The Blue Eyes
E
k gorden kamar yang tersibak. Secarik senyuman terukir di wajah saat melihat Farid
dan memeluk mereka dengan setitik rasa rindu. Kami bertegur sapa se
tempo hari," ujar Farid sambil mengulurkan s
membantu," sahutku sembari mem
e sini. Maklum, bawaan bayi, masih mabuk," je
ya kerabat yang terdekat denganku saat ini. Ayahn
k merawatku. Mereka terpaksa harus melakukan itu, karena ayahku sudah menghilang sejak lama dan tidak
pertama kali ikut bersama beliau. Namun, sampai detik ini Paman Rasyid
aku berusia lima tahun. Sejak saat itu, Ibu pontang panting bekerja sebag
dengan alis berkerut. "Tinggal ajak dia makan bakso yang pedas. Pasti
makan sambal yang full cabai rawit dengan wajah s
Konon katanya, merak itu doyan cabai rawit,"
a keenamnya lebih tajam dari aku. Mungkin dia
impiin kamu lagi jalan ke bukit sama noni Belanda itu." Farid sont
. Keduanya terdiam dan saling beradu pandang sesaat setelah aku selesai bercerita. Kemudian Farid berdiri dan mene
agan lebih tinggi lagi. Ngeyel pisan!" Omelan
kan nggak serajin kamu," balasku ser
kepang dua yang berwajah cantik itu. Cuma dia, yang bisa membantu melindungi Mas saat ini," titah Lidya yang membuatku tertegun. Saling
*
beranjak sore. Embusan angin yang makin dingin, memak
ohan mengekor di belakang. Perjalanan kali ini terasa lebih mudah daripada sebelumnya. Mungkin karena tanah yan
rapa peralatan yang sudah dipersiapkan. Beberapa lampu daru
fotografi dengan cepat. Kemudian, memasang benda-benda itu, d
gian kanan bukit, yang terletak tidak jauh dari makam. Dilanjutkan dengan menunaikan salat tiga rakaat secara bergantian di dalam tend
" tanya Farid d
sang istri. Bertolak belakang dengan Lidya yang sangat pemberani
uncul,"
ng menatap layar laptop nyaris tidak berkedi
ebih pemberani dibandingkan sang kakak.
tertarik pada dirinya. Namun, entah kenapa. Sampai dia berusia dua puluh tiga tahun ini,
itu dari kamera. Merekam semua kegiatan ini dengan antusias. Makin lama dua titik itu tampak semakin me
ketajaman mata. Sosok Viana yang sedang berjalan bersama seseorang, tampak k
lankan petuah Lidya. Johan yang berdiri di sebelah kiriku, sesekali melirik untuk m
kami. Keduanya tampak saling beradu pandang, sebelum akhirnya
dah siap, Anto?" tanyany
Vi?" balasku deng
membantu menguak tentang misteri tempat ini,"
dengan Johan. Tangannya bergerak menepuk pundakku untuk memberikan keku
detik, sebelum kembali menatapku dan ber
kenapa wajahnya sa