Bagaimana rasanya jika seseorang yang kita sayang ternyata milik orang lain? Sakit! Belle tak menyangka, pertolongan Albara akan membuatnya jatuh cinta. Pria itu tak sekedar memberinya kenyamanan, namun kebahagiaan. Kendati demikian, fakta bahwa Albara sudah berkeluarga tak bisa dielakkan. Belle terjatuh lagi, tapi kali ini ia sendiri. Di satu sisi ia tak bisa menghentikan cintanya, tapi di sisi lain seorang istri menuntut suaminya kembali. Siapa yang akan dipilih Albara? Apakah Belle sanggup menahan rasa sakit karna istri Albara? happy reading xanders~
Di sebuah malam yang gelap, saat bulan tak terlalu nampak dengan jelas.
Beberapa orang membuang tubuh seorang gadis ke sungai, bahkan tak melirik luka yang ketaran di kulit putih itu.
"Cepat, sebelum ada yang datang!" titah salah satu.
"Kenapa tidak mati saja, merepotkan!"
Gadis itu memohon, dengan rintihan menangis berharap mereka masih memiliki sedikit hati.
Tidak! Mereka meninggalkannya, saat tubuh itu masuk ke dalam air yang dalam. Sesak, Sellyn tak bisa bernafas. Pandangannya mulai buram dengan sesuatu yang seakan memacu jantungnya berdegub kencang.
"Tolong, a-aku!" batinnya.
Air yang tenang kembali dipecah, segera menarik Sellyn keluar dari sana.
Pria itu sudah mengamatinya beberapa hari ini, dan puncaknya saat Sellyn tenggelam.
Zelvin, namanya. Tubuh tinggi semampai dan kekar membuat pesonanya semakin indah.
Setelah melakukan pertolongan pertama, ia membawa Sellyn pulang ke rumahnya.
Kemudian, memanggil dokter untuk merawat Sellyn.
"Entah kenapa dia masih bertahan sampai sejauh ini." ungkapnya.
Rumah Sellyn tak jauh dari perusahaannya, saat perjalanan pulang Zelvin sering melihat Sellyn dimarahi oleh kedua orang tuanya.
Bahkan sesekali, dipukul habis-habisan.
"Tolong aku! Aku tidak bisa berenang!" teriak Sellyn.
Dalam setengah sadar, ia masih bisa merasakan tubuhnya tenggelam.
"Hey, tenanglah." bisik Zelvin.
Menggengam erat tangan Sellyn, satu-satunya alasan ia membantu Sellyn adalah karna mirip dengan mendiang adiknya.
Dulu, Zelvin tak bisa melindungi sang adik saat disiksa orang tuanya.
Rasa bimbang terus menahan kakinya untuk bertindak.
Zelvin selalu ingin menjadi kebanggan orang tuanya, selalu menuruti apa yang mereka inginkan meskipun itu bertentangan dengan keinginannya.
Namun, semua yang ia lakukan tak sebanding dengan yang didapatkan. Mereka tak pernah puas, bahkan terus memprovokasinya.
"Jessi, lahir kembali?"
Sore tadi, pekerjaan Zelvin selesai lebih awal. Ia tak mengambil lembur dan langsung pulang. Seperti biasa, ia akan memperhatikan rumah Sellyn.
Sejenak terasa sepi, ia berhenti di dekat sana.
"Tadi pagi dia berangkat sekolah, apa belum pulang?"
Sesaat setelahnya, suara pecahan kaca menusuk telinga Zelvin.
Meskipun ia tak terlalu dekat dengan rumah itu, tapi pendengarannya menangkap sesuatu yang janggal.
Beberapa jam kemudian, dalam kegelapan mereka membawa tubuh Sellyn yang pingsan. Mungkin beranggapan bahwa ia telah mati.
Zelvin mengikuti dari belakang, hatinya terkikis kala mengetahui tindakan mereka.
"Dingin sekali, tubuhku dingin!" dengus Sellyn.
Mendekap Zelvin yang berada di sebelahnya, sangat hangat.
"Suhu AC sudah saya kurangi. Tidurlah."
