SEBUAH PENGAKUAN
tak kunjung membaik. Tatapanku tak juga beranjak dari wajahnya yang masih pucat, hingga kemudian kurasakan seseorang menyentuh lembut pundakku. Aku sege
" tanya Hanin, wanita yang tela
an ia menjawabnya deng
pulang dulu, biar ganti
sih, aroma lembut melati langsung menguar dihidungku. Harum t
ntor nanti, mas mampir dulu ke ru
kan, lalu kamu sendi
nanti aku makan di ka
kku yang mengundang hasratku untuk mengecup
rsemu merah setelah aku menciumnya tadi. Hatiku
*
ang merupakan peninggalan dari kakek buyutku yang dulunya adalah seorang juragan sayuran di pasar induk yang juga menjadi tempat ibu mencar
telah membesarkan aku dengan penuh cinta itu. Sesaat aku memilih beberapa pakaian yang akan aku bawa untuk baju ganti baju namun kemudian mataku tertumbuk pada sebuah kotak kayu denga
cil, juga beberapa tumpuk surat juga kartu pos dan surat wesel yang di bendel menjadi beberapa bagian. Penemuan ini sungguh mencengangkan bagiku, bila mengingat sosok ibu yang beg
alu hidup dalam keterbatasan sebelum aku menjadi seperti diriku yang sekarang, padahal
yang aku lakukan juga ungkapan rasa rindu yang menggebu. Semua surat itu berasal dari satu nama pengirim yaitu "Prasetyo", yang kutahu hanya satu nama Prasetyo dalam kehidupan ibu dan orang it
menjeratku dalam kebingungan saat aku membaca alamat pengirim dari semua surat dan wesel ini yang ternyata berada di New York di kawasan elit Manhattan. Ra
mua pada tempatnya semula lalu kututup pintu almari. Kemudian aku bergegas pergi ke rumah sakit, menemui ibu yang masih ta
*
a. Saat ini aku bisa bernafas lega setidaknya aku tak perlu lagi mencemaskan keadaan ibu jika kemudian aku harus meninggalkan beliau untuk menunaikan tugas belajar ke luar negeri. Sebelumnya aku memikirkan banyak
bu nampak berat melepasku, aku berusaha menegarkan hatiku sendiri. Ibu terus menatapku dengan mata sayunya. Entah mengapa aku merasa ibu memendam sebuah kekhawatiran yang mencurigakan, me
ta. Ini adalah perpisahan pertama bagi kami. Dua tahun menikah kami selalu bersama, aku sungguh tak k
u," bisikku lem
Kemudian ia mengulas senyumnya, wajahnya mulai menyaj
ucap istri cantikku itu yang seket
k pundak ibu seraya menyuguhkan senyum.
aik seperti selama ini. Ibu hanya berpesan satu hal jaga diri k
bu," ucapku santun sembari kuraih tang
n badanku dan melangkah memasuki bandara untuk mengejar pesawat
*
nyaris tak bisa kutolerir. Aku bergegas memasuki taxi yang telah menjemputku didepan bandara yang kemudian akan mengantarku ke hotel yang telah kureservasi d
dan membiarkan ibu berjuang sendiri membesarkan aku. Meski mungkin kebencian turut mengi
ketika Central Park West apartement telah tampak dihadapanku. Setelah berada didalam gedung aku segera memasuki lift untuk bisa sampai ke lantai teratas. Semakin dekat langkahku menuju kamar apartemennya jantungku berdegup semakin kencang mengiringi rasa penasaranku yang semakin membuncah. Namun saat tiba didepan pintu apartemennya, untuk sejena
nya wanita berambut
bisa kucegah mencari sebuah kesimpulan bahwa wanita ber
ia. I am Bagas Permana his son, may I se
warna peach itu menyergapku dengan pandangan penuh selidik. Aku semakin dibua
nyaku kembali karena ia
ya tergagap sembari meremas-remas sendiri jari lentikn
atapnya lekat dengan di
tegasnya lebih lugas s
uk mengakui wanita cantik ini adalah ayahku. Pengakuannya telah mampu menjatuhkan aku ke ju
*