Neng Zulfa
Zahra
aku tidak langsung kembali ke ndalem. Sengaja aku mengunju
ih berdiri di tempatnya. Fotoku bersama para penghuni kamar pun masih menempel berkat solasi di em
atan mandi bagi teman-teman satu kamar yang lain. Aku bersyukur lemari itu tidak dikeluarkan dari kamar ini dan malah dimanfaatkan seperti itu, aku jadi bisa mengena
akan cicak di langit-langit plafon, rintik hujan yang menjajaki teras saat angin bertiup kencang dan kadang terserak ke dala
tahun ini. Aku merindukan kamar ini. Merindukan masa-masaku di sini. Merindukan saat aku
en
asih menatap persegi dengan bingkai s
ubuhku. Tampak wajah pol
m boyong di masa awal jabatanku. Singkatnya gadis berkerudung coke
katanya santai, entah kenapa t
tatap kedua ma
pala. "Di kantor pondo
enuru
antri putri yang terlihat mulai sibuk dengan kegiatan pagi terlihat lebih manatap pen
narnya mereka sudah begitu selama aku mondok. Berkat sebutan 'Neng' yang secara tak langsung tersemat di namaku membuat ma
tidak dekat denganku atau ada di kelas bawah tingkatku dan para santri baru balas mengangguk dan tersenyum. Sedang para santri yang
ya, ternyata. Biasanya hanya lihat dari jauh saat jemaah
lum kalau dulu Neng Zulf
kalangan para santri. Selain canti
Neng Zulfa bisa diperistri Gus
ya mondok di sini? J
Zulfa sama Mbak Zinda dengar. Lebih baik
tahu ceritanya daripada s
ngka jika aku masih menjadi buah bibir di pondok putri. Terlebih yan
man para santri baru itu, yaitu ucapan seseorang y
dari mana, diam-diam aku mengamini 'serasi' itu. Berharap kata itu berarti utuh menjadi satu, bukan sekedar
angan yang memiliki tulisan 'SUCI' di punggungnya, aku dan Zinda menghentikan langkah kami di sebuah r
yang sebelumnya memintaku masuk lebih dulu se
gadis bermata sipit itu yang kini se
kotak kayu dari dalamnya. Mataku membola sempurna beberapa detik kemudian
en
ang temanku itu. Wajahku pasti lebih pucat sekarang menatap kedua manik
serak basahnya b
rah di tepiannya itu. Dia mengangkat kertas-kertas bertuliskan air mail di bagian bel
benar semua ini, Neng?" tanya Zinda m
ak bermaksud membohonginya karena respons
kertas-kertas itu dari lama. Siapa saja sekarang yang sudah
ap Zinda. Penasaran bagai
rasakan pelukan darinya. Membeku begitu Zinda mem
raikan kedua lengan dan tubuh Zinda.
mengembangkan
ya. Pikiranku sudah mengembara memikirkan hal-hal buruk yang bi
angannya ke atas pahaku sembari mencondongkan tubuhn
aku dengan berbagai pikiran
t-surat kepunyaanku yang berasal dari Gus Fatih sebelum menjadi suamiku
adi dan memasukkannya kembali ke dalam kotak. Ia menyodorkan kotak kayu itu ke arahku dengan se
saja." Zinda men
nya begitu terasa sesak mendengarnya
sebelah tangan Zinda. "Jangan katakan
"Iya, Neng." Gadis itu kemba
ja. Itu pun kalau kami sama-sama berbaris di shaf pertama. Kalau aku memang selalu di shaf nomor satu, pa
. Dia pasti selalu sibuk di kantor ini seperti aku dulu saat masih menjabat ketua. Apalagi yang kudengar dari Dewi, sampai saat ini belum ada yang mengisi posi
?" Suara Zinda membawaku
gerjapk
apa hari setelah Neng dipanggil ke ndalem dulu. Apalagi saat di pondok gempar oleh berita pertunangan Neng dengan Gus Fatih. Aku benar-benar kag
elama ini Neng Zulfa terlihat selalu cuwek masalah lamaran laki-laki yang ingin memperistri njenengan. Surprise saja Neng mau menikah di usia Neng yang sekarang, pada
aku. Tidak menyangka dia sebegitu perhatiannya padaku, padahal dia tidak sedekat
s Fatih mengatakan segalanya. Kalian saling mencintai ternyata." Zi
aku langsung mer
encintai
idak tahu ya
apa tahu husnuzannya menjelma doa must
tapa lemahnya aku. Kueratkan pelukanku saat air mataku mulai terasa mengaliri
*