The Blue Eyes
E
asa dingin. Suasana di luar sangat sepi dan sunyi, yang terden
iat hingga tulang belakang berbunyi gemeretak. Mata yang terasa lelah menagih untuk diisti
tas dan menyandarkan tubuh. Kedua siku diletakkan di pagar dan dagu ditumpangkan ke telapak tangan. Memandangi sekeliling yang tampa
et
et
et
ringi dengan ketukan yang selalu bernada dan berjumlah sama, seakan
ta kembali sambil membalikkan badan dan jalan dengan langkah sedikit diseret menuju pintu. Seper
?" tanya sang tamu sambil me
enatapnya dengan malas, kem
putih tampak sedikit berbintik-bintik di tulang pipi, tetapi tetap tidak mengurangi keelokan parasnya. Rambut panjang sepung
um kemudian dia mengangkat alis, gaya khasnya bila ing
aknya dengan nada suar
, aku cape
mbil mengedipkan mata yang dihiasi bulu mata lentik
bergeming untuk menolak ajakannya. Tiba-tiba dia menarik tangan kanan
geluarkan tenaga menarik yang besar dan kuat. Sekali-sekali kaki atau tanganku tersangkut
di depan kolam ikan kecil di sudut kanan. Perempuan yang kali ini m
ake hak tinggi segala," led
epanmu," sahutnya sembari mendelik dan menger
harus
awa. Sebetulnya tanpa diungkapkan pun aku sudah mengetahui alasannya, te
k air dari kolam dan ditingkahi suara katak yang sepe
pangg
ergem
engan suara yang
n wajahku dengan paksa sampai kami saling berhadapan
harus jawab!" titahny
itu akan cepat mereda. Perlahan aku menarik kedua tangannya dari waja
dian dia memajukan wajah dan mendaratkan kecupan di pipi kananku sekilas.
tingkah hantu yang ternyata bisa malu-malu. Seperti ha
*
h bangunan besar berarsitektur khas rumah tempo dulu. Sebagian dindingnya dibiark
k bola itu tampak terawat. Beberapa pohon yang tumbuh di sekitarnya tampak r
ekat kolam ikan berukuran kecil. Di belakang ayunan tampak rimbunan pohon ber
an celana kain hitam menyambut kedatanganku di teras depan. Beliau adala
milik orang tua Farid, sahabatku. Rumah yang Pak Tono tempati merupakan sebuah paviliun di bag
arankan untuk tinggal di sini. Kendatipun aku awalnya agak ragu-ragu, tetapi Farid meya
, dan sejak itu pulalah Viana selalu hadir
et
et
et
. Tuk. T
. Tuk. T
bangun dari atas tempat tid
. Terdorong rasa penasaran, aku melongok ke luar kamar, menoleh ke kanan
arena tiba-tiba merasakan ada hawa dingin dari ujung kiri koridor yang mengarah ke d
an bergaun putih melambai yang berdiri tegak depan pintu. Wajahnya tampak pucat pas
uju jendela. Menyandarkan tubuh ke kusen dengan santai. Kedua tangan dim
nya dengan suara yang terdengar an
takut?" Aku b
asti pada takut, termasuk Farid,"
penakut, tap
ng, yang terdengar hanya bunyi gesekan de
ambil melayang mendekat da
ng luar negeri tampak cantik. Kulit putih, alis lebat menaungi sepasang mata beriris biru, hidung mencuat ting
aku
u," tukasnya sebelum ak
sendu. Kata-kata indah yang biasanya meluncur dengan lancar kini
ggak?" tanyany
jawabku de
dan menampilkan wajah pucat kesi dengan urat-urat ber
l membuat Viana tertawa melengking, sebelum sosoknya memudar