icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon

Neng Zulfa

Bab 3 Soal Cucu

Jumlah Kata:2177    |    Dirilis Pada: 27/11/2023

Zahra

g? N

mbali kesadaranku. Aku menoleh dan mendapati

ku mengambi

embari mengelapi piring yang akan digunakan keluarga ndalem makan. Kami ada di dapur s

ri menyelinginya dengan ta

rang lain, bahkan kedua orang tua maupun mertuaku. Tentu ini masalah yang sangat rawan. Aku tidak ingin terjadi s

g diserahkan Dewi tadi. Ikan asin ini favoritnya Abah Kiai—panggilanku pada ayah mertuaku sendiri la

ungnya sudah mat

besar untuk wadah tumisan itu. Setelahnya aku

icipi rasanya

menga

megangi mangkuk cah kangkung di tan

rih. “Lumayan,” katanya memb

benar katanya, ‘lumayan’ karena bagiku rasanya biasa saj

wa. Aku meliriknya sehingga ia diam. “Lagi pula ini kan tumis kangkung pertama Neng Zulfa,

Kalau boleh jujur aku tidak pandai memasak. Menyentuh pekerjaan dapur saja sangat jarang karena sedari kecil aku sudah mondok. Masa MI-ku d

membantu Mbok Halimah. Kesempatanku hanya membikin wedang seperti teh, kopi, dan menggoreng-gore

g Dewi mau mengajariku. Aku jadi tidak perlu sungkan pada Ibu yang sedari awal tahu bagaimana kemampuan memasakku. O

ke mangkuk. Jangan tanya! Tentu Dewi dan anak ndalem lainnya yang membuatnya. Aku tidak bisa. Ralat! Bukan tidak, ‘belum’ lebih tepatnya. Aku sudah berniat akan

tihku. Apa benar di

buatan njenengan enak kok.” Dewi mene

ya, yang buat Neng sering me

engkan kepala. Refleks, tetapi memang bu

u Neng Zulfa sampai punya kantung mata

piring. Benar. Ternyata wajahku yang kacau terlihat jelas dengan dua buah kantung mata di bawah kelopak, bahkan lingkaran hitam mengitariny

emangnya begitu?" kataku den

mendekatkan wajahnya padaku. “Karena Gus Fat

tahuinya? Bukannya aku sudah berusaha tampil semrin

ah ketar-ketir sekarang melihat ekspresi wajahnya y

a sebe

nta jatah, ya?” ucap De

e

Aku menghela napas lalu segera memelototi Dewi. Yang kupelototi lalu segera mengucapkan ‘maaf’ de

eperti Mbok Halimah yang mengabdi di keluargaku, Mbok Aminah juga mengabdi lama di ndalem keluarga suamiku. Beliau tersenyum

napas lega. Hampir saja! K

*

pi sambal klotok buatanku. Ya, aku lupa. Sebenarnya aku bisa membuat s

, Bah. Silakan dimakan. Maaf kalau Abah

ya mengambilkan nasi dan lauk untuknya. Kalau Ibu selalu mengambil sendiri. Pernah kutawarka

yang buat, Nduk. Benar?” Ibu menyendok nas

pendapatnya. Entah kenapa seisi ruang makan diam saat kutengok, G

Ibu mangut-mangut

illah ...

ingin tahu bagaimana dengannya. Sayangnya dia hanya diam menatap piringnya. Sontak aku langsung menundukkan ke

makan?” Suara Ibu membua

akan,” kataku tersenyum lal

ng aku sudah tidak mengakui itu. Kenyataannya

‘Lumayan’ malahan, tetapi Ibu mengatakan kalau rasanya enak. Padahal kalau dirasa-rasakan rasanya sedikit asin karena mulai dingin. Makanan berkuah kalau dalam kea

nya. Dimakan sama bendoyo terong penyet sambal klotok tambah mantap lho rasanya.”

kalah baiknya dari Bu Nyai. Mereka mertua yang

berat Gus Fatih me

lu mengunyahnya perlahan. Mulutku sedikit te

Gus Fatih tid

li endoknya saja.” Aku berinisiatif mengambil piringnya.

u bisa melihat dengan jelas wajah tampannya, menelisik kejora matanya, alis dan bulu matan

terus begini, jadi langsung kutarik tanga

” Dehaman Abah Ki

ang ternyata tajam menatapku dan Gus Fatih. Aku

di meja. “Dulu sebelum Masmu Fatih ke Mesir sewaktu masih mondok di Paculgowang, semua makanan habis sama dia. Dimakan semua,” cerita Ibu

t-ungkit lagi di depan mantu.” Suara Gus

ritakan lebih banyak lagi tentangnya pasti seru. Kalau aku mau jujur, aku tida

. Apalagi bercerita tentang pribadinya yang lai

sudah, cepat dimakan!” Ibu ter

s Fatih m

gi dan dengan segera kuangguki. Kulihat ia memakan makanannya d

sti sedang

akananku. Meski semua masakanku yang kumakan hanya cah kangkung sedikit tanpa kuah yang menurutku sedikit asin da

makan. Waktu menunjukkan jam 06.30 WIB. Baru saja seorang santri putra yang kuketahui mengabdi di ndalem mengantarkannya. Aku dan Ibu m

mereka mempertahankan pesantren ini sepeninggal Mbah Kiai Jabbar, ro

tri dan punggawa ndalem yang sebelumnya. Lebih banyak dari mereka yang meragukan kemampuan Abah Kiai, tetapi Ibu sebagai

a sebaik mungkin. Cerita ini tidak boleh hilang ka

ita tentang masa kecil Gus Fatih. Tentu saja aku lebih antusias

. Sesekali ia menatap kurang suka tetapi tetap tak bersuara saat

cil yang katanya panjang. Untung waktu itu ada Mbah Nyai Atikah yang melihatnya. Beliau Ibu dari Abah Kiai. Melihat rambut cucuny

lem pula. Ibu sampai capek menggendongnya kalau dia rewel

Gus Fatih lalu tertawa kecil di balik telapak tang

ertingkah seperti itu. Lain kali aku harus membuka album foto lam

elalu mengompoli tempat tidur Ibu dan

tert

s Fatih menatap tak suka. Aku sedang meliri

enyeruput p

put teh miliknya yang sudah hangat karena

a hari ini. Kamu sakit?” tanya Abah Kiai tiba-tib

menyahutinya. Mata teduh mil

atih. Ia masih me

Padahal aku seperti ini secara

baik-baik saja.” Aku se

ai malah saling panda

” Ibu kembali mel

memang tidak sakit apa-apa. Sa

ya, Nduk. Sepertinya bakal ada kabar b

rbatuk bersamaan dengan kedua m

nyentuhku saja Gus Fatih

gin menangis saja sekarang, tetapi berhasil k

*

Buka APP dan Klaim Bonus Anda

Buka
1 Bab 1 Prolog2 Bab 2 Pengantin Baru3 Bab 3 Soal Cucu4 Bab 4 Cuma Mimpi5 Bab 5 Amin Paling Serius6 Bab 6 Sepucuk Surat Cinta7 Bab 7 Memorabilia Wisuda8 Bab 8 Bulan Madu9 Bab 9 Mutiara Mesir10 Bab 10 Menghindar11 Bab 11 Gus Adhim12 Bab 12 Tangis Zulfa13 Bab 13 Menebas Jarak14 Bab 14 Kasih Sayang Adhim15 Bab 15 Jalan-jalan16 Bab 16 Bertemu Gadis Mesir17 Bab 17 Manuver Gus Fatih18 Bab 18 Perawatan Pengantin19 Bab 19 Merasa Sempurna20 Bab 20 Sisi Lain Gus Fatih21 Bab 21 Kebersamaan Manis22 Bab 22 Notifikasi HP Gus Fatih23 Bab 23 Pesan Rindu24 Bab 24 Bayangan25 Bab 25 Tentang Mas Adhim26 Bab 26 Hal-hal Ajaib Bersama Mas Adhim27 Bab 27 Kabar Mengejutkan28 Bab 28 Andil di Pesantren29 Bab 29 Kedatangan Neng Shofiya30 Bab 30 Gus Fatih vs Gus Aji31 Bab 31 Resah32 Bab 32 Deep Talk33 Bab 33 Diperlakukan Berbeda34 Bab 34 Pelengkap Cinta35 Bab 35 Suka Cita36 Bab 36 Shofiya dan Ketakutannya37 Bab 37 Mimpi Buruk38 Bab 38 Jebakan Shofiya39 Bab 39 Ngidam40 Bab 40 Tamu Istimewa41 Bab 41 Rumah Makan Wonosalam42 Bab 42 Lebih Dekat dengan Fakta43 Bab 43 Aneh44 Bab 44 Yang Seharusnya45 Bab 45 Langkah Besar Shofiya46 Bab 46 Gus Fatih, Gus Adhim, Gus Aji47 Bab 47 Percakapan Dua Saudara48 Bab 48 Peringatan Gus Adhim49 Bab 49 Cinta Pertama dan Anak Pertama50 Bab 50 Menyadari Sesuatu51 Bab 51 Pengakuan Cinta52 Bab 52 Badai Masa Lalu53 Bab 53 Sabrina dan Pernyataannya54 Bab 54 Luka Hati55 Bab 55 Hampir Kehilangan56 Bab 56 Duka57 Bab 57 Amarah Aji58 Bab 58 Buah Cinta59 Bab 59 Keluarga Ndalem Kediri60 Bab 60 Keputusan Zulfa61 Bab 61 Pergi62 Bab 62 Cinta Sabrina63 Bab 63 Hari-hari di Kediri64 Bab 64 Bertemu Kembali65 Bab 65 Konversasi Dua Hati66 Bab 66 Spesial: Wejangan Abah67 Bab 67 Epilog: Cinta Sejati68 Bab 68 Extra Chapter (1)69 Bab 69 Extra Chapter (2)70 Bab 70 Extra Chapter (3)71 Bab 71 Extra Chapter (4)72 Bab 72 Extra Chapter (5)73 Bab 73 Extra Chapter (6)74 Bab 74 Extra Chapter (7)