Rumah tangga Ehsan dan Lania mengalami suatu prahara karena perzinahan Lania. Prahara itu menguat ketika ibunda Ehsan mengungkit kemandulan Lania. Saat keadaan rumah tangga mereka membaik, Ehsan malah menerima perhatian dari tiga wanita sekaligus dan Lania berdua dengan pria kaya di dalam villa mewah.
Mimiknya menayangkan riak kekesalan. Sinar muram terpancar dari matanya. Remuk redam bercokol di dalam kalbunya. Kemegahan konser musik jazz yang baru saja usai laksana kehampaan relung untuk sukmanya. Tiada gelora, tanpa gempita.
Ia memalingkan penglihatannya. Tatapannya membenci lelaki yang ada di sisinya.
"Kamu kenapa, Ca?" tanya Pinto santai. "Dari tadi diam aja."
Caca Yunita masih mengatupkan bibirnya. Lidahnya malas mengalunkan lisan.
"Kamu lagi nahan berak, ya?" gurau Pinto.
"Aku lagi dongkol!" seru Caca Yunita. Ia menarik napas sesaat. Menghimpun tenaga untuk pelepasan amarah.
"Banyak waktu yang udah kita lalui. Banyak hal yang udah kita lakuin. Tapi, kamu nggak pernah bilang apapun ke aku," Caca Yunita berkeluh. "Aku nggak ngerti sama pikiran kamu, Mas!" imbuhnya dengan suara yang begitu keras.
Belasan orang yang berada di dekat pintu keluar Balai Sarbini sontak menoleh ke arah Caca Yunita. Mereka terlongo. Reaksi mereka disadari oleh Pinto. Jemarinya langsung menarik lengan Caca Yunita. Pinto menyingkir dari kerumunan manusia. Tubuh Caca Yunita otomatis mengikuti langkah kaki Pinto. Mereka kemudian berhenti di tempat yang agak lengang.
Pinto memandang beberapa pasangan muda-mudi yang hilir mudik di sekitarnya. Sesekali menatap bintang di langit. Dia melakukannya seraya mencari kalimat yang pas untuk Caca Yunita.
"Ada lagi yang ingin kamu sampaikan? Atau unek-unek yang ingin kamu ungkapkan?" kali ini pertanyaan Pinto bersifat serius.
Caca Yunita memanfaatkan kesempatan yang Pinto berikan. Dia menumpahkan emosinya. Dia meneruskan omelannya.
Desing berbagai kalimat melesat ke lubang telinga Pinto. Ada yang lembut, ada pula yang kasar. Semuanya bernada tinggi. Meskipun jumlahnya banyak, maknanya mirip-mirip. Intinya adalah protes Caca Yunita terhadap sikap Pinto. Pinto menyimaknya dengan kepala dingin.
Seperempat jam Caca Yunita bersungut-sungut. Tanpa jeda dan sela. Alhasil, kelelahan menghinggapi mulutnya. Terpaksa ia menghentikan gerutunya.
Pinto masuk ke dalam pembicaraan lagi. Tanggapannya terhadap perkataan Caca Yunita hadir, "Saya punya pernyataan buat semua omongan kamu. Saya bakal kasih tahu pas kita udah sampai di tempat tinggal kamu."
"Aku tunggu pernyataan kamu," ucap Caca Yunita lugas.
Pinto dan Caca Yunita melenggang ke area parkir. Mereka masuk ke dalam mobil listrik Tesla milik Pinto. Suasana pun berubah. Bunyi yang terdengar tak ada. Kesenyapan membekukan mereka.
Kendaraan auto pilot tersebut mulai bergerak. Di tengah kemacetan, kesenyapan berubah menjadi kegaduhan.
"Kamu penginnya apa? Aku kudu gimana? Kita harus ke mana? Padahal, hubungan kita udah lama. Aku lelah kalo kek gini terus. Aku butuh ketegasan kamu," Caca Yunita kembali menggerundel.
