Benih Sang Kakak Ipar
/0/31109/coverbig.jpg?v=dc7fd2ea8d59b490b40f101fc8dd1010&imageMogr2/format/webp)
yala. Aura menggenggam erat tali tas tangannya di pangkuan. Perasaannya tidak keruan. Di sampingnya, Gavin me
tapi dia baik banget. Dia nggak mau kita kesusahan di awal pernikahan kayak gini," suar
anya macam-macam. "Tapi, Vin... apa nggak sebaiknya kita mandiri dulu? Aku nggak
Mas Adrian sendiri yang minta. Lagian, rumah sebesar itu cuma diisi dia sama pelayan, apa nggak sepi? Dia
nikahan mereka. Pria itu berdiri tegak dengan setelan jas mahal yang tampak sangat pas di tubuh tegapnya. Matanya tajam, hitam pekat, dan saat mereka bersalaman, Adrian tidak melepaskan genggamannya sediki
. Sebuah rumah mewah bergaya modern minimalis berdiri angkuh di hadapan mereka. Dinding-dinding kaca setinggi plafon m
ut, mengambil alih koper-koper mereka dengan cekatan. Di tengah lobi y
ainnya. Ia hanya mengenakan kemeja hitam dengan lengan yang dig
a Adrian berat dan berwibawa, m
an memeluknya singkat. "Mas! Makasih
nya tidak menatap Gavin. Matanya tertuju lurus pada Aura yang masih
dikit lemas. "Halo, Mas Adrian. Terima kas
kulin yang tajam dan mahal-campuran antara kayu cendana dan tembakau. Adrian mengulurkan tangan, men
bilang sama saya. Jangan sungkan," ucap Adrian dengan nada yan
ik itu, Gavin langsung tertidur pulas karena kelelahan pindahan. Namun Aura tidak bisa memejamkan m
an sarafnya yang tegang. Ia berjalan berjinjit, tidak ingin membangunkan siapap
Seseorang sedang duduk di sana, di balik meja bar yang
ng menyesap sesuatu
ian tanpa menoleh, seolah dia
ser, mengisi gelasnya dengan air. Saat ia hendak berbalik untuk kembali ke
bidang pria itu. Bau alkohol
nya lagi gelisah, ya?" Adrian menunduk, wajahnya begitu de
Ia mencoba melangkah ke samping, tapi Adrian meletakkan kedua t
ian yang gelap dan intens. Tidak ada keramahan
Aura. Gavin mungkin nggak tahu cara
belum pernah ia rasakan sebelumnya. Tangan Adrian terangkat, jemarinya ya
i adik kamu," bisik Aura
lapan malam. "Justru karena kamu istri adik saya, kamu jadi tanggung
rjadi. "Tidur lah. Besok hari yang panjang. Dan satu lagi, Aura... jangan pernah berpikir untuk menga
sentuhan tangannya di leher Aura seolah menempel permanen. Aura sadar, kepindahan ini bukan awal dari hidup baru yang bahagia, melainkan awal dari p