/0/16821/coverorgin.jpg?v=12a7363d56d48ac65197b270d1e45d7e&imageMogr2/format/webp)
Elara menatap cermin di kamarnya, jarinya menekan ringan bingkai wajahnya, mencoba menenangkan kegelisahan yang menumpuk sejak pagi. Hari ini bukan hari biasa. Bukan hari biasa bagi siapa pun-apalagi baginya. Karena hari ini, hidupnya akan berubah selamanya.
Keluarganya telah memutuskan. Sejak kemarin, kabar itu tersebar di seluruh rumah besar keluarga Marwanto: Elara dijodohkan dengan seorang pria asing. Seseorang yang tak pernah ia temui, yang wajahnya hanya samar di foto yang dikirim melalui pesan keluarga. Namanya-Kiano Ravindra.
"Ini gila," Elara bergumam pada dirinya sendiri, suaranya setengah bergetar. Ia menatap keluar jendela, kota Jakarta yang riuh seakan tak peduli dengan drama kecil dalam kamarnya. "Aku tak kenal dia. Kenapa aku harus menikah dengannya?"
Ibu Elara masuk, langkahnya pelan namun pasti. "Elara, jangan bersikap kekanak-kanakan. Keluarga sudah memutuskan. Kiano pria yang baik, anak dari keluarga terhormat. Ini kesempatanmu untuk... stabil dalam hidup."
Elara menahan napas. "Stabil? Ibu, aku tak butuh stabil kalau harus hidup tanpa cinta. Aku... aku tak ingin." Suaranya meninggi, tapi tetap tertahan oleh rasa hormat yang mengikatnya.
Ibu menghela napas panjang. "Cinta itu bisa tumbuh, Nak. Tapi kesempatan seperti ini tidak datang dua kali."
Elara menunduk, namun hatinya tetap memberontak. Kata-kata ibu terdengar seperti mantra yang gagal menenangkan. Ia tahu, kata-kata itu tidak akan mengubah kenyataan: besok, ia harus menikah dengan orang yang tidak pernah ia pilih sendiri.
Kiano Ravindra duduk di ruangannya di apartemen tinggi keluarga Ravindra, menatap layar ponsel yang menampilkan profil Elara. Ia tidak tahu harus merasa apa-penasaran, cemas, atau marah. Ia bukan pria yang percaya pada cinta instan, apalagi dijodohkan tanpa persetujuannya.
"Ini sungguh... membosankan," bisiknya. Tangannya mengetuk meja kayu dengan irama gelisah. "Harusnya aku punya pilihan sendiri. Kenapa mereka selalu memutuskan tanpa menanyakanku?"
Sekali pun begitu, ada sesuatu dalam wajah Elara yang membuatnya berhenti sejenak: senyum kecil yang menahan amarah, mata yang menatap seakan menantang dunia. Ada ketegasan yang tak biasa pada wanita itu, dan Kiano merasa... sedikit terganggu.
Hari pernikahan datang lebih cepat daripada yang bisa mereka bayangkan. Elara berdiri di aula megah, gaun putih menjuntai dengan elegan, tapi hatinya berdegup cepat. Ia merasa seperti boneka yang digerakkan oleh tangan orang lain.
Di ujung lorong, Kiano berdiri kaku dalam jas hitam, wajahnya datar, namun ada kilatan aneh di matanya-seolah menilai, menimbang, tapi tak bisa memutuskan apa-apa.
Saat mereka bertemu di altar, dunia di sekelilingnya seperti memudar. Elara menatap Kiano, dan dalam tatapan itu ada pertanyaan tak terucap: siapa sebenarnya pria ini? Dan Kiano, menatap Elara, hanya bisa menjawab dengan dingin: siapa sebenarnya wanita ini yang tiba-tiba harus menjadi istrinya?
Pernikahan itu... aneh. Sebuah kontrak kehidupan yang tak diinginkan, diikat dengan sumpah yang terasa berat dan penuh kepura-puraan. Kata-kata sakral diucapkan, namun hati mereka menolak menerima.
Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan ketegangan. Setiap percakapan berubah menjadi debat, setiap sentuhan menjadi peringatan. Mereka saling membenci dengan cara yang hampir elegan-tidak kasar, tapi menusuk di tempat yang paling sensitif.
Elara menulis di jurnalnya setiap malam: Aku membenci pria ini. Tapi mengapa aku merasa... terganggu setiap kali dia tersenyum sinis?
Kiano, di sisi lain, menahan frustrasi yang sama. Elara terlalu keras kepala. Terlalu percaya diri. Tapi anehnya... aku tak bisa berhenti memikirkan wajahnya.
Bulan-bulan berlalu, dan hubungan mereka tetap dingin. Tidak ada cinta, tidak ada kompromi. Mereka hidup bersama karena kewajiban, bukan karena pilihan. Semua orang di sekitar mereka menganggap mereka pasangan sempurna, tapi hanya mereka yang tahu betapa hampa rumah itu tanpa kehangatan.
/0/29788/coverorgin.jpg?v=2db6c1d51b5e2cf2a28c128544250bc1&imageMogr2/format/webp)
/0/16424/coverorgin.jpg?v=8c2663e3156d9460a8aa6c31436e0dff&imageMogr2/format/webp)
/0/27411/coverorgin.jpg?v=5fc7b6e8bd1b022fe188a86f0dc6fc5b&imageMogr2/format/webp)
/0/25398/coverorgin.jpg?v=4bd1df5a711a566c9b22935296a5c8ac&imageMogr2/format/webp)
/0/19245/coverorgin.jpg?v=22b1f68eeefe2fcb98fb459b90630e51&imageMogr2/format/webp)
/0/6239/coverorgin.jpg?v=a550e4fdde05d5a66d8b168ae72b9974&imageMogr2/format/webp)
/0/30691/coverorgin.jpg?v=dcfd293ed4ecd50f1a2adda1ce0fa51f&imageMogr2/format/webp)
/0/2422/coverorgin.jpg?v=c83a8546a26814221803f9f1aad1082a&imageMogr2/format/webp)
/0/13069/coverorgin.jpg?v=92545e4d9b349aafb1f003cbc8e9ea4a&imageMogr2/format/webp)
/0/15874/coverorgin.jpg?v=756ffd5f5c908b820e13ec576c9b120f&imageMogr2/format/webp)
/0/14522/coverorgin.jpg?v=02d11d14dbe1cf8041fa5b4bd4cc1800&imageMogr2/format/webp)
/0/23634/coverorgin.jpg?v=cf400d3c515e9c1f44bf67e3acfcb9d9&imageMogr2/format/webp)
/0/6995/coverorgin.jpg?v=477071284bf8dcad96b8a97850f7598f&imageMogr2/format/webp)
/0/19139/coverorgin.jpg?v=1ed13e1d4e43a9e8bf857b90d37b476e&imageMogr2/format/webp)
/0/5575/coverorgin.jpg?v=fc1b12f1b88558f4d5c99de4fc26d905&imageMogr2/format/webp)
/0/13623/coverorgin.jpg?v=b85cba39a81600da485cd752537e7bd1&imageMogr2/format/webp)
/0/23064/coverorgin.jpg?v=577f3c30b5c194d3127a7068a5bf8a09&imageMogr2/format/webp)
/0/19210/coverorgin.jpg?v=ea7afdd953f090bd13df17bc73fec027&imageMogr2/format/webp)
/0/18084/coverorgin.jpg?v=8825ac4e801b6d3a274b6a66cdc6f36e&imageMogr2/format/webp)