Neng Zulfa
Zahra
g? N
mbali kesadaranku. Aku menoleh dan mendapati
ku mengambi
embari mengelapi piring yang akan digunakan keluarga ndalem makan. Kami ada di dapur s
ri menyelinginya dengan ta
rang lain, bahkan kedua orang tua maupun mertuaku. Tentu ini masalah yang sangat rawan. Aku tidak ingin terjadi s
g diserahkan Dewi tadi. Ikan asin ini favoritnya Abah Kiai-panggilanku pada ayah mertuaku sendiri la
ungnya sudah mat
besar untuk wadah tumisan itu. Setelahnya aku
icipi rasanya
menga
megangi mangkuk cah kangkung di tan
rih. "Lumayan," katanya memb
benar katanya, 'lumayan' karena bagiku rasanya biasa saj
wa. Aku meliriknya sehingga ia diam. "Lagi pula ini kan tumis kangkung pertama Neng Zulfa,
Kalau boleh jujur aku tidak pandai memasak. Menyentuh pekerjaan dapur saja sangat jarang karena sedari kecil aku sudah mondok. Masa MI-ku d
membantu Mbok Halimah. Kesempatanku hanya membikin wedang seperti teh, kopi, dan menggoreng-gore
g Dewi mau mengajariku. Aku jadi tidak perlu sungkan pada Ibu yang sedari awal tahu bagaimana kemampuan memasakku. O
ke mangkuk. Jangan tanya! Tentu Dewi dan anak ndalem lainnya yang membuatnya. Aku tidak bisa. Ralat! Bukan tidak, 'belum' lebih tepatnya. Aku sudah berniat akan
tihku. Apa benar di
buatan njenengan enak kok." Dewi mene
ya, yang buat Neng sering me
engkan kepala. Refleks, tetapi memang bu
u Neng Zulfa sampai punya kantung mata
piring. Benar. Ternyata wajahku yang kacau terlihat jelas dengan dua buah kantung mata di bawah kelopak, bahkan lingkaran hitam mengitariny
emangnya begitu?" kataku den
mendekatkan wajahnya padaku. "Karena Gus Fat
tahuinya? Bukannya aku sudah berusaha tampil semrin
ah ketar-ketir sekarang melihat ekspresi wajahnya y
a sebe
nta jatah, ya?" ucap De
e
Aku menghela napas lalu segera memelototi Dewi. Yang kupelototi lalu segera mengucapkan 'maaf' de
eperti Mbok Halimah yang mengabdi di keluargaku, Mbok Aminah juga mengabdi lama di ndalem keluarga suamiku. Beliau tersenyum
napas lega. Hampir saja! K
*
pi sambal klotok buatanku. Ya, aku lupa. Sebenarnya aku bisa membuat s
, Bah. Silakan dimakan. Maaf kalau Abah
ya mengambilkan nasi dan lauk untuknya. Kalau Ibu selalu mengambil sendiri. Pernah kutawarka
yang buat, Nduk. Benar?" Ibu menyendok nas
pendapatnya. Entah kenapa seisi ruang makan diam saat kutengok, G
Ibu mangut-mangut
illah ...
ingin tahu bagaimana dengannya. Sayangnya dia hanya diam menatap piringnya. Sontak aku langsung menundukkan ke
makan?" Suara Ibu membua
akan," kataku tersenyum lal
ng aku sudah tidak mengakui itu. Kenyataannya
'Lumayan' malahan, tetapi Ibu mengatakan kalau rasanya enak. Padahal kalau dirasa-rasakan rasanya sedikit asin karena mulai dingin. Makanan berkuah kalau dalam kea
nya. Dimakan sama bendoyo terong penyet sambal klotok tambah mantap lho rasanya."
kalah baiknya dari Bu Nyai. Mereka mertua yang
berat Gus Fatih me
lu mengunyahnya perlahan. Mulutku sedikit te
Gus Fatih tid
li endoknya saja." Aku berinisiatif mengambil piringnya.
u bisa melihat dengan jelas wajah tampannya, menelisik kejora matanya, alis dan bulu matan
terus begini, jadi langsung kutarik tanga
" Dehaman Abah Ki
ang ternyata tajam menatapku dan Gus Fatih. Aku
di meja. "Dulu sebelum Masmu Fatih ke Mesir sewaktu masih mondok di Paculgowang, semua makanan habis sama dia. Dimakan semua," cerita Ibu
t-ungkit lagi di depan mantu." Suara Gus
ritakan lebih banyak lagi tentangnya pasti seru. Kalau aku mau jujur, aku tida
. Apalagi bercerita tentang pribadinya yang lai
sudah, cepat dimakan!" Ibu ter
s Fatih m
gi dan dengan segera kuangguki. Kulihat ia memakan makanannya d
sti sedang
akananku. Meski semua masakanku yang kumakan hanya cah kangkung sedikit tanpa kuah yang menurutku sedikit asin da
makan. Waktu menunjukkan jam 06.30 WIB. Baru saja seorang santri putra yang kuketahui mengabdi di ndalem mengantarkannya. Aku dan Ibu m
mereka mempertahankan pesantren ini sepeninggal Mbah Kiai Jabbar, ro
tri dan punggawa ndalem yang sebelumnya. Lebih banyak dari mereka yang meragukan kemampuan Abah Kiai, tetapi Ibu sebagai
a sebaik mungkin. Cerita ini tidak boleh hilang ka
ita tentang masa kecil Gus Fatih. Tentu saja aku lebih antusias
. Sesekali ia menatap kurang suka tetapi tetap tak bersuara saat
cil yang katanya panjang. Untung waktu itu ada Mbah Nyai Atikah yang melihatnya. Beliau Ibu dari Abah Kiai. Melihat rambut cucuny
lem pula. Ibu sampai capek menggendongnya kalau dia rewel
Gus Fatih lalu tertawa kecil di balik telapak tang
ertingkah seperti itu. Lain kali aku harus membuka album foto lam
elalu mengompoli tempat tidur Ibu dan
tert
s Fatih menatap tak suka. Aku sedang meliri
enyeruput p
put teh miliknya yang sudah hangat karena
a hari ini. Kamu sakit?" tanya Abah Kiai tiba-tib
menyahutinya. Mata teduh mil
atih. Ia masih me
Padahal aku seperti ini secara
baik-baik saja." Aku se
ai malah saling panda
" Ibu kembali mel
memang tidak sakit apa-apa. Sa
ya, Nduk. Sepertinya bakal ada kabar b
rbatuk bersamaan dengan kedua m
nyentuhku saja Gus Fatih
gin menangis saja sekarang, tetapi berhasil k
*