Mawar Hitam Berdarah
seperti biasa. Membereskan rumah, memasak, berbelanja ke
tubuhnya untuk istirahat, Marni selalu menyuruhnya ini it
rasa sakit yang mendera kepalanya, Marni datang menyuruhnya membuat jus beli
nyimpanan. Memotong-motongnya jadi bagian agak kecil lalu memblendernya. Setel
ng Ibu, bahkan hanya sekedar mengetahui wajahnya saja Maria tidak pernah tau. Maria begitu mendambakan pelukan sayang yang menghangatkan dari sosok Ibu. Ketika dulu dia menikah dengan Fiko, memang Marni memperl
araannya bersama Sela. Marni melirik Maria sengit. "Ngapain kamu meli
perhatikan Marni. "Tidak bu!" Maria menggeleng membantah. "Saya tidak pernah
cap ketus. Tak betah dia berlama-lama memandang wajah kesakitan Maria akibat ucapannya. Sejujurnya Marni m
idak pernah, Maria selalu menanyakan pada Marni alasan kenapa begitu membencinya. Tapi
sa melihat wajah Maria yang tengah berdiri "Dengar! Sampai kapanpun kebencian saya pada kamu ti
ak merasa bahwa kebencian itu tidak mendasar?" Maria berucap serak. "Hanya karena Ibu aku mungkin adalah orang
Kamu mau tau Ibumu itu orang yang
pernah Maria ingat pernah hadir atau tidak dalam hidupnya. Dia tidak akan membenci sosok Ibu yang melahirkannya itu sebelum mengetahui ke
salahkan Marni kalau pada akhirnya Maria akan membenci setengah mati pada sosok yang selalu diharapkannya itu. "Dan, Ibumu itu yang membuat kondisiku memburuk dari hari keharinya. Dia yang membua
tak menententu. Maria menyangkal tuduhan Marni dengan menggelengkan kepalanya.
buang wajah. "Sekarang kamu tau kenapa saya begit
ng di kepalanya bertambah. Berkali-kali Maria menggelengkan kepala berharap kesadarannya tetap
Dia membelalakan matanya begitu menoleh ke sam
ia pingsan. Sela melangkah mendekati Maria dan mengecek keadaannya. "Dia pings
dalam sekejap menjadi acuh t
Maria tidak baik. Ya, setidaknya jangan ada aduan tentang dirinya yang sengaja membiarkan Maria pingsan begitu saja dan tergeletak mengenaskan di atas lantai yang dingi
au Fiko mengetahuinya bagaimana?" Sela berucap lembut guna menyentuh ibu
ensi dari perbuatannya bila tetap egois hanya akan membuat anak semata wayang yang begitu dikasihinya itu marah. "Ya sudah, to
cacat yang sayangnya harus menjadi ibu mertuanya itu. Dengan
dang datar Maria yang terbaring tak sdarkan diri, lalu matamya bergulir ke
mendudukan dirinya di kursi yang bersebelahan dengan kursi roda Marni. "Ib
an di mata menantunya itu, seketika hati Marni tergerak untuk mencurahkan isi hatiny
*