Ketika Cinta Pertama Berujung Penderitaan
/0/30469/coverbig.jpg?v=457d50ab47bd5ccb4157b7e9162c8b93&imageMogr2/format/webp)
punggungnya sampai hancur. Ia menggigit bibirnya, menahan suara jeritan yang tercekat di tenggorokan. Ini bukan lagi sakit biasa, ini puncaknya. Ia tahu. Setelah sem
bisiknya pada dinding bat
jendela, berbau apek, lembap, dan menjadi rumah bagi laba-laba serta tikus-tikus. Laila memilih tempat ini, bukan karena ia punya pilihan, tapi karena di sini-di antara sisa-sisa keme
a merangkak, menyeret perut besarnya melintasi lantai semen yang kasar. Setiap inci gerakan terasa seperti siksaan. Air matanya sudah kering, digantikan oleh keringat dian pernah anggap kami orang tuamu lagi
ingga. Malam itu, tiga bulan lalu, Laila berjalan keluar, membawa tas ransel berisi beberapa potong baju dan beban penyesalan sebesa
ini, ia tidak bisa menahan suara rintihan yang lolos. Ia terengah-engah, merasakan sesu
k bersih, tidak ada air hangat, apalagi obat pereda nyeri. Yang ada hanya kegelapan yang mulai tu
ratapnya, suaranya parau dan kecil, hi
g harus dilakukan? Mendorong? Menarik napas? Hanya ada satu insting yang tersisa: insting un
rongan untuk menjerit. Otaknya bekerja keras, menyaring informasi di tengah kabut rasa sakit. Ia meraba sekeliling, mencari sesuatu yang bisa dijadikan alas atau pem
pasang, memaksa tubuhnya melakukan hal yang tidak pernah ia latih. Ia
ang menghambur-hamburkan uang sewa kos yang ternyata uang haram, dan yang meninggalkannya begitu tahu Laila hamil. Laki-laki pengecut. Laila tidak me
iakannya memantul dari dinding ke dinding, terdengar asing dan menyedihkan di ruang kosong itu. Itu adalah
ggil semua energi yang tersisa dari tubuh yang sudah berhari-hari hanya makan mi ins
dan hangat, diikuti oleh su
rhenti b
rgeletak di atas tumpukan koran bekas. Tangan mungilnya yang terkepal. Keheningan selama sepersekian
ngisan i
ang mengisi seluruh ruangan kosong. Tangisan itu adalah konfirmasi. Konfirmasi bahwa ia berhasil. Konfirmasi ba
a rasa lega, takut, dan cinta yang tumpah ruah dalam satu waktu. Ibisiknya, su
kaca yang ia temukan dua hari lalu, ia cuci dengan air sisa minumannya. Ini bukan gunting yang steril, ini a
arus melakukannya sekali tebas. Jika ia gagal, bayinya akan terluka. Ia menariucapnya pada bayi itu, yang kini han
r
eadanya dengan sobekan kain yang ia siapkan, lalu segera memeluk bayinya ke d
uanya seolah lenyap, digantikan oleh keajaiban kecil yang menggeliat di pelukannya. Ia menyandarkan
tutup. Ia melihat hidungnya, mirip dengan hidung Bapaknya. Ya, Bapakny
mbil tersenyum tipis-senyum pertama
ja, debu tebal, bau kotoran burung. Ini adalah tempat kelahiranmu, Nak. Bukan rum
nya. Penyesalannya adalah kenapa ia bisa membuat masa depan anak ini begitu sulit bahkan sebelum ia s
nggalkan anak ini di panti asuhan agar mendapat hidup yang layak? Atau ia harus menggenggamnya erat, menghadapi dunia
engannya adalah berat tanggung jawab yang luar biasa.
kup besar. Namamu... Aku akan kasih kamu nama Arka. Pelangi yang melengkung. H
. Ha
pasang mata gelap dan polos. Mata yang tidak
bisa hilang, tapi rasa sakit kehilangan anak akan membunuhnya.
melainkan sebagai seorang ibu yang baru lahir, memeluk harapan kecilnya erat-erat, siap menghadapi badai