Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
I LOVE YOU PAK PENGHULU

I LOVE YOU PAK PENGHULU

Mhia Davriza

5.0
Komentar
1.2K
Penayangan
15
Bab

Aku menyukai penghulu yang menikahkan Kakakku. Dia tampan dan rupawan, tapi sikapnya sangat tak acuh dan dingin. Namun, aku tak menyerah dan terus melancarkan gombalan berharap bisa meruntuhkan gunung es itu.

Bab 1 Pertemuan Pertama

"Penghuluin orang mulu, Pak. Kapan nih, menghuluin diri sendiri?" tanyaku membuat semua orang di sini terkekeh.

"Mana bisa menghuluin diri sendiri, Ayu. Aneh kamu," kata Teh Rianti. Dia pengantin yang siap menikah.

Aku hanya diam dan tersenyum sembari mencuri pendangan ke arah penghulu muda dihadapan.

"Pak, manis banget, sih. Waktu diproduksi dulu, pake berapa kilo gula?" Bisikanku tidak keras tapi terdengar oleh semua orang yang berada di ruang tengah. Ibu yang ada di sebelahku sampai harus mencubit lengan ini tetapi gombalan barusan berhasil membuat mereka tertawa. Termasuk ibu yang sudah mencubit lenganku.

"Bisa kita mulai acaranya?" tanya Penghulu.

Huh, dia biasa aja bahkan gak senyum sama sekali dari tadi. Apa dia ini aktor drakor yang lagi cosplay jadi penghulu?

Acara ijab qobul pun dilaksanakan setelah sambutan singkat oleh calon suamiku. Eh, penghulu itu maksudnya.

"Pak, Pak Suami, eh. Pak penghulu siapa sih, namanya?" Kini Lia, tetangga sekaligus teman masa kecilku menggeleng pelan. Untung ibu sudah keluar duluan. Kalo enggak, entah aku akan dia apakan.

"Nama saya Jibril Mubarak," jawabnya.

"Wah, namanya seperti malaikat penyampai wahyu. Berarti bisa, dong, Pak sampein ke calon suami saya kapan dia datang?"

"Apa kamu belum menikah?" tanya dia lagi. Sekarang penghulu itu mendekat ke arahku.

"Belum." Aku memasang wajah memelas. Ya, siapa tahu dia mau menyumbangkan diri untuk menjadi imamku.

"Kasian, deh, loe."

Sontak aku membulatkan bibir. Hampir kuangkat kepalan tangan padanya, tetapi kutahan kuat-kuat. Untung ganteng.

"Kena mental, kan, makanya jangan ganjen." Kini Lia yang tengah sibuk membereskan ruangan bekas ijab qobul kakak perempuanku ini ikut bicara.

"Diam kau, Markonah. Aku tidak butuh pendapatmu."

Masih belum menyerah, aku mengikuti penghulu itu keluar ruangan. Wajah yang tersorot cahaya, benar-benar membuatku meleleh.

"Pak, Pak," panggilku. Dia pun seketika menoleh.

"Kenapa lagi?"

"Boleh minta nomer HP-nya nggak?"

"Buat apa?"

"Buat temen chating. Ya, siapa tau Bapak butuh temen chating yang cerewet kaya aku."

"Yang ada HP-ku nanti panas kalo setiap hari dengar suara kamu." Dia pun pergi begitu saja setelah memakai sepatu.

Tak menyerah, aku pun mengikutinya ketika melangkah ke meja prasmanan. Aku berlari kecil dengan mengangkat sedikit rok kebaya coklat. Aku pun beridri tepat di belakangnya.

"Ayolah, Pak. Boleh, ya. Itung-itung, sodakoh sama orang yang tidak mampu seperti saya."

"Dari tampilan kamu, saya nggak yakin kalau kamu tidak mampu."

Pak Jibril menoleh kembali dan memandangku sekelebat. Ece-ece yang melayani tamu di meja prasmanan, nampak keheranan melihatku.

"Tidak mampu menemukan tambatan hati, Pak." Dari belakang, ia nampak menghela napas.

"Nih." Tiba-tiba, dia memberikan HP-nya padaku. Uwaa, senangnya hati ini.

Tak menunggu lama, aku menggeser layar dan mengetik nomer HP-ku. Lalu, kutelpon nomerku dengan HP-nya.

"Makasih, Pak," ujarku sembari mengembalikan HP miliknya.

"Ada lagi?" tanyanya.

"Udah punya calon belum, Pak?"

Kali ini dia diam dan memilih menghindar. Ya, sudahlah. Tidak masalah. Toh, aku sudah mendapat nomer HP-nya. Berarti mulai besok, aku bisa meneror dia dengan gangombalan ampuh.

