SEBERKAS ASA YANG PUDAR
dah dingin sejak satu jam lalu. Malam itu, rumah yang biasanya terasa nyaman mendadak dingin, sepi, dan berjarak. Sejak beberapa bulan
arah Ardi, hanya menyibukkan diri dengan rutinitas yang tak pernah berakhir. Setiap langkah Maya terdengar seperti gema di
i akhirnya, mengumpulkan keberanian. Suaranya
jenak dengan ekspresi datar. "Tentang apa la
a yang terasa memberatkan dadanya. "Kamu nggak merasa k
ipat tangannya di dada, tatapannya lurus dan dingin. "Mungkin kare
a merasa ada yang hilang... perasaan yang dulu selalu membuat kita bahagia. Sekarang semua ser
ang begitu, Ardi. Mungkin... kita hanya sedang menjalani bagian
pulang, yang selalu berbagi cerita sebelum tidur." Ardi menatap Maya penuh h
ga lelah. Aku punya banyak hal yang harus kupikirkan setiap hari. Anak-anak, pekerjaan, rumah ini.
na betapa jauhnya mereka telah melangkah dari apa yang dulu ia impikan tentang pernikahan. Pernikahan y
uaranya pelan dan penuh keputusasaan. "Aku nggak m
perlu... memberi waktu. Mungkin semuanya akan kembali seperti semula, atau mungkin kita
tu yang tak mungkin kembali. Tanpa sepatah kata lagi, Ardi bangkit dari kursinya dan berjalan menuju kama
ang menggumpal. Di pikirannya, muncul kenangan masa lalu-saat-saat mereka pertama kali bertemu, kencan-ken
dirinya sendiri, suara yang hanya terdengar
ang semakin menggulung perasaannya, menenggelamka
, dengan tatapan datarnya tadi, terus terbayang dalam ingatannya. Sejak
uara serangga di luar. Ia menghirup napas dalam-dalam, seakan mencari ketenangan d
rdi menutup jendela, melangkah keluar kamar dan melihat Maya masih duduk di sana, menatap kosong
panggil Ar
rkejut, namun hanya sebentar. Wajahny
aya, nadanya datar tapi menga
dakan ketegangan di antara mereka.
sedang berpikir... tentang kita. Tentang semua yang terjad
ya yang tenang, tapi dingin. Dia ingin tahu, ingin paham, w
itu. "Ardi, aku tahu kamu merasakan ada yang berubah. Tapi, jujur saja, aku pun mer
adanya. "Kenapa kamu ngga
kaca. "Karena aku takut, Ardi. Aku takut kalau aku membicarakannya, malah
a dan bingungnya dengan dirinya. Mereka berdua merindukan masa lalu yang penuh kebahag
pertama kali ketemu?" tanya Ardi t
hampir ketabrak motor gara-gara foku
. "Aku nggak akan pernah lupa. Waktu itu a
ya, suara Maya kini lebih berat. "Apakah... mungkin ini memang takdir kita? Bahwa
ya bisa menatap Maya dengan perasaan campu
Ardi akhirnya. "Mungkin, kalau kita sama
ncoba. Aku sudah mencoba untuk tetap bertahan, walaupun hati ini sering me
yang telah tumbuh di antara mereka. Selama ini, dia hanya berpikir bahwa rasa kosong ya
Ardi dengan suara yang rendah namun pen
ir mata yang sudah hampir jatuh. "Ardi, aku juga ingin kita baik
tak akan pernah kembali seperti dulu. Tapi di saat yang sama, ia tak bisa membayan
suaranya mulai bergetar. "Kita belum benar-benar
ahi pipinya. "Baiklah, Ardi. Mari kita coba. Mari kita coba unt
harapan tumbuh di dadanya. "Teri
alam itu, di tengah percakapan yang penuh air mata dan kejujuran,
ma, mereka merasakan kehangatan meski samar. Mungkin jalan ini masih panjang, mungkin banyak luka yang
ambu