Sonia ( Pasangan Jiwa )
i untuk bertemu hari ini. Dan sekarang sudah waktunya aku
Gue sudah di k
elakang l
ampiri mejanya dan menjatuhkan diriku pada kursi kayu di hadapannya. Tampak segela
segede gitu sudah
Lo pesan
i kursiku menuju meja pemesanan yan
mericano, du
gadis bercelemek hijau itu mener
nunggu sambil memperhatikan gerak gerik baristanya. Tak lama, kopiku sudah siap beserta sebuah piring ce
lapar Ni?
leng, "Sat
epotong croissant itu ke dalam mulutnya. Sedangkan aku
a si H
na ap
suka konta
i mengirimiku pesan pertama kali hingga setiap hari kami saling bertukar kabar sampai akhirnya kini hubungan kami tel
cari tahu dulu tentang dia. Mungkin kalau gue tahu
ia lagi.
ng, lo masih
a, gue sudah terlanjur suka sama
da orang baru, pasti lo bisa lupain dia. Ayolah N
annya
jarang kan kont
rang kok
ahu kalau gue sempat jal
lainnya sambil menghabiskan minuman kami. Beberapa menit setelahnya, kami meninggalkan kedai kopi itu. K
beli hand
ni saja
ang?", seraya kedua matanya menjel
hu kalau gue lebih su
alase itu dan dimasukkannya ke dalam keranjang bela
innya. Melangkah santai beriringan sambil mengobrol. Aku sudah m
k yuk
dia melanjutkan kalimatnya lalu merangkulku, meny
kami akan menumpang bus yang berbeda. Setelah sali
oar di depan pintu gerbang mall. Kami sangat jarang bisa bertemu seperti hari
Hanya ingin istirahat di rumah saja. Bahkan terkadang Ibu ha
*
arah aku masih berharap dia kembali padaku. Dua tahun kemarin aku melaluinya dengan banyak air mata. Sulit rasanya bagiku untuk mau membuka hati men
apa betul aku sudah tidak punya kesempatan untuk bisa menjadi kekasihnya. Tapi tidak ada jawaban yang ku dapat darinya. Aku sadar aku bodoh, tidak seharusnya aku kehilangan seluruh h
pantas baginya, tidak pantas mendampinginya, diluar sana dia bisa dengan mudah mendapatkan wanita seperti apapun yang diinginkannya. Diluar sana dia dapat menemui banyak wanita cantik dan berpendid
erlampaui bodoh mencintai lelaki yang belum ku kenal sepenuhnya. Kadang aku sendiri tidak habis pikir, apa yang membuatku ja
ya, untuk lebih banyak mengetahui tentang dirinya. Ya, aku tahu dia tidak tertarik padaku, sejak awal dia hanya ingin bersenang-senang denganku. Mungkin bag
kan takdir, aku s
tetap mencintai Hendra meski c
berdiri menghadap keluar jendela kamarku yang ku buka cukup lebar. Ku pandangi turunnya hujan
usadari air mataku mengalir begitu saja, sudah membanjiri kedua belah pipiku. Sampai aku tidak mendengar Ibu yang melangkah masuk, memb