Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Geger di Bhumi Manggala

Geger di Bhumi Manggala

Sritelasih

5.0
Komentar
766
Penayangan
10
Bab

Tadah Asih menangis suaranya terdengar mendayu-dayu menyayat hati. Dinginnya angin yang menyentuh kulit melebihi dinginnya angin bediding. Sementara candik ala di ujung Kilen, nampak seperti lukisan merah darah yang terpahat di dinding langit. Seorang petapa waskita yang memiliki sidhik paninggal menjadi waspada terhadap mobah mosing ing jagat yang jarang sekali terjadi. Netranya sejenak terpejam rapat. Dalam benaknya terbayang, bahwa Bhumi Manggala akan kembali memasuki masa-masa yang suram. Sedang jauh di ujung Kilen, sebuah kerajaan telah berduka atas pralayanya seorang Trahing Kusuma. Para kawula menjatuhkan diri, menjerit dan pingsan. Beberapa prajurit dengan tekad yang tidak terkekang, memilih untuk lampus diri sebagai bentuk bela pati. Hanya seorang pemuda belasan tahun yang tampak berdiri tegar dengan kedua tangan mengepal erat. Sorot matanya berkilat-kilat, menandakan amarah yang membakar di dalam dada. Kemudian iapun berbalik pergi tanpa ada seorangpun yang memedulikannya.

Bab 1 Hilangnya Kerajaan Amarta Bumi

Lebih dari 200 tahun yang lalu, Bhumi Manggala di kisahkan hanya dikendalikan oleh satu kerajaan agung bernama Amarta Bumi. Pada masa pemerintahan Sri Narpati Balaputradewa, kerajaan ini menjadi begitu berkuasa. Banyak kerajaan kecil yang kemudian tunduk di balik kemegahan sayap-sayapnya. Hampir semua orang kala itu hidup dalam kemakmuran yang sesungguhnya. Rakyat merasa senang, para petinggipun menjadi tenang.

Tetapi, segala sesuatu yang nyaris sempurna, tidak seutuhnya terbebas dari masa yang kelam dan tercela. Karena sepanjang perjalanan sejarah Kerajaan Amarta Bumi. Justru di masa kejayaannya, telah terjadi suatu peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya. Bertepatan pada Wuku Sungsang, Kerajaan Amarta Bumi telah di gegerkan dengan tewasnya seorang Adipati anggota keluarga kerajaan. Lalu tiga hari kemudian, tewas pula Sang Permaisuri.

Banyak yang menduga bahwa peristiwa ini merupakan sebagai bentuk dendam pribadi kepada Sang Prabu Balaputradewa. Tetapi banyak pula yang menduga bahwa peristiwa ini mungkin ada kaitannya dengan ilmu hitam. Karena layon Sang Adipati dan juga layon Sang Permaisuri, di ketemukan dalam keadaan yang membuat hati siapapun menjadi miris.

Sang Adipati yang bergelar Adipati Sukrasana, penguasa Kadipaten Mandura tewas dalam suatu perjalanan bersama para pengawalnya. Adipati Sukrasana merupakan adik ipar Prabu Balaputradewa, suami dari Sekar Kedhaton Amarta Bumi bernama Putri Amba. Layonnya ditemukan dalam keadaan hampir tidak utuh. Leher dan dadanya terkoyak, serta hati dan jantungnya di nyatakan hilang dari tubuhnya. Begitupun Sang Permaisuri yang juga diketemukan tewas dengan keadaan leher terkoyak di dalam kediamannya. Peristiwa yang terjadi dalam rentang masa yang tidak terpaut jauh ini, telah menimbulkan ontran-ontran di kalangan rakyat Amarta Bumi.

Hingga pada suatu malam yang sunyi, setelah satu sasih sejak peristiwa naas itu terjadi. Tepat pada malam purnama bulat sempurna. Hembusan angin yang dinginnya melebihi dinginnya angin bediding bertiup lebih kencang dibandingkan malam-malam biasanya. Kemudian diiringi oleh sergapan kabut tebal kelabu yang terasa merampas pandangan mata.

Di langit yang kelam, suara burung gagak terdengar melengking dan menyayat di angkasa. Betul-betul menimbulkan rasa tidak nyaman di hati siapa pun yang mendengarnya. Bahkan, di kejauhan terdengar beberapa ekor anjing hutan yang menyalak. Bersahutan beradu keras dengan suara burung gagak yang terus saja melengking tiada henti.

Tiba-tiba pintu-pintu gerbang tembok benteng kotaraja telah dihantam oleh kekuatan yang luar biasa. Melemparkan para prajurit yang tengah berjaga.

“Groaarrhh ...!!”

Belum sempat para prajurit yang bertugas nganglang malam itu mencerna dengan apa yang terjadi. Maka segerombolan sosok seperti manusia tetapi berkepala ajag, telah merangsek masuk ke dalam kotaraja dan kemudian melibas siapapun yang ada di hadapan mereka.

*Ajag = Anjing Hutan

“Cepat pukul kentongan!!” Seru seorang Bekel Prajurit kepada anak buahnya yang nampak berdiri dengan kedua lutut hampir bergetar, sedangkan tangannya menjadi lemas seketika.

Melihat anak buahnya yang nampak tidak berdaya, Bekel Prajurit itu akhirnya memukul sendiri kentongan sekeras-kerasnya. Mengejutkan seisi kotaraja yang baru saja terlelap ke alam swapna.

Di sebuah rumah, seorang laki-laki tua yang tengah terlelap di atas pembaringan, seketika terperanjat dan kemudian membangunkan istrinya.

“Ada apa, Kang?”

“Kamu tidak dengar, Nyi. Suara kentongan yang dipukul dalam irama nada titir? Pasti telah terjadi rajapati.”

“Tapi kenapa yang terdengar bukan saja suara kentongan yang di pukul keras-keras. Aku juga mendengar suara burung gagak dan anjing hutan yang saling bersahutan.”

Wajah laki-laki tua itu nampak tegang, rautnya menjadi nyanyang. "Duh, Gusti Hyang Widhi, semoga ini bukan pertanda buruk bagi masa depan negeri ini." ucapnya perlahan. Iapun melihat keluar dari sela-sela lubang kecil di balik dinding rumahnya. Nampak diluar sana kabut begitu tebal yang terasa menghalangi pandangan mata. Dan samar-samar terlihat pergerakan beberapa sosok tubuh yang terlihat menuju kearah Keraton Amarta Bumi. Tetapi, ada juga yang menerobos masuk ke rumah warga, dan terdengar dari dalam teriakan-teriakan yang sangat memilukan.

Terhenyak!

Laki-laki itupun bergegas mendekati salah satu sudut ruangan di dalam rumahnya, dan membuka sebuah pintu jalan menuju ruang bawah tanah. Sebagai seorang bekas prajurit, ia telah mempersiapkan tempat perlindungan dikala terjadi serangan ke dalam kotaraja.

Malam itu, malam yang bagaikan disengat petir di siang buta. Kecemasan segera menyeruak ke seluruh kotaraja Amarta Bumi. Para penduduk yang merasa nyawanya terancam, segera berlari salang tunjang ke berbagai arah untuk menyelematkan diri.

Sementara itu, para prajurit kerajaan mencoba menahan laju Manusia Ajag yang bergerak dampyak-dampyak dan bagai borok terus menyebar ke seluruh kotaraja. Meskipun telah diranjab hujan watang, tetapi para Manusia Ajag itu seperti kebal jenis senjata apapun. Bukannya tumbang, sebaliknya mereka malah bergerak semakin kencang.

“Aaakkhhh ....!!” terdengar jeritan memilukan dari salah seorang prajurit ketika salah satu dari Manusia Ajag itu menerkam dan dengan giginya yang tajam mengoyak lehernya hingga nyaris terputus. Membuat kawan-kawanya yang melihat hal itu bergidik ngeri. Apalagi para Manusia Ajag itu seakan terus berlipat-lipat jumlahnya. Dan mulai mengepung mereka dari berbagai arah.

Di langit kotaraja yang kelam, sosok perempuan buruk rupa berdiri di atas angin nampak tersenyum menyeringai. Di sekelilingnya beterbangan burung-burung gagak yang seolah memberinya kekuatan untuk melayang-layang di angkasa. Sedangkan sorot matanya menatap tajam sosok laki-laki paruh baya yang berdiri di atas Purawacitra (nama pintu gerbang utama Keraton Amarta Bumi).

“Balaputradewa. Aku datang untuk memberikan salam juga untuk menjemput ajalmu.” sahut perempuan berwajah mengerikan itu.

Laki-laki paruh baya, Sang Narpati Amarta Bumi jujuluk Prabu Balaputradewa, tampak menghela napas pelan, lalu kemudian berkata dengan tenangnya.

“Apakah kamu yang mengirim makhluk-makhluk menjijikkan ini?”

“Iya.”

“Kenapa?”

“Tentu saja untuk menghancurkan Kerajaan Amarta Bumi juga dirimu, termasuk seluruh keturunanmu.”

Prabu Balaputradewa mengerutkan keningnya. Perempuan berwajah mengerikan yang berdiri melayang di angkasa itu adalah Dyah Kekayi, dan merupakan permaisuri pertama Keraton Amarta Bumi. Tetapi tingkah lakunya yang nganeh-nganehi telah membuatnya terusir dari lingkungan keraton.

Menggoda calon ipar raja, disaat Prabu Balaputradewa tengah sibuk memadamkan kraman di salah satu wilayah yang mbalela. Karena yang hendak melakukan kraman merupakan seorang raja bawahan, maka memang harus Sang Prabu sendiri yang turun tangan untuk mengatasinya. Tetapi sekembalinya ke keraton, Sang Prabu mendapati permaisurinya tengah bermain serong. Bahkan seperti seorang planyahan, justru permaisurinya sendiri yang memikat laki-laki itu dengan menggunakan ilmu sihir.

Mengingat peristiwa yang mencoreng harga dirinya sebagai seorang suami dan juga seorang raja. Prabu Balaputradewa hanya kembali menghela nafas pelan. Bukannya mengaku salah dan memperbaiki diri. Dyah Kekayi malah semakin menjadi-jadi. Bahkan, demi untuk memenuhi hawa nafsunya yang mengakar hingga ke ulu hati, Dyah Kekayi telah menganut ilmu hitam yang membuatnya menjadi setengah siluman dan menjadi satru bekas suaminya sendiri. Paras cantiknya telah berganti rupa menjadi paras mengerikan. Munurut dari beberapa keterangan, ilmu hitam yang dipelajari Dyah Kekayi memang meminta tumbal kecantikkannya sendiri.

Pertarungan terakhir diantara keduanya beberapa tahun yang lalu berakhir imbang. Kemudian Dyah Kekayi menghilang tanpa ada beritanya. Dan beberapa tahun kemudian seringkali Keraton Amarta Bumi menerima laporan beberapa penduduk yang tewas pada malam purnama. Gambaran keadaan layon penduduk yang tewas itu persis seperti layon Adipati Sukrasana dan Permaisuri.

Prabu Balaputradewa tahu pasti bahwa dirinyalah yang menjadi incaran utama. Karena itu, Sang Prabu yang sudah sepuh itu memilih untuk diam di dalam keraton dan menunggu musuh datang kepadanya. Sementara para putra dan adiknya, terlebih dahulu telah ia ungsikan ketempat yang tidak di ketahui oleh keberadaannya.

Seorang laki-laki yang berpakaian serba putih berdiri agak di belakang Prabu Balaputradewa. Ia menyampaikan bahwa kotaraja seluruhnya telah di kuasai para Manusia Ajag dan sulit untuk di bunuh. Banyak rakyat yang tewas dan yang masih hidup menyelamatkan diri entah kemana. Sedangkan yang masih bertahan, hanyalah para prajurit yang jumlahnya semakin menyusut.

“Aku akan mengulur waktu. Kalian semua harus menyelamatkan diri.”

“Tapi, Gusti.”

“Ki Taraksaka. Ini perintah terakhirku. Kosongkan seluruh kotaraja. Jangan ada yang tertinggal seorangpun.”

Laki-laki berpakaian serba putih itu dengan terpaksa menggangguk. Iapun kembali melompat kebawah, sekejap tampak wujudnya berubah menjadi harimau belang, tetapi sekejap kemudian iapun telah menghilang dari pandangan mata.

Sementara Prabu Balaputradewa, tubuhnya telah melayang ke angkasa, menuju Dyah Kekayi yang juga bersiap menyambut kedatangannya.

Blarr!!

Satu benturan ilmu yang menggetarkan langit mengguncang bumi, menjadi awal dari pertempuran yang nggerisi. Tetapi juga menjadi akhir dari sebuah kerajaan yang telah berdiri lama dan menguasai hampir seluruh Bhumi Manggala.

Prabu Balaputradewa yang mencoba menghentikkan kejahatan bekas istrinya, hanya mampu membuatnya tertidur panjang selama 200 ratus tahun. Karena ilmu hitam yang dipelajari oleh Dyah Kekayi ternyata telah mendekati kesempurnaan. Betapapun tingginya ilmu Sang Prabu, ia tetap memiliki batasan sebagai manusia biasa.

“Gusti Sang Hyang Widhi. Melalui perantara kuasamu, 200 tahun yang akan datang, datangkanlah seorang keturunanku yang akan mampu mengakhiri kejahatan Dyah Kekayi.”

Sebelum tubuhnya lebur menjadi abu yang kemudian tersebar ke segala arah. Dengan kesaktian serta waktunya yang tersisa, Sang Prabu sengaja menutup kotaraja Amarta Bumi dari pandangan mata setiap makhluk yang hidup di muka bumi. Hanya keturunannya yang paling layaklah, yang kelak mampu mengembalikan kotaraja ini dan kemudian menghidupkannya kembali.

200 tahun kemudian, Bhumi Manggala pecah menjadi empat wilayah yang hampir sama rata. Wilayah Kilen di kuasai oleh Medang Jati dan sekutunya, wilayah Daksina dikuasai oleh Bojanegara dan sekutunya, wilayah Lor di kuasai oleh Kartanegara dan sekutunya, lalu wilayah Wetan yang sebagian besar masih berupa hutan belantara dikuasai sebuah perguruan besar bernama Padepokan Tirta Kencana. Keempat wilayah ini di batasi oleh sebuah hutan bernama Alas Manggala dan di sebut pula sebagai daratan tidak bertuan, karena tidak ada sebuah pemerintahan yang berkuasa. Bahkan ada yang mengatakan kalau wilayah ini merupakan tempat bersemayamnya kaum bunian, bangsa dhemit, bangsa siluman dan bangsa makhluk halus lainnya.

Sedangkan keberadaan kotaraja Amarta Bumi, tetap menjadi rahasia yang belum tersingkap. Bahkan, ada yang menganggapnya sebuah negeri dongeng seperti di dalam Carita Ramayana ataupun Carita Mahabharata.

•••••

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku