Cinta Palsu di Balik Perjalanan Dinas
/0/30642/coverbig.jpg?v=41240a2e48e1064cb6b8ed23eee2d95d&imageMogr2/format/webp)
h empat puluh tahun, kebenaran bi
i tablet baru cucu, jari saya malah tak se
suami saya dengan sahabat karib saya sendiri, Wulandar
ini hanyalah kedok untuk bulan madu abadi merek
ideo anak kandung saya, Rizal, sedang tertawa l
ak membantu saya menggeser lemar
pipi pelakor itu dan berbi
a runtuh
kol menjadikan saya "inkubator" hidup untuk melahi
imanfaatkan, tidak dicintai, dan diam-
n diam demi reputasi
h be
g, menuntut cerai, dan menguras har
njadi penenun sukses y
elah hancur lebur dan kehilangan segalanya, saya h
a
DANG SITI
rentetan gambar yang merenggut napas saya. Ini tablet barunya, saya hanya ingin meng
ah folder. Namany
an untuk "riset budaya". Selalu b
buka fol
saya. Mereka berdua dalam pakaian santai, di sebuah pantai. Air laut yang biru ber
k mungkin. Ini pasti hanya kebetulan. Mung
mewah. Wulandari memegang tangan Teguh, tersenyum genit. Teguh membalas senyumnya, ta
ari yang sebelumnya. Mereka berpelukan di depan piramida Mesir. Mereka berciuman di bawah Mena. Ini adalah pe
mpat pul
lang dia sedang "perjalanan dinas". Perjalanan yang selalu dia habiskan untuk "riset buda
tnya, bahkan menuliskan daftar obat-obatan jika dia s
ahun, saya telah hid
aya. Orang yang selalu saya ajak berbagi cerita tentang Teguh, tentang anak k
bodohny
eperti ada tangan tak kasat ma
galeri seni. Wulandari sedang menata patung, tertawa lepas. Rizal, anak s
?" Rizal menggerutu, tapi ada senyum di b
ng Rizal. "Astaga, anak bungsu Mama in
kan lagi sakit saraf kejepit, Ma."
al membantu saya menggeser lemari dapur yang b
ya waktu itu. "Saraf kejepit, katanya dokter. En
hkan memijat punggungnya, mem
besar itu sendirian, sambil tertawa
zal berbisik dalam video i
saya r
jantung saya. Lutut saya lemas. Saya jatuh terduduk di kursi ruang tamu. Tablet itu jatu
saya tahan, kini mengalir
menari-nari di kepala saya. Teguh dan Wulandari.
esa polos yang mereka pakai
masih menjadi kekasih Wulandari, datang ke desa saya dengan janji-janji manis.
hat begitu ramah, begitu perhatian. Dia bilang, "Siti, kam
landari mandul. Keluarga Teguh membutuhkan keturunan. Say
n anak. Hanya untuk m
ya bergetar saat saya men
a kamu kenapa?" Bi S
iri. "Enggak, enggak apa-a
ya kamu enggak pernah telepon k
landari? Tema
kota yang cantik itu. Yang waktu itu
ra saya nyaris
ian masih be
h tiba-tiba mau sama saya? Padahal dia sud
g di ujun
ata Bi Sumi pelan. "Tapi Bibik enggak
ita, Bi," kata saya. "Sa
iti. Keluarga Teguh yang terpandang itu enggak bisa menerima menantu ya
i dan Teguh meren
ahwa kamu adalah wanita yang baik, yang pantas untuk Teguh. Dan Teguh
ga yang dia bangun dengan saya, ta
mu masih
asih di sini."
risetnya". Saya selalu menganggap itu adalah beban seorang suami yang bekerj
njadi istrinya. Hanya seb
tersenyum bahagia. Mereka berciuman. Mereka berpelukan.
kesukaan mereka, membersihkan kotoran mereka, memanjaka
sakit dari apapun yang pernah saya rasakan. Ini
nggung tangan. Air mata asin yang
ring lagi. Nama Ra
itu!" suara cicitan Rara terdengar di teling
lu saya buatkan dengan penuh cinta. Makanan yang seo
g ke dinding. Lalu, dengan gerakan lambat, sa
ku