Tulisan, Basket, & Piano

Tulisan, Basket, & Piano

kimfangirl

5.0
Komentar
35
Penayangan
11
Bab

Aura Latisha seorang gadis yang suka menulis, yang tidak pernah menjalin hubungan asmara, dan juga tidak pernah menyatakan perasaan pada seseorang, tapi ketika pemuda dari Bandung datang, mulutnya berhasil berujar. Sayangnya bukan untuk mengajak berkencan, tapi hanya untuk ditolak. "Tolak aku sekarang juga." Begitulah keinginannya. Saat itu.

Bab 1 Liburan Berakhir

Aku berjalan cepat menyusuri jalanan pasar yang sepi pengunjung pada hari itu. Kedua tanganku sibuk karena mencengkeram dua kantong besar berwarna putih dengan bintik hitam yang kurasa akibat lumpur yang kulewati.

Cuaca begitu terik. Mentari menunjukkan dirinya secara terang-terangan dan seakan menantang seisi dunia kalau ada yang berani padanya. Aku terus saja berjalan cepat seraya memicingkan mata agar tidak terkena dampak percaya diri sang mentari saat ini.

"Mama." Tangis seorang gadis kecil.

Gadis itu berdiri tepat di depanku. Ia menengadah. Menunjukkan wajahnya yang basah karena air mata. Rambutnya sedikit berantakan dengan mata memerah karena menangis. Kedua tangannya tidak berhenti untuk mengucek kedua bola mata tersebut.

Aku menurunkan kantong belanjaanku. Kemudian berjongkok untuk menyamai tinggiku dengan gadis kecil itu. Dia memiliki mata cokelat yang indah dengan alis berwarna hitam gelap yang tebal. Aku menyentuh pipinya. "Ada apa, dek?"

Ia terisak. "Mama," ujarnya. "Aku kehilangan mamaku, kami terpisah." Ia kembali terisak. Ia mengelap ingusnya dengan kasar, dan kembali menatapku.

Aku menelan ludahku. Ada begitu banyak bentuk kejahatan akhir-akhir ini. Mungkin ini salah satunya, tapi kurasa aku tidak cukup pandai untuk menghindari ini mengingat diriku selalu terlibat dalam masalah dan terlebih lagi ini menyangkut anak kecil. Kurasa aku akan menolong gadis ini, lagi pula di sini ada cukup banyak orang yang menyaksikan kalau ada yang ingin berbuat jahat padaku.

"Terpisahnya di mana? Di dalam?"

Gadis itu mengangguk.

"Oke, kita cari ya. Tapi kakak mau ngembaliin belanjaan ini dulu ke sana." Aku mengarahkan pandangan ke mobil jazz berwarna putih.

Gadis itu mengikutiku dari belakang. Ia masih terisak dan sesekali terdengar ia menyedot ingusnya sembari berucap pelan. "Mama."

Setelah itu aku menyusuri pasar sekali lagi dengan memegang tangan Shilla-gadis kecil tadi. Kami melangkah bersama-sama berusaha untuk mencari mamanya, namun tetap tidak menemukannya selama sepuluh menit yang telah kami lewati. Kemudian terdengar suara perempuan memekik.

"Shilla."

Sontak aku dan gadis itu menoleh. Shilla segera berlari ke arah mamanya dan memeluknya dengan erat. Cukup untuk kalian ketahui, mereka melakukan adegan yang sangat mengharukan.

Aku menghampiri kedua orang tersebut yang masih menangis bahagia. "Kalau begitu, kakak pamit dulu ya dek." Aku mengelus kepala Shilla dengan pelan.

Mamanya memberiku ucapan terima kasih yang tak terhitung banyaknya. Ia meraih tanganku dan hampir menyentuhkannya ke keningnya sampai aku menarik tanganku dengan cepat. "Tidak perlu, Bu," balasku seraya tersenyum. Berusaha menghilangkan rasa tidak enak yang bersarang.

"Saya pamit dulu, ya Bu," ujarku seraya menundukkan kepalaku sedikit. Kemudian melangkah pergi dari kerumunan orang dan menghampiri mobilku tersayang. Aku sudah lama berada di pasar ini.

"Tunggu," teriak seseorang.

