Cerita ini, bukan semata fiksi. Ada luka sang penulis di dalamnya. Mungkin ceritanya akan membosankan atau semacamnya, atau mungkin lucu.Namun bukankah itu normal?. Di saat perasaan seseorang yang hancur di jadikan remahan tertawaan. Aku tidak berharap banyak, namun jika kalian menyukainya. Itu sangat berarti.
Jika kau tak terima dengan kesakit hatianku, maka... enyahlah.
-Hujan
***
Petikan gitar itu mengalun indah dari sebuah kamar dengan desain hangat dan nyaman tersebut. Tampak seorang gadis begitu menikmati alunan petikan kawat panjang yang melintang di alat musik tersebut.
Shut up, count your calories
I never looked good in mom jeans
Wish I was like you
Blue-eyed blondie, perfect body.
Hujan, gadis dengan nama indah itu menunduk, tangannya sedikit gemetar, lagu ini... Sensitif untuknya.
Sebuah tarikan nafas terdengar dari bibirnya, ia kembali memetik gitar tersebut. Melanjutkan potongan lirik yang sempat tersendat
Maybe I should try harder
You should lower your expectations
I'm no quick-curl barbie
I was never cut out for prom queen
If I get more pretty
Do you think they will like me?
Gadis itu tidak hanya memainkan gitar, ia juga memutar lagu yang sama di ponsel nya membuat lagu tersebut terus mengalun meski dirinya sudah terisak di atas kasurnya.
Jangan protes soal lirik yang ia rubah, ia sedang menumpahkan isi hatinya, bukan semata bernyanyi demi kesenangan.
Lagu itu kembali mengalun, membelah kesunyian antara angin dan isak di kamar Hujan. Dadanya sesak saat mengingat setiap lontaran kata kata sepele yang menyakitkan dari teman-temannya. (Entah pantas atau tidak di golongkan dalam kata teman).
"Baperan banget sii."
"Yaelah becanda kali."
"Lo gapapa kan? Gitu doang kok."
"Dih, baperan lu."
Isakan gadis itu semakin terdengar, kata 'pretty' dalam lagu prom night tersebut tidak melulu soal fisik baginya.
"Well, at least I'm pretty right?" Ia bertanya pada dirinya, mata kosongnya menatap ke arah jendela dengan pemandangan langit malam yang mendung.
"I'm pretty. Pretty ugly, pretty bad personality, pretty boring, pretty cringe." Ia mengusap air matanya, mengatai dirinya kalah dalam segala aspek. Bila itu berkaitan soal 'previllage'. Sudut bibirnya tertarik.
Ada senyum getir di wajah manisnya, air matanya merembes. Insecure itu, menyakitkan.
Isakan itu kembali terdengar dari bibirnya, ia tak tahu harus bagaimana, harus kemana, harus berbuat apa agar orang bahagia dan menyukainya.
Suara derap kaki dari luar sana membuat gadis itu seketika berhenti terisak, ia mengangkat wajahnya. Pintunya di ketuk pelan dari luar.
"Hujan?, Hujan kenapa?." Suara seorang lelaki yang amat di kenalinya itu membuat Hujan bergegas mengusap air mata yang berjejak di pipinya, dengan segera ia turun lalu membuka pintu kamarnya.
Mata Hujan langsung jatuh berporos di lantai kamar, tak berani menatap wajah sosok kakaknya.
"Kakak ngapain ke kamar aku malem-malem?." Tanya Hujan, berusaha menormalkan suaranya.
Langit menangkup wajah Hujan, membuat gadis itu mendongak padanya. "Kenapa hm?." Langit bertanya lembut.
"Aku? Apaan sih?,aku gapapa kak." Hujan berusaha mengelak, ia tentu tidak ingin membuat Langit khawatir akan keadaannya.
Langit menghela nafasnya, mendengar siratan kebohongan dari nada bicara sang adik. "You're not fine, Princess. Tell me what happened?" Langit menatap sang adik.
Sedetik, dua detik masih sunyi. Hingga akhirnya Hujan mengangkat suaranya.
"Kakak, menurut kakak... Aku berguna ga?. Aku buruk kan? Aku ga pernah bisa banggain mama papa sampai di akhir hayatnya, aku ga pernah bisa banggain kakak dengan prestasi aku, aku ga pernah bisa banggain temen temen ak-"
Belum sempat, belum sempat Hujan melanjutkan ucapannya. Langit sudah menarik adik perempuannya dalam rengkuhan hangatnya.
"Shhht... My princess, Eight billion people in this world. Ga semua harus kamu buat bahagia, siapa bilang adikku buruk? The only thing that i see on you is kindness, my princess."
Suara isak semakin terdengar, Hujan sudah menenggelamkan wajahnya di dada Langit, menangis semaunya di sana.
Pernahkan kalian merasa di titik di mana kalian tidak punya siapa-siapa selain satu orang sebagai rumah ternyaman kalian, pada titik ini. Satu hal yang Hujan tidak pernah harapkan. Kepergian.
Lagi pula siapa yang mengharapkan kepergian?. Bukankah banyak kutipan yang mengatakan, rumah tak selalu berbentuk bangunan.
Bagi Hujan, Langitlah rumahnya. Jika langit pergi... Entahlah. Akan sehancur apa dirinya.
Langit mengelus kepala Hujan lalu mengecup kepalanya singkat "Hujan... Liat kakak."
Hujan menurut dan mendongak "Kamu punya kakak di sisi kamu, kamu punya Kakak sebagai rumah, kalo kamu butuh pulang. Ada kakak yang siap jadi tempat berteduh."
Anggukan kecil dari Hujan cukup membuat dada Langit menghangat, ia tersenyum.
"Now, you need to get some sleep. Don't let that f*cking insecurity kill my princess's smile"
Hujan tersenyum, "aku mau denger kakak nyanyi sebelum tidur, boleh kan?".
"Sure."
Hujan segera beranjak ke tempat tidurnya, bersiap tidur selagi langit mulai memetikan gitar di tepi ranjangnya.
Langit menyanyikan lagu 'pick up the phone- Henry moodie' Hujan tidak tahu kenapa lagi itu di pilih oleh kakaknya, namun ia tetap mendengarkan, hingga matanya terlelap. Ia jatuh tertidur.
It's gonna be okay.
Everyones need bad days.
Remember i told you, you're not alone, just....
Langit mengecup puncak kepala Hujan, lalu tersenyum "... Just call me whenever you feeling lonely, my princess."
Semenjak kematian orang tua mereka, Hujan menjadi gadis pemurung dan selalu menyalahkan dirinya sendiri akan segala hal, merasa dirinyalah sumber masalah dari segalanya.