Terjerat Nikmat Sesaat
menjaga agar motor tetap stabil, membuat sepatuku berdebu tebal. Terjal, berdebu, dan kadang-kad
rus menyusurinya dengan sabar. Kira-kira, setiap setengah jam sekali, aku har
nya, dimana S
h jauh da
i sini bel
baru pertama menjelajahi daerah itu, aku kesulitan menemukan tempat yang harus kutuju karena sepanjang perjalanan, tidak banyak ancar-ancar yang bisa aku jadikan patokan. Hanya sawah menghijau, k
Di situ ada poskamling, belok kanan." jawa
amku. "Terima kasih, Pak..." b
muda lazimnya. Tak berkumis, dan rambutpun masih hitam tebal. Aku sering melatih ototku ketika masih tinggal di kota. Seminggu dua kali, aku angk
gahnya, cukup untuk menampung belasan anak saat upacara. Gurunya pun pasti juga tidak terlalu banyak, tebakku. Walaupun kecil, halamannya cu
mengetuk pintu, dan menunggu siapapun yang keluar dari ruang bertuliskan 'Kepala Sekolah' itu. Tak berapa lama, g
," sapaku kepada seorang wa
a belum terlalu tua. Mungkin berusia 30 tahunan. Tubuhnya mungil namun wajahnya manis. "Oh
d, utusan dari dinas k
en manisnya. Hidungnya mancung dan ia memiliki alis yang lebat. Setelah mempersilakan masuk, ia berbalik d
kami duduk. Ia memberi kode kepada seorang lelaki tua yang melintas
lagi Pak Bardi bawain t
repotin." balasku pelan.
okumen yang aku bawa. Satu lembar berganti dengan lembar yang lain. Kadang-kadang, ia tersenyum sendiri. Aku tak t
tahula
a yang tirus menatapku tajam-tajam. "Saya ucapkan terima k
gangguk
ini sudah pensiun dan Mas Alfred diharapkan bisa
arkannya dengan nyaman. Bu Irda sebenarnya belum cocok jadi kepala sekolah, kataku dalam hati. Ia bahkan terl
ari jalan, tapi tempatnya teduh. Semoga kamu nyaman," Bu Irda berdiri dan menya
an mampir ke rumahmu." ka
apa Bu Irda yang kepala sekolah mau datang ke rumahku sore-sore ya? Ah,
^
tih itu. Rute dari jalan utama hingga tepat berada di halaman kecil di depan rumah itu memang tidak ramah untuk kendaraan
n hanya dengan sedikit putaran, pintu itu terbuka. Aku menyusuri rumah
am perjalanan dari kota hingga berada di dalam rumah ini tampaknya harus segera diakh
aku menyadari kalau rumah itu tak dilengkapi kamar mandi. Aku sangat kebelet. Dengan jingkrak-jingkrak menuju halaman belakang, kubuka
kataku pada
epanjang hari itu. Wajahku berminyak habis dan hanya bisa diseka menggunakan
mah terasa diketuk dari luar. Aku
, Alf
ri itu. Aku tampak gelagapan karena hanya pakai celana pendek dan kaos oblong. Wah, pasti mau b
enjawab, "Sudah nggak usah repot-repot. Kok bli
diri hanya memakai pakaian biasa. Celana panjang kain dan kaos merah. Ia tampak menente
Umbul untuk m
aktu sebentar untuk menyiapkan peralatan mandiku. Ternyata, dalam hatiku berbi
a banyak yang kami obrolkan. Karena berperawakan kecil dan tampak masih muda, Bu Irda tidak tampak men
ali di Umbul itu." jelas Bu Irda. Aku mengangguk berkali-kali. "Jadi,
m simpul. "Beda kan dibanding tinggal
ibu semuanya bisa diatur, ba
^
a kisah super baper "Tak