Pinto masih dalam ketenangan. Emosinya tetap terjaga. Perhatiannya terhadap gerak mobil listrik Tesla-nya yang tersendat sangat penuh.
"Saya maunya kita berhubungan baik. Nggak ada pertengkaran."
Caca Yunita menghela napas. "Maksud aku, hubungan kita mau dibawa ke mana?"
"Dibawa ke museum. Biar orang lain tahu kalau hubungan kita tetap awet," Pinto menjawab sembarang.
Wajah Caca Yunita makin memberengut. Ekspresi kesebalannya kian tampak.
Bahwasanya, niat Pinto bukan untuk penciptaan kejengkelan Caca Yunita. Kemauan Pinto ialah pertahanan pemikirannya. Jika pemikiran Pinto berubah, khalayak mungkin akan mencabut dukungan untuk bapaknya. Kesudahannya, kerugian besar bisa menghantam kondisi pekerjaan bapaknya.
Pinto menjaga keharmonisan selama ini. Juga senantiasa melestarikan kelanggengan. Pinto merasa bahwa ia tak pernah mempermainkan kata hati Caca Yunita. Ia bahkan menghargai protes Caca Yunita sepenuhnya.
Menurut Pinto, protes Caca Yunita adalah keniscayaan. Protes Caca Yunita hanyalah dinamika dalam pertemanan. Pinto sendiri sungkan membantahnya. Dia menganggapnya sebagai risiko yang harus diterima.
Bab 1 Pertahanan Pemikiran
18/10/2023
Bab 2 Sesuatu Tentang Hubungan
18/10/2023
Bab 3 Pembebasan Segala Rasa
18/10/2023
Bab 4 Kepercayaan Terlampau Mahal
18/10/2023
Bab 5 Membasuh Seisi Jiwa
18/10/2023
Bab 6 Kaget Bercampur Bingung
18/10/2023
Bab 7 Napas Kelegaan
18/10/2023
Bab 8 Waktu Kepulangan
18/10/2023
Bab 9 Jawaban Tertahan
18/10/2023
Bab 10 Cacat Kelakuan
18/10/2023
Bab 11 Penyesalan
18/10/2023
Bab 12 Gerutu pada Pagi Hari
18/10/2023
Bab 13 Cendikia Pintar
18/10/2023
Bab 14 Bu Rindang
18/10/2023
Bab 15 Empat Pria Menghadang
18/10/2023
Bab 16 Tindakan Suap
18/10/2023
Bab 17 Nezzakia Soraya
18/10/2023
Bab 18 Darah Pebinor
18/10/2023
Bab 19 Stasiun Kereta Api
18/10/2023
Bab 20 SMP Cita Bersama
18/10/2023
Bab 21 Villa Mewah
18/10/2023
Bab 22 Munajat
18/10/2023
Bab 23 Pengambilan Keputusan
18/10/2023
Bab 24 Pengecekan
18/10/2023
Bab 25 Saling Melempar Senyuman
18/10/2023
Bab 26 Muka Kusut
18/10/2023
Bab 27 Rambut Model Ombre
18/10/2023
Bab 28 Roti dan Cake
18/10/2023
Bab 29 Buket Mawar Merah
18/10/2023
Bab 30 Ganas Sekali
18/10/2023
Bab 31 Tatapan Penuh Arti
18/10/2023
Bab 32 Panggilan Tak Terjawab
18/10/2023
Bab 33 Maksud Lain
18/10/2023
Bab 34 Kenyataan yang Mengejutkan
18/10/2023
Bab 35 Pembelian Barang dan Sikap
18/10/2023
Bab 36 Daya Tarik Seksual
18/10/2023
Bab 37 Lima Ratus Ribu Rupiah
18/10/2023
Bab 38 Ehsania dan Ehtalan
18/10/2023
Bab 39 'Kode' yang Menjurus
18/10/2023
Bab 40 Ilmu Penerawangan
18/10/2023