Tulisan, Basket, & Piano
ri itu. Kedua tanganku sibuk karena mencengkeram dua kantong besar berw
enantang seisi dunia kalau ada yang berani padanya. Aku terus saja berjalan cepat se
gis seorang
asah karena air mata. Rambutnya sedikit berantakan dengan mata memerah karena m
ggiku dengan gadis kecil itu. Dia memiliki mata cokelat yang indah dengan a
aku, kami terpisah." Ia kembali terisak. Ia menge
pandai untuk menghindari ini mengingat diriku selalu terlibat dalam masalah dan terlebih lagi ini menyangkut anak kecil. Kurasa
ya di mana?
itu men
in belanjaan ini dulu ke sana." Aku mengarah
sih terisak dan sesekali terdengar ia menye
i. Kami melangkah bersama-sama berusaha untuk mencari mamanya, namun tetap tidak menemukan
hil
arah mamanya dan memeluknya dengan erat. Cukup untuk kalia
menangis bahagia. "Kalau begitu, kakak pamit dulu
n hampir menyentuhkannya ke keningnya sampai aku menarik tanganku dengan cepat. "Tidak per
sedikit. Kemudian melangkah pergi dari kerumunan orang dan men
" teriak
berlari ke arahku. Sepertinya ia seu
mberikan bung
Ah
adi." Ia tersenyum. "Ini rasa terima kasihku,
tersebut. Sepertinya ini berisi buah,
? Sepertinya k
Rara. Ya, sepertinya kita seumuran, ak
ggil Hani. Wah, beneran kita
ultas, tapi tidak pernah melihat satu sama lain. Aku tidak begitu heran, karena aku jarang b
itahuku bahwa besok akan ada temannya dari luar kota yang pindah
-
liburan. Meninggalkan kasurku di musim hujan seperti ini. Rasanya terl
gan cahaya keemasan yang tampak elegan sekaligus mewah. Aku meregangkan tanganku sembari melih
enuruni tangga secepat kilat. Dan dalam hitungan detik s
tanyaku setelah melep
tiga t
Kenapa gak ngabarin a
wa. "Papa yang jemput. Gak ngabarin kamu, ya
nyiapin sesuatu. Ini aku belum masakin apa-ap
a terkekeh. "Kalau kamu ada kuliah, cepetan beres-beres. Gak usah masak, kakak udah masak. Cepetan
Setiba di dalam rumah, mama udah menggendong Ziva. Aku
dari jangkauanku. "Man
et. Udah lama gak ketemu sama Ziv
urunkan tanganku dengan lemas, dan cemberut.
umur tiga tahun. Mereka tinggal di Singapura, dan jarang sekali bisa pu
dan memeluknya sebentar seraya berbi
n mantap. "Ada di ka
engacungkan kedua jempolnya. Aku menitip
punya satu kaka
u kakak ipar? Ow, Kak Risya
nya padaku. Namun aku tahu ia hanya berca
Nanti malem aja aku am
ng tersampir di belakang pintu dan duduk di atas kasur. Ya, aku masih malas ke kampus. Jadw
hkan tubuhku di atas kasur empuk seraya menutupi mukaku dengan handuk, aku meng
i ponsel yang berada tak jauh di dekatku, tanpa meli
al
kita ke jurusan. Ada masa
alah
satu dari dua teman akrabku. Oki Surya Paramita. Dia temanku
melangkahkan kakiku ke kama
n bera