Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Dia Yang Kupinta
5.0
Komentar
12
Penayangan
5
Bab

Bagiamana bila yang kita cintai adalah kakak kandung kita sendiri? Itulah yang dialami Vanita. Kehidupannya seolah hancur tiada tersisa, kala kenyataan itu harus ditelannya mentah-mentah. Bukan tentang masa lalu yang salah, tetapi ini tentang perasaan yang belum usai.

Bab 1 Fisika

"Kamu kenapa sih, Van? Kalau pak Abid lihat dari balik kacamatanya, langsung skors kamu, Van." Sakura mengingatkan dengan berbisik agar tak terdengar siapapun kecuali Vanita.

Vanita melirik Sakura sekilas, lalu menatap kembali jam dinding di depan kelasnya. "Kamu tahu Ra, hari ini aku ada janji. Aku harus pulang sekarang," sahutnya dengan suara berbisik. Berusaha agar tidak terdengar pak Abid, guru Fisika yang terkenal killer itu.

Sakura menautkan kedua alisnya kemudian tersenyum menyelidik. "Aku tahu kamu ada janji sama siapa Van, dan itu nggak penting. Tiap hari kamu pulang bareng dia. Udahlah khusus hari selasa aja ikhlaskan waktu kamu sama dia untuk Fisika," Sakura mencibir.

Belum sempat Vanita mengembuskan napasnya, sebuah kotak penghapus berhasil mendarat di atas mejanya dengan keras. Vanita dan Sakura terlonjak dan kemudian saling tatap, detik berikutnya keadaan berubah menjadi hening. Vanita menelan ludah yang tak ada dengan susah payah, kejadian barusan seperti baru saja mendapat tendangan bebas. Kali ini detak jantungnya serasa lebih cepat berdegup daripada biasanya.

"Kalian!" Mata pak Abid melotot ke arah mereka.

"Kebiasaan kalian menggosip setiap pelajaran bapak berlangsung!" tiba-tiba suara pak Abid naik beberap oktav.

"Untuk kalian berdua, silahkan keluar kelas sekarang!" seru pak Abid lagi setelah memperhatikan Vanita dan Sakura yang masih juga terdiam. Tangan kanannya memegang penggaris kayu yang panjangnya 100 meter dan kapanpun siap dilayangkan pada siapapun. Sedangkan Vanita dan Sakura masih gemetar dengan apa yang terjadi barusan.

"Tapi pak--" Belum sempat Sakura melanjutkan ucapannya, Vanita sudah lebih dulu menarik tangan Sakura untuk cepat keluar, apa susahnya sih untuk tidak membantah guru. Selain dari tadi Vanita memang ingin sekali keluar, otaknya pun sudah panas menampung rumus-rumus yang sulit dipahami.

Vanita tak sabar menunggu Sakura yang masih memasukkan buku-buku dan kalkulatornya ke dalam ransel, air mukanya berubah menyebalkan. Sekarang mereka tengah menjadi pusat perhatian di kelasnya, namun gadis itu tak peduli sedikitpun. Ada yang lebih penting daripada memikirkan mereka.

Mereka melangkah sedikit cepat meninggalkan ruangan kelasnya. Sumpah demi apapun sebenarnya ini bukan kali pertamanya mereka dikeluarkan dari pelajaran Fisika, namun baginya itu bukan hal yang merugikan seratus persan. Bukankah segala sesuatu itu memiliki kekurangan dan kelebihan?

"Ah, gara-gara kamu Van!" Sakura mencibir saat sampai di depan koridor kelasnya. Ia memonyongkan bibirnya kesal. Vanita hanya mendengus kemudian meninggalkan Sakura sendirian. Kali ini ada yang lebih penting daripada minta maaf pada Sakura atas kesalahannya barusan.

"Vanita, Van kamu mau ke mana? Main pergi-pergi aja." Tiba-tiba suara Sakura naik satu oktav. Vanita yang sudah sampai di tengah lapangan menoleh ke belakang melihat Sakura. Lalu, menempelkan jari telunjuknya pada bibir merah mudanya kemudian jari telunjuknya menunjuk kelas di samping Sakura berdiri, mengisyaratkan Sakura untuk diam. Sakura membekap mulutnya sendiri saat baru menyadari dirinya masih berdiri di depan kelasnya dan jangan sampai suaranya terdengar pak Abid lagi.

Vanita kembali berjalan dengan sedikit tergesa-gesa, lagi-lagi ia melihat jam tangan birunya yang melingkar pas di pergelangan tangannya. Lalu kembali menatap ke depan. Sekarang ia sudah keluar dari gerbang sekolah, dan berdiri di halte dengan gusar bersama siswa dan siswi lain yang juga sedang menunggu jemputan atau menunggu Trans Jakarta lewat.

Seseorang yang membuat janji dengannya entah belum datang atau sudah pulang karena dirinya terlambat datang sepuluh menit. Ia mengambil ponsel di saku rok pendek abu-abunya. Tidak ada pesan singkat ataupun panggilan tak terjawab di layar ponsel androidnya. dicarinya nomor seseorang itu di kontak ponselnya, seseorang yang belum lama hadir namun ia menyatakan sebagai ayah kandungnya. Entahlah. Vanita belum percaya sepenuhnya, karena yang ia tahu, Andrea-lah yang merawatnya sejak kecil sampai sekarang.

"Vanita!"

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Serindu Mentari

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku