Neng Zulfa
Zahra
u. Lalu seperti adat orang ala Jawa Timuran, resepsi diadakan sehari setelahnya. Bedany
a alumni, tokoh masyarakat dan warga sekitar, saudara, kerabat, teman-temanku maupun Gus Fatih, juga tamu para masyayikh dari berbagai pesantren di Jawa Timur. Bah
tidak langsung pernikahan ini juga menjadi penyatuan dari dua pesantren besar milik Abah dan Kiai. Dan itu sudah biasa terjadi di kalangan kami. Kalangan
iai dan Bu Nyai yang memanggilku. Kukira mereka mau menambah hukumanku. Hatiku sudah berdebar hebat saat itu,
icarakan niatan mereka untuk menjodohkanku dengannya, bahkan Gus Fatih sendiri menyetujuinya. Aku dibuat bingun
a waktu untuk berpikir dan mengambil keputusan. Usiaku saat ini 19 tahun dan Gus Fatih l
ih yang akan menjadi suamiku. Aku takut tidak bisa menjadi istri yang baik, takut belum mampu hidup berumah tangga walau pendidikanku di
kesediaan Gus Fatih menikahiku. Itu berarti dia benar serius pa
dengan Gus Fatih-untuk ke sekian kali, mimpi yang sama selama tujuh hari berturut-turut. Aku pun mendatangi Abah dan Umi yang senga
us Fatih terlebih dulu. Aku takut kalau sebenarnya dia juga ragu akan perjodohan kami. Tak disangka, Gus Fatih kemudian yang malah meyakinkanku sen
dan Bu Nyai yang mengawasi dari ruang tengah. Setengah jam kami bertukar pikiran sampai Gus
anutan dan imam yang baik dalam kehidupan rumah tangga kita. Dan jika kamu masih ragu akan keputusanmu, maka
begitu juga denganku. Besoknya aku langsung diboyong pula
kerabatnya. Semua berjumlah delapan orang. Dia terlihat menawan sekaligus lebih tampan dalam balu
ok denganku. Gus Fatih yang ditanya langsung berkata ungu karena ungu memang warna kesukaannya. Aku dibuat tertawa mendengarnya. Aku bahagia. Terlebih melihat ekspresi Gus Fatih yang melih
wisuda pondok Gus Fatih tiba-tiba mendapat panggilan mendadak ke Mesir dari salah satu dosennya. Pernikahan yang kurang semin
mpai pernikahan, kenyataannya memang selama di Mesir kami juga lost contact. Gus Fatih yang rajin menghubungi sekadar menanyai kabar tidak pernah lagi menelepon, bahk
*
amu'al
eja rias segera menyelesaikan sisiranku dan menoleh padanya. Dia
enghampirinya. "Mas mau langsung istirahat atau kubuatkan wedang dulu?" tanyak
n tidur yang diberikan Ibu-Bu Nyai yang sudah jadi mertuaku dan menggerai rambut panjangku, berharap Gus Fatih malam ini mau
emudian pergi membawanya. "Aku mau mengkhatamkannya," katanya sebelum masuk ke ruangan sebelah. Ruangan ukuran 3 x 4 meter yang berisikan seb
ya. Menatap ke ruangan sebelah yang pintunya dibiarkan terbuka, menampakkan sosok Gus Fatih, suamiku yang sudah bersalin mengenakan kaus putih lengan
tikan lampu. Berjalan gontai ke ranjang lalu membaringkan tubuhku. Mataku terpejam, tetapi ai
i padaku. Apa dia tidak mencintaiku? Namun, kenapa dia tetap menikahi
iga hari sekali setiap Gus Fatih mau berkunjung ke rumah makan yang menjadi bisnis baru rintisannya, dia selalu bertanya aku mau apa, lalu dia akan membelikannya.
pamit padaku dan menciumku setiap hendak pergi, aku pun selalu menyalaminya bahkan pernah sekali balas menciumnya. Namun, kenapa? Kenapa
et
mar yang menunjukkan angka setengah dua lalu melirik sisi kananku. Kudapati Gus Fatih sudah b
k mencintaiku? Lalu, bagaimana dengan janjimu? Kenapa kau set
benarnya aku belum bisa tidur sejak tadi, mataku hanya terpejam menahan air mata yang terus keluar
hu ak
yang biasa dikenakannya berjemaah di atas sajadah birunya. Wajah tampannya tampak teduh terkena cah
lat berjemaah bersamanya. Setidaknya salat malam kan bisa karena dia selalu mengerjakan salat fardunya jemaah di masjid. Kenapa tidak meng
m. Gus Fatih barusan sudah selesai mandi saat terdengar suara azan Subuh, dia sekarang sedang bersiap pergi jemaah ke masjid. Aku terus menutup
h baru saja dikumandangkan. Aku bangun dan langsung mendapati pantulan diriku sendiri dari cermin meja rias yang memang mengh
tri malah akan menimbulkan pertanyaan dengan wajah seperti ini. Entah bagaimana
*