Aku menoleh. Kulihat seorang gadis berlari ke arahku. Sepertinya ia seusiaku atau mungkin lebih muda dariku.

"Ini." Ia memberikan bungkusan padaku.

"Ah?"

"Aku kakak dari anak kecil yang kamu tolong tadi." Ia tersenyum. "Ini rasa terima kasihku, terimalah. Kumohon." Ia tersenyum sekali lagi.

Aku mengangguk dan meraih bungkusan tersebut. Sepertinya ini berisi buah, pikirku. "Oke, terima kasih kembali."

"Siapa namamu? Sepertinya kita seumuran."

"Aura Latisha, kamu bisa panggil aku Rara. Ya, sepertinya kita seumuran, aku baru masuk semester empat," balasku.

"Aku Hania Putri, bisa dipanggil Hani. Wah, beneran kita seumuran nih. Kuliah di mana?"

Setelah itu kami mengobrol untuk beberapa saat. Ternyata kami satu kampus dan juga satu fakultas, tapi tidak pernah melihat satu sama lain. Aku tidak begitu heran, karena aku jarang berlama-lama di fakultas kami. Aku disibukkan dengan kegiatan organisasi umum di universitas.

Kami bertukar ID line. Dan janjian ketemu besok. Dia juga memberitahuku bahwa besok akan ada temannya dari luar kota yang pindah kampus ke kampus kami, dan dia satu jurusan denganku, Manajemen.

---

Ini hari pertamaku masuk kuliah. Rasanya benar-benar berat meninggalkan liburan. Meninggalkan kasurku di musim hujan seperti ini. Rasanya terlalu berbahaya keluar dari selimut, banyak hal yang menanti di luar sana.

Aku menyibakkan tirai jendela, dan cahaya keemasan masuk menembus kaca. Menyinari kamarku dengan cahaya keemasan yang tampak elegan sekaligus mewah. Aku meregangkan tanganku sembari melihat taman yang ada di bawah. Ada seseorang yang menarik perhatianku, ia melambaikan tangannya.

Aku menahan teriakan dan segera berlari keluar kamar, menuruni tangga secepat kilat. Dan dalam hitungan detik sudah dalam pelukan kakak perempuanku. Aku merindukannya.

"Kapan kakak sampai?" tanyaku setelah melepaskan pelukan darinya.

"Jam tiga tadi."

"Siapa yang jemput? Kenapa gak ngabarin aku? Oya, di mana Ziva?"

"Whoa whoa, satu-satu dong." Kak Risya tertawa. "Papa yang jemput. Gak ngabarin kamu, ya biar surprise. Ziva ada di kamar sama papanya."

"Kalau tahu kalian bakal pulang, kan aku bisa nyiapin sesuatu. Ini aku belum masakin apa-apa. Lagi pula, hari ini aku udah masuk kuliah."

Kak Risya menepuk pundakku. "Gak perlu siap-siapin sesuatu dek, kakak bisa bikin sendiri," balasnya terkekeh. "Kalau kamu ada kuliah, cepetan beres-beres. Gak usah masak, kakak udah masak. Cepetan aja mandi, dandan yang cantik biar dapet pacar. Masa secantik gini gak ada yang mau, sih?" godanya.

"Aww, bodo amat!" balasku lalu pergi dari hadapannya. Setiba di dalam rumah, mama udah menggendong Ziva. Aku berlari menghampirinya. "Sini Ma, Rara mau gendong juga."

Mama menjauhkan Ziva dari jangkauanku. "Mandi dulu sana," usirnya.

"Bentar doang kok, ah pelit banget. Udah lama gak ketemu sama Ziva juga. Yuk, Ziva mau sama kakak?"

Ziva menggelengkan kepalanya kecil. Aku menurunkan tanganku dengan lemas, dan cemberut. Menoleh ke arah mama yang tersenyum menang.

Omong-omong, Ziva adalah anaknya Kak Risya dan Kak Andre yang baru berumur tiga tahun. Mereka tinggal di Singapura, dan jarang sekali bisa pulang. Ini kepulangan mereka yang pertama setelah hampir delapan bulan.

Aku berjalan menghampiri kak Andre dan memeluknya sebentar seraya berbisik. "Bawain oleh-oleh buatku kan?"

