Gamelan Retak
g sekaligus membicarakan tentang keberangkatan mereka dua hari lagi. Perempuan itu terlihat murung d
apa yang dialami Watining adalah hal yang terlalu pribadi untuk ditanyakan. Meski sudah seperti saudaranya sendir
Fakhri sengaja minta didahulukan minuman pesanannya karena biasanya pesanan mak
khri ketika pelayan itu melet
ning sampai perempuan itu buka suara. Namun, Fakhri tak bisa menahan diri untuk tak menanyakan mengapa Watining bersik
ining yang tertunduk sambil memandangi ponselnya. Tak lama, p
ninggal. Ndak terasa ... rasanya baru b
berhati-hati dan membatasi tanggapannya. Watining sangat sensitif
kan perempuan itu berbicara tanpa menanggapinya. Dia melihat gurat kesedihan di wajah ayu itu. "Tapi ... aku ceritanya nanti saja, ya? Kalau kita di luar
hkan pembicaraan ketika pelayan mendekati meja t
pelayan itu. "Mari, Mbak, kita
*
mereka menginap. Kamar yang dipesankan untuk mereka berupa kamar-kamar yang berjajar
iri di depan kamar 103 dan menunjuk ke kamar 104 di sebelah
uang tip dan petugas itu meninggalkan m
ini, ya!"
an Watining dan meletakkannya di dekat lemari pakaian. Ketika Fakhri
i apa? Re
cari. Fakhri merasa geli. Dia juga mengalami h
Lihat tuh!" ujar Fakhri sambil menunjuk
nyum malu. "Ak
ambil menenteng tas bawaannya dan bersiap
tar kabari saja
ati Watining masih berdiri di ambang pintu melihat dirinya. Fakhri segera membuka pintu kamar dan meletakkan tas bawaannya di
da kunjungan sebelumnya. Merasa tubuhnya letih setelah perjalanan selama delapan jam, Fakhri membaringkan tubuhnya. Diambilnya ponsel yang sebelumnya diletakkannya di kasur. Di
. Jam di ponselnya menunjukkan pukul lima. Tak terasa dirinya sudah tertidur selama lebih dari setengah jam
enceritakan apa yang waktu itu akan dikatakannya ketika mereka makan siang. Fakhri beranjak dari tempat tidur, lalu bergegas menuju k
yang ditempati Watining ketika pintu itu ti
ar. Fakhri langsung duduk di kursi yang ada di dekat meja yang bersisian deng
yang akan dikatakannya tampak berat untuk meluncur dari lidah
a-siapa tentang apa yang akan aku ceritakan ini." Fakhri m
omong sama Mas Heru. Aku bilang Mas Heru sudah meninggal karena serangan jantung. Setelah tahu kalau aku istrinya Mas Heru,
kan menikahinya dalam waktu dekat. Karena dia ndak bisa nelepon ke ponsel Mas Heru, dia nelepon ke rumah." Suara Watining tertahan. Matanya
h ke samping kiri Watining. "Sabar, ya, Mbak!" uj
h menepuk-nepuk pundaknya. Tiba-tiba, Watining memeluk tubuh Fakhri. Dia menan
aknya terasa basah oleh air mata. Setelah beberapa menit, tangis Watining reda. Namun, Watining tetap memben
a, sudah mau denger ceritaku dan nenangin
atining dalam pelukannya. Dia merasa sedih bercampur gugup. Namun, Fakh
kup kita yang tahu. Kadang, aku pikir Mas Heru memang lebih baik meninggal daripada tetap hidup dan kawin lagi dengan
eninggal. Itu yang paling menyakitkan. Aku ditinggal dengan masalah yang aku sendiri ndak tahu pasti kebenara
Setelah dibukanya segel dan tutupnya, disodorkannya botol m
hon diri. "Mbak, aku mau mandi dul
tubuhnya menghadap Watining yang sudah ada di belakangnya. Watining kembali memeluk tu
uhnya dan meninggalkan Watining se
rsambu