Zelvin tak keberatan sama sekali untuk meminjamkan pelukannya kepada Sellyn
"Mereka tidak pernah membiarkanku tidur nyenyak, aku ingin mati saja!" pekiknya.
Pelupuk itu mulai basah, menunggu buliran jernih untuk turun membasahi pipi yang memerah.
Geliat resah terus memenuhi pikirannya.
"Sekarang sudah aman, saya di sini." Zelvin mencoba menenangkan.
Ia bisa merasakan jika Sellyn masih gemetar ketakutan, trauma ini tak mudah untuk sembuh.
Esok harinya, Sellyn kaget mendapati Albara berada di dekatnya.
Pria itu mengenakan setelan jas yang rapih. Meletakkan tangan di kepala Sellyn, sembari sedikit membelai rambutnya.
"Saya Zelvin, kamu bisa tinggal di sini jangan khawatir." sapanya.
"Tuan yang menyelamatkanku kemarin?"
Zelvin hanya mengangguk, kemudian membiarkan pelayan menyuapi Sellyn sarapan.
"Tuan pergi bekerja, nona beristirahatlah. Jika butuh sesuatu panggil kami." ujar pelayan setelah selesai menyuapi Sellyn.
Makanan itu sisa setengah, Belle tak ingin menghabiskannya.
Sellyn masih tak mengerti dengan yang terjadi, pikirannya penuh pertanyaan-pertanyaan yang menunggu untuk dijawab.
Namun, ia tak punya tujuan hidup sekarang. Jadi Sellyn tak keberatan melakukan apapun untuk membalas budi kepada Zelvin.
Termasuk menjadi jalang, sama seperti yang orang-orang itu katakan!
"Ini foto pria tadi, jika dilihat seksama tampan juga."
Sellyn memusatkan matanya pada bingkai foto yang sedang dipegang.
Ia berada di kamar Albara saat ini.
Hatinya yang pernah terluka oleh sosok yang dicintai, memiliki secercah harapan.
"Aku merasa seperti pernah melihatnya, bukan satu-dua kali."
Sellyn mengembalikan foto itu saat pelayan datang, hendak membantunya mandi.
Sellyn yang memintanya karna ia merasa tubuhnya harus dibersihkan.
Mereka meninggalkan noda baginya!
Setelah selesai mandi, ia tak langsung menyuruh pelayan itu pergi.
"Tuan Zelvin, siapa dia? Kenapa membantuku?" tanya Sellyn.
Berharap rasa penasarannya akan lenyap setelah mendengar jawaban pria itu.
"Penyelamat, tuan tidak suka jika ada anak perempuan yang ditindas." ucapnya.
Tahu jelas prinsip Zelvin, selama bekerja di sini ia tak pernah memiliki keluhan terhadap majikannya tersebut.
"Bagaimana dia tahu aku ditindas?" lontar Sellyn.
Ia tak mengenal Zelvin, tapi pelayan itu langsung menyimpulkan tentang kehidupannya.
"Masalah itu, hanya tuan yang tahu. Kami hanya diperintahkan untuk merawat nona."
Pelayan itu pergi saat Sellyn sudah cukup bertanya. Dalam pikirannya ia juga meragukan sikap Zelvin kali ini.
Hanya Sellyn yang ditempatkan di sini, tepatnya di kamar Zelvin. Sedangkan yang lain berada di villa khusus.
Bahkan pria itu enggan menyentuh yang lain, namun tidak pada Sellyn.
"Aneh sekali, apa ini yang disebut keberuntungan?"
Matanya jauh menelisik ke masa lalu, saat ia terus berdoa hanya untuk sebuah kebahagiaan.
Sellyn merebahkan tubuhnya, air yang sejuk merelakskan pikirannya. Meskipun lukanya kembali terasa nyeri.
Sejenak, matanya mulai terpejam. Meninggalkan dunia nyata yang selalu menyakitinya.
Malam harinya, Zelvin pulang dengan kepala yang pusing. Baru kemarin ia bisa beristirahat dan sekarang pekerjaannya kembali menumpuk.
Saat masuk ke kamar, ia sedikit terkejut melihat seorang gadis duduk di meja rias memandangi lukanya.
"Ah, saya hampir lupa jika membawanya ke mari." lirih Zelvin.
Sellyn yang menoleh ke arah suara pintu dibuka juga terkejut. Zelvin menatapnya sejenak sebelum akhirnya duduk di sofa.
"Nanti diobati, tidak akan meninggalkan bekas." saran Zelvin.
Bagi seorang gadis, bekas luka akan menghalangi kecantikannya. Terlebih lagi jika memiliki rasa insecure tinggi.
"Tidak apa-apa, hanya saja aku sulit untuk melupakannya." terang Sellyn.
Luka fisik tak seberapa dengan luka mental yang harus dihadapinya setiap hari.
"Perlahan, jangan terlalu dipaksa. Saya mengerti."
"Tuan mengerti apa yang aku rasakan?"
"Tentu, adik saya-mirip denganmu. Hanya saja, tidak ada yang menolongnya."
Sekarang Sellyn mengerti, kenapa Zelvin membantunya.
"Terima kasih, selama ini juga tidak ada yang menolongku." paparnya.
Tetangga sebelah rumah hanya menontoni saat ia sedang menderita. Seakan seperti drama yang menyenangkan.
Zelvin beralih membersihkan dirinya, sekilas matanya menatap sudut ruangan yang rapih. Terakhir kali banyak buku-buku dan alkohol yang berserakan di sana. Pelayan tak berani membersihkan, jadi mungkin Sellyn yang melakukannya.
"Cukup baik, dia berinisiatif saat saya tidak menyuruhnya."
Bahkan baju-baju di lemari, juga tertata sempurna. Setelah bangun tidur Sellyn menghabiskan waktunya untuk bersih-bersih.
Setelah selesai, Zelvin keluar dari kamar mandi dengan rambut yang basah. Akan tetapi, ia tak berniat untuk mengeringkannya.
"Sebaiknya dikeringkan, apa boleh aku bantu?" tanya Sellyn.
Deheman membuat Sellyn langsung melakukannya. Ia tak berani menatap wajah Zelvin yang terlihat di cermin.
Namun, pria itu malah memandangnya yang sedang serius mengeringkan rambut.
Bahkan pantulan cermin tak bisa menghilangkan kecantikan Sellyn.
"Selama ini saya melakukan semuanya sendiri, bahkan saya tidak pernah mengharapkan dia seperti itu."
'Dia' yang menemani kesehariannya beberapa tahun ini. Akan tetapi, mereka masih terasa asing.
Meskipun ada satu nyawa yang terus menghubungkan mereka. Memaksa mereka menjadi keluarga harmonis yang sayangnya jauh dari kata cinta.
"Sudah," ucap Sellyn.
Mematikan hair dryer dan meletakkannya di tempat semula.
Mereka turun ke meja makan bersama, Sellyn mengikuti dari belakang.
Sebenarnya ia tak ingin satu meja dengan Zelvin, namun tak bisa menolak ajakan pria itu.
"Diam saja," Zelvin memulai.
Mendapati Sellyn yang menundukkan kepalanya hening.
Para pelayan tengah sibuk menyiapkan makanan.
"Tidak apa-apa,"
Sellyn tak tahu apa yang harus ia katakan, rasanya sangat canggung.
Ia ingin mengenal lebih dalam, ingin tahu banyak tentang luka itu. Mungkin dengan seperti ini, ia bisa merasakan apa yang Jessi alami.
"Apa besok sekolah?" tanya Zelvin, menyelaraskan garpu dan sendok di sebelah piringnya.
"Iya," jawab Sellyn, berusaha tak menoleh membalas tatapan Zelvin.
'Dring-dring-dring'
Zelvin mengambil ponsel yang berada tak jauh dari tangannya, sejenak ia terdiam membaca nama pemanggil.
"Halo," sapanya, mulut itu kian tersenyum manis berbeda dengan reaksi awal ketika mengangkat panggilan.
Dalam pikiran Sellyn, mungkin yang menghubungi adalah kekasih Delvin. Terlebih lagi Delvin terlalu tua jika tidak memiliki kekasih.
Bab 1 Part (1)
21/06/2023
Buku lain oleh Jane Alxr
Selebihnya