Ia mengangguk dengan mantap. "Ada di kamar, sesuai pesanan."

"Memang kakak ipar terbaikkkkk." Rara mengacungkan kedua jempolnya. Aku menitip novel Harry Potter cetakan terbaru, btw.

"Kamu kan emang punya satu kakak ipar," balasnya.

"Kata siapa cuman punya satu kakak ipar? Ow, Kak Risya belum ngasih tahu kakak ya?"

"Raaaa." Ia memberikan pandangan menusuknya padaku. Namun aku tahu ia hanya bercanda, karena ia berusaha menahan senyumnya.

"Bye, aku mau mandi. Nanti malem aja aku ambil pesananku ya, kak."

Aku berlari menaiki tangga, menuju kamarku yang bernuansa biru dan putih. Menarik handuk yang tersampir di belakang pintu dan duduk di atas kasur. Ya, aku masih malas ke kampus. Jadwal hari ini jam delapan, tapi aku bahkan belum siap-siap padahal sudah jam setengah tujuh.

Sepertinya kasur sangat menarik pagi ini. Aku menghela napas panjang dan merebahkan tubuhku di atas kasur empuk seraya menutupi mukaku dengan handuk, aku menghentak-hentakkan kaki dan terus-terusan mengatakan. "Aku butuh liburan lagiiii,"

Dering ponsel memenuhi ruangan. Tanganku mencari-cari ponsel yang berada tak jauh di dekatku, tanpa melihat telepon dari siapa, aku langsung mengangkatnya.

"Halo?"

"Cepetan mandi, hari ini kita ke jurusan. Ada masalah dengan jadwal kita."

"Masalah a-"

Terputus. Anak itu terus-terusan berbuat seenaknya. Dia salah satu dari dua teman akrabku. Oki Surya Paramita. Dia temanku sejak SMA, dan yang satunya lagi temanku sejak masuk kuliah.

Akhirnya aku menyerah. Aku melangkahkan kakiku ke kamar mandi dengan berat hati.

Liburan berakhir.

[]

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Gairah Liar Ayah Mertua

Gairah Liar Ayah Mertua

Gemoy
5.0

Aku melihat di selangkangan ayah mertuaku ada yang mulai bergerak dan mengeras. Ayahku sedang mengenakan sarung saat itu. Maka sangat mudah sekali untuk terlihat jelas. Sepertinya ayahku sedang ngaceng. Entah kenapa tiba-tiba aku jadi deg-degan. Aku juga bingung apa yang harus aku lakukan. Untuk menenangkan perasaanku, maka aku mengambil air yang ada di meja. Kulihat ayah tiba-tiba langsung menaruh piringnya. Dia sadar kalo aku tahu apa yang terjadi di selangkangannya. Secara mengejutkan, sesuatu yang tak pernah aku bayangkan terjadi. Ayah langsung bangkit dan memilih duduk di pinggiran kasur. Tangannya juga tiba-tiba meraih tanganku dan membawa ke selangkangannya. Aku benar-benar tidak percaya ayah senekat dan seberani ini. Dia memberi isyarat padaku untuk menggenggam sesuatu yang ada di selangkangannya. Mungkin karena kaget atau aku juga menyimpan hasrat seksual pada ayah, tidak ada penolakan dariku terhadap kelakuan ayahku itu. Aku hanya diam saja sambil menuruti kemauan ayah. Kini aku bisa merasakan bagaimana sesungguhnya ukuran tongkol ayah. Ternyata ukurannya memang seperti yang aku bayangkan. Jauh berbeda dengan milik suamiku. tongkol ayah benar-benar berukuran besar. Baru kali ini aku memegang tongkol sebesar itu. Mungkin ukurannya seperti orang-orang bule. Mungkin karena tak ada penolakan dariku, ayah semakin memberanikan diri. Ia menyingkap sarungnya dan menyuruhku masuk ke dalam sarung itu. Astaga. Ayah semakin berani saja. Kini aku menyentuh langsung tongkol yang sering ada di fantasiku itu. Ukurannya benar-benar membuatku makin bergairah. Aku hanya melihat ke arah ayah dengan pandangan bertanya-tanya: kenapa ayah melakukan ini padaku?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku