Neng Zulfa
Zahra
kemudian dipegangnya dengan lembut ubun-ubunku dengan
aikannya dan kebaikan wataknya. Dan aku mohon perlindungan-Mu dari kejahatannya dan kejahatan wataknya)," bisik Gus Fatih di puncak kepalaku. Persis seperti
-ubun kepalaku. Darahku berdesir. Kali ini dia mengecup keningku lama. Kami saling be
llah," katanya kemudian mendekap
k .
di atas ranjang. Kutoleh sisi kanan. Kosong. Tidak ada Gus Fatih di sana.
a mimipi. Ya
leh dengan tubuh menghadap rak sandal-sepatu plastik di dekat pintu, sebelah kakinya masih menjulur menyentuhnya. Se
u jadi terbangun." Gus
pasti baru pulang dari rumah makan melihat pakaian yang ia kenakan masih sama dengan
Tanpa ia minta aku masuk ke kamar mandi, menyiapkan air panas untuk keperluannya mandi. Gus Fatih sudah mengh
atih pasti sudah makan di luar. Seperti biasa, ia pasti m
ng lebih pantas disebut makan sendiri. Namun, aku punya alasan kenapa makan malamku bersama Ibu dan Abah Kiai yang
ian bawah tubuhnya masih terbalut handuk dengan tubuh telanjang dada
memejamkan mata, tidak me
at dari biasa, banyak urusan tadi." Suara
ni. Malah aku yang merasa risi sendiri saat melihatnya, mungkin. Dan sebenarnya aku juga. Toh, dia s
ang istrinya, kan?! Apa salahnya? Aku tidak bisa di
lek
ih memasuki perpustakaan kecilnya lagi seperti biasa. Dia memasuki ruangan
pasti tidur juga sebentar di sana, baru keluar ambil wudu. Apalagi, salat Tahajud kan hanya diperbolehkan terlaksana jika sudah terlelap
ius dengan pernikahan ini. Kata-katanya kala itu hanya isapan jempol. Entah apa motifnya. Menurutku
aman. Tidak berpengaruh. Aku masih kesulitan te
enelan Gus Fatih di dalam
engertinya? Mungkin Gus F
uduhanku saja yang, mungkin, terlalu jahat mengatakan dia
hiku, kan? Ini sama saja menyakitiku, lebih sakit lagi dari saat kami mendapat takziran da
dari yang masih gus bahkan sudah kiai, sudah berniat mau menikahiku. Aku masih di bangku aliyah kala itu. Banyak pinangan yang datang. Keluarga mereka mengat
arga diriku. Aku akan melakukan apa
*
lek
pintu
Zulfa yang duduk di tepi ranjang. Rambut panjangnya tergerai dan senyum ranum mekar di wajahnya, matanya sendu seperti biasanya. Dalam kamar
tetap cantik terkena pancaran sinar temaram lampu meja. Istrinya itu memang terlihat semakin pucat saban hari, sakit mung
Fatih kemudian beranjak untuk meletakkan kitab itu kembali ke rak buku tempatnya yang ada di dinding kamar, setelahn
n wajah dan mata Zulfa. "Apa?
erkedip, Fatih memalingkan muka. Ia terbatuk
nya jatuh ke depan. Ia kembali memasang senyum terbaiknya sebelum mendongak. "Aku i
kan kening. Tatapannya k
a menganggu
ada cemas dan terkejutnya. Dalam hati ia bertanya-tanya
tuk tahu yang sebenarnya. Apakah Fatih memang menginginkannya sebagai istri atau tidak. Mungkin pulang ke Ke
Umi, Mas." Zu
alan lewat seluler, itu pun Zulfa harus menfilter kata-katanya agar Abah dan Umi tidak sampai tahu yang sebenarnya bagaimana keadaan rumah-tan
Saat ini Zulfa bisa merasakan napas
"Ya sudahlah, Mas. Wudu gih sana! Mas Fatih mau tahajudan, kan? Biar perlengkapannya kusiap
judanku?" Zulfa berjalan ke arah pintu, tangannya kini menekan tombol on lampu utam
an tangan ke depan sambil tersenyu
atih men
a yang sudah ia tahan dari tadi berlinangan. Mungkin karena sudah berpengalaman menangis gadis itu jadi bisa menahannya
*
mukenanya. Ia sudah mengambil posisi di belakang Fatih yang kini
arunya di belakang. Bahagia, setidaknya dia bisa mencicipinya sedikit sekarang setelah satu sete
elantunkan ayat suci al-Qur'an. Hatinya berusaha meresapi setiap makna yang terkandung di dalamnya. Besok-besok di
hu ak
ata terpejam Zulfa. Ia berusaha men
ahu liman
rerat pejam
hu ak
asnya. Kali ini Zulfa menahan suara isa
ng akhirnya tidak bisa bersama Fatih, ia harus mengikhlaskannya. Mungkin masa berj
dalam ikatan pernikahan seperti ini maka perkuat hubungan mereka, tumbuhkan rasa cinta dan kasih
n cara yang baik sebagaimana mereka terikat dalam pernikahan. Zulfa pun meminta ag
kebaika
mau melihatnya. Ia akan melakukannya sampai Fatih menerimanya karena itu ia sengaja bangun dan duduk di ranjang menunggu Fatih keluar. Namun, begitu Fatih membuang muka darinya seb
an Zulfa menyerah pada k
oleh kepadanya. Sebelumnya Zulfa sudah berhasil menghapus jejak air matanya. Mungkin hidung bangirny
. Ia terpana. Saat itu sisa cairan hangat terasa di punggung tangannya, ha
beralih ke kepala Zulfa, membuat si empunya menghentikan gerakan saat me
manik Zulfa yang terpaku padanya. Sebenarnya itu berkat belaian di kepalanya yang kini menjadi usapan lembut di
gandengnya ke tempat tidur. Begitu mereka sudah saling duduk, Fatih mengusap puncak kepala Zulfa
tangan laki-laki itu tidak lagi memegang kepalanya melainkan beralih pada pipinya. Harapan baru
lik ke pondok putra. Sebentar lagi sudah mau S
knya. Bayangan orang tua dan mertua berputar di kepalanya. Dari Abah, Umi, Abah Kiai, dan ber
*