"Loh, Yu kok cemberut?" Aku berjalan menuju meja amplop.

"Aku dapet nomer HP-nya."

Aku berhasil nge-prank si Lia. Dia kira aku ini siapa, Ayu Mahesti. Kang gombal seantero kampung. Aku emang nggak jelek-jelek amat, tapi entah kenapa aku belum laku juga.

"Yu, itu ada penggemar beratmu," ucap Lia.

Di sana. Tepat di depan kami berdua ada laki-laki bernama Umar. Ya, dia tetanggaku juga, tapi rumahnya agak jauh.

"Neng Ayu. Aduh tambah cantik aja."

Aku cuma senyum dikit. Itu pun karena terpaksa.

"Iya, Kang."

Aku diam-diam melirik Pak Penghulu yang masih duduk di dekat prasmanan. Dia sibuk mengobrol dengan Mang Juki.

"Udah, Kang. Minggir sana. Merusak pemandangan." Aku mengusir Kang Umar supaya dia cepat pergi. Nggak enak juga kalau sampai Pak Penghulu tampan itu liat kami.

"Minta nomer WA kamu dulu atuh, Neng."

"Nggak ah, nggak ada!" jawabku judes. Aiss, dia itu nggak mau pergi juga.

Kang Umar akhirnya pergi setelah meletakkan amplop uang kepada Lia. Sebelum pergi, tiba-tiba dia memberiku sebuah amplop juga. Berwarna pink.

"Cie, Ayu dapet surat cinta," ledek Lia.

Iuhhh, laki-laki itu benar-benar menyebalkan.

Tanpa kusadari, Pak Penghulu sudah berada di depan meja kami. Ia menatapku sejenak sebelum meletakkan amplop miliknya. Dengan cepat aku menyambar amplop pink di atas meja dan menaruhnya di pangkuan. Nggak enak kalau dia sampai lihat. Takutnya, dia salah paham.

Eh, ternyata dia nelonyor pergi gitu aja. Nggak pamit dulu gitu sama calon istri, eh.

_____

"Yu, kapan kamu mau nikah?" tanya Ibu ketika kami duduk berdua di ruang tamu.

"Kapan-kapan, Bu."

"Umur kamu kan udah mau 25. Masa nggak kepikiran mau nikah?"

"Bu. Teh Rianti aja baru sebulan nikah. Masa sekarang Ibu nyuruh aku cepet nikah? Emang nggak pusing mikirin acara?"

Jengah juga. Semenjak Teh Rianti kenalin Kang Rohman yang sekarang jadi kakak ipraku, ibu terus tanya kapan aku mau kenalin calon suamiku. Beliau juga berharap siapa tahu aku dan Teh Rianti bisa nikah bareng. Jadi, bisa ngirit biaya resepsi.

"Tuh, Umar kan, suka sama kamu. Kenapa nggak kamu tanggepin?"

Aku bergidik. Masa iya, sama laki begitu? Emang iya, sih dia itu nggak jelek-jelek amat. Tapi, masa iya. Belum laku juga kan, aku pilih-pilih kalo soal laki-laki.

"Masa iya aku nikah sama si Umar itu? Sama ulat aja takut. Ibu inget nggak, waktu dulu kita lewat di depan rumahnya pas mau ke sawah. Dia jerit-jerit karena di bajunya ada ulat."

Aku dan ibu terkekeh bersama ketika mengingat saat itu.

"Iya, sih. Tapi, ibu pengen kamu cepet nikah, Yu. Kamu tau nggak. Umur kamu sekarang kalo waktu ibu dulu belum nikah, udah dibawa ke orang pinter."

"Kenapa, Bu?"

"Ya, biar cepet dapet jodoh."

Aku menghela napas kemudian bangkit. Kakiku berjalan keluar rumah untuk menghirup udara segar. Kupakai alas kaki dan berjalan ke halaman. Pandanganku sejenak tersita ke arah deretan pot tenaman bunga mawar milikku.

"Ibu, bunga mawar putihku ke mana?"

"Dibawa Rianti ke rumah mertuanya."

Aishh. Perempuan satu itu sangat menyebalkan. Padahal susah payah aku merawat bunga itu. Seenaknya dia bawa ke rumah mertuanya tanpa ngomong dulu. Awas kamu Teh Ria!

Aku duduk berjongkok di depan pot-pot bunga mawarku hingga beberapa saat kemudian, ada sebuah mobil truk lewat. Jendela depan terbuka lebar sehingga aku bisa melihat siapa yang duduk di sana.

"Loh, itu kan ... ."

Bersambung.......

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Mhia Davriza

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku