah, kurasa cukup. Kembali pada nama.

Aku tidak masalah dipanggil apa. Entah itu Laras, Sinta, atau mungkin Sati.

Terserah. Itu semua adalah namaku.

Tapi Citra? Siapa dia? Kenapa seseorang memanggilku dengan nama itu?

Anehnya aku merasa tidak asing dengan namanya. Bahkan secara pribadi, aku merasa seperti memiliki hubungan dengan seseorang yang bernama Citra. Seolah-olah, Citra adalah orang yang begitu dekat denganku di masa lalu. Padahal selama tujuh belas tahun aku hidup, sekali pun aku yakin tidak pernah mengenal seseorang dengan nama itu.

Jadi, siapa itu Citra? Siapa juga orang misterius yang memanggilku dengan nama itu? Kenapa ia memanggilku Citra?

Aku sangat yakin namaku yang tercatat di akta kelahiran adalah Laras. Bukan Citra. Tapi, kenapa aku merasa terpanggil saat orang itu memanggilku Citra?

Laki-laki itu ... siapa dia? Apakah aku mengenalnya? Apakah kami saling mengenal sebelumnya?

Kupikir aku bisa gila jika tidak segera mengetahui ada apa yang sebenarnya.

Siapa mereka?

Bersambung

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Puput Pelangi

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku