Pernikahan Kedua: Cinta Tidak Buta
Penulis:COLEMAN
GenreRomantis
Pernikahan Kedua: Cinta Tidak Buta
Setelah ketiganya pergi, Marcel berdiri sambil memegang tongkat dan berjalan perlahan menuju Raisa. "Apa kita bisa pergi sekarang? Ayo kunjungi Yusuf."
Raisa menarik napas dalam-dalam dan berdiri. Dia merasa seakan jiwanya telah hilang. Dia tidak punya pilihan sekarang.
Raisa menggertakkan giginya dan mulai berjalan keluar, tetapi dia tidak menyadari bahwa tongkat di tangan Marcel, yang sepertinya kebetulan menghalangi jalannya. Dia tersandung dan menerjang ke depan.
Dia jatuh di depan Marcel, dan secara refleks meraih celananya, lalu mendapati wajahnya menekan bagian pribadi pria itu.
"Wah, kamu sangat antusias!" Marcel tertawa. "Apa kamu berniat untuk mencobanya? Jangan khawatir, kurasa kamu akan puas." Ucapan Marcel sepertinya bermaksud sesuatu. "Mataku tidak berfungsi, tapi bagian bawahku masih berfungsi sepenuhnya."
Wajah Raisa bersemu merah cerah. Dia panik, dan berdiri dengan tergesa-gesa, lalu berlari keluar ruangan. Di luar, dia mengangkat tangannya untuk menyentuh wajahnya. Pipinya terasa seperti baru saja terkena demam.
Sepertinya satu-satunya yang merasa malu adalah Raisa. Bagi Marcel, tadi itu biasa-biasa saja. Dia baru berbicara ketika mereka masuk mobil. "Anak buahku sudah mengetahui keberadaan Yusuf. Dia berada di Menara Palem, No. 107, Jalan Bening. Apa kamu tahu di mana itu?"
Raisa mengangguk, tetapi segera menyadari bahwa Marcel tidak dapat melihatnya, jadi dia segera berkata, "Ya, aku tahu."
Itu adalah apartemennya dan Yusuf. Mereka pindah ke sana setelah mereka menikah, dan hanya sesekali mengunjungi rumah Keluarga Suherman.
"Oke, ayo kita pergi ke sana."
Itu adalah sebuah apartemen besar yang memiliki akses lift langsung.
Sidik jari Raisa belum dihapus dari kunci biometrik lift itu. Dia memasuki lift bersama Marcel dan pengawalnya. Mereka langsung menuju apartemen yang terletak di lantai tiga puluh enam.
Melangkah keluar dari lift, Raisa dan Marcel berjalan ke pintu masuk. Kemudian, mereka mendengar suara seorang wanita dari dalam. "Ah! Kamu besar sekali ... tapi sangat nyaman ... lebih cepat lagi. Aku mau lagi ...."
Tubuh Raisa menegang. Melalui layar berukir yang berlubang di pintu masuk, dia bisa melihat seorang pria dan seorang wanita. Tubuh mereka yang tanpa pakaian menjadi satu di sofa ruang tamu.
Sahabatnya, Paula Purnama, sedang naik turun di atas tubuh Yusuf, bibir merahnya yang halus mengeluarkan erangan setiap kali pria itu mendorong ke atas. Tangannya menempel di dada Yusuf, wajahnya memerah, tubuhnya menggeliat dengan rasa sakit yang manis.
"Sayang, kamu sempit sekali."
Yusuf memegang pinggang Paula, dan saat dia bergerak, dia mengangkat dan menurunkan tubuh wanita itu ke arahnya. Bersamaan dengan jeritan dan erangan mereka yang bercampur, suara basah dari tubuh mereka yang saling beradu memenuhi ruangan, yang sepertinya membuat mereka gila karena rasa nikmat.
"Dasar nakal!"
"Ah! Yusuf!" jerit Paula. "Pelan-pelan ... kamu membuatku gila! Aku memang nakal. Apa kamu tidak menyukainya? Apa kamu suka wanita pemalu dan polos seperti Raisa? Ah ... iya di situ. Lebih cepat lagi, Yusuf!"
"Tentu saja tidak. Di atas ranjang, wanita seperti Raisa sama seperti mayat yang masih hangat. Dia tidak bisa membangkitkan hasratku seperti kamu, Sayang. Aku lebih suka melakukannya denganmu yang manja dan tidak menahan diri."
Mendengar suara-suara di dalam, Raisa merasakan kulit kepalanya seakan tergelitik. Dia mengatupkan giginya sementara emosinya bercampur aduk di seluruh tubuhnya.
Yah, luar biasa!
Tepat pada saat itu, tiba-tiba di telinganya terdengar suara yang sengaja dipelankan. "Menurutku dia salah."
Raisa terkejut dan hampir berteriak, tetapi dia menutup mulutnya dengan tergesa-gesa.
Dia lupa bahwa Marcel sedang berdiri di sampingnya.
"Jika seorang wanita tidak merespons ketika dia melakukan hal itu dengannya, dialah yang bermasalah."
Begitu Marcel menyelesaikan kata-katanya, kedua orang di sofa itu menjadi semakin lebih berisik.
"Ah ... aku sudah hampir mau keluar nih!"
"Ah! Berikan padaku ... berikan padaku!"
Yusuf mengejang selama beberapa detik. Kemudian, dia dan Paula perlahan menjadi tenang.
Yusuf yang kelelahan perlahan menarik dirinya dari tubuh Paula dan melihat cairan kental mengalir keluar dari tubuh wanita itu. Wajahnya tampak berseri-seri dan dia meraih kotak tisu di atas meja kopi. Dia mengambil beberapa lembar tisu, dan menyeka dirinya sendiri, lalu membuang tisu bekas itu ke tempat sampah.