Rahim Yang Mengkhianati
/0/27856/coverbig.jpg?v=0350c17bf103119a411fc54cf3942ffb&imageMogr2/format/webp)
yang baru saja diterimanya. Kata-kata dokter masih terngiang di telinganya, bagai gema
g bahagia, tawa anak-anak yang memenuhi rumah, kini tampak runtuh begitu saja. Selama bertahun-tahun, ia dan Lina berjuang untuk memiliki anak. Mereka sudah
aaf, Lina... aku tidak bisa memberimu anak," gumam Rafif lirih. Hatinya perih, tetapi ia menolak untuk menangis.
ali tak ia duga. "Rafif... aku hamil," katanya sa
sa takut, bingung, bahkan sedikit marah yang bercampur menjadi satu. "Apa mak
f... aku juga kaget. Aku baru tahu beberapa hari yang lal
tanyaan yang tak masuk akal. Ia ingat semua tes, semua pemeriksaan, semua kata dokter. Se
ikan Lina darinya. Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya, meskipun suara
dengan pertanyaan itu. "Rafif... apa maksudmu? Tentu sa
tajam, wajahnya penuh ekspresi yang sulit dibaca. Tanpa banyak bicara, ia
belati menembus hatinya. Foto-foto itu terlihat jelas, Lina sedang tertawa dan bercengkeram
kan. Suasana di ruangan itu menjadi hening. Lina hanya bisa terdiam, matanya berkaca-kaca,
fif. "Kau... kau bilang kau hamil an
... aku bisa jelaskan... aku... akudan ketidakpercayaan menumpuk menjadi bola api di dalam dadanya. Ia memikirkan
afif dengan mata penuh kepastian. "Nak... ibu sudah bilang. Hati-hat
luarga kini terasa begitu jauh. Ia merasa dunia runtuh di sekelilingnya. Lina mencoba mendekat, menggen
a. Ia ingin menjelaskan semuanya, ingin Rafif percaya, tapi kata-k
erna semua yang terjadi. Rasa sakit, kemarahan, dan kekecewaan bercampur menjadi satu. Ia merasa dikhianati o
ngin Rafif percaya, tapi bagaimana bisa ketika bukti-bukti itu ada di depan mata? Ia merasa fru
n setiap kali melihat Lina, hatinya terasa perih. Ia mulai menyelidiki, mencoba mencari tahu siapa pria dalam fot
pernah menyangka bahwa kehamilannya yang seharusnya membawa kebahagiaan justru menjadi sumber konflik yang begitu b
erdampingan, tapi seolah terpisah oleh tembok tebal yang dibangun dari rasa curiga, sakit hati, dan ketida
ingin menahan Lina, tapi rasa sakit itu terlalu dalam. Ia ingin mencintai istrinya sepe
ang begitu dalam, seolah dunianya kehilangan warna. Lina, yang kini tidur di kamar yang sama, hanya
nya kesunyian yang menutupi ruang itu, seolah memberit