Raihan menatap langit sore yang berwarna tembaga. Matahari belum sepenuhnya tenggelam, tapi cahaya jingganya sudah menyala seperti api di ujung dunia. Angin membawa aroma hujan dari kejauhan, seakan menandakan sesuatu akan berubah malam ini.
Ia duduk di bangku taman tua di belakang kampus. Buku filsafat yang terbuka di pangkuannya telah lama tak dibacanya; pikirannya terbang entah ke mana. Sejak beberapa minggu terakhir, mimpi-mimpi aneh terus menghantuinya - tentang dunia yang retak, tentang dirinya yang bukan dirinya.
Di dalam mimpi itu, ia berdiri di tengah padang salju dengan dua bulan menggantung di langit. Di hadapannya, seorang gadis berambut perak berdiri dengan gaun putih dan mata biru pekat. Suaranya seperti gema dari masa lalu: "Kau pernah berjanji untuk kembali."
Dan setiap kali ia terbangun, jantungnya berdetak begitu cepat, seolah dunia mimpi itu lebih nyata daripada dunia tempat ia hidup sekarang.
Hari itu, kampus mulai sepi. Raihan menutup bukunya, memasukkan ke dalam tas dan berjalan menyusuri jalan setapak menuju asrama. Namun saat melewati jembatan kecil di atas sungai, langkahnya terhenti. Air di bawah jembatan tiba-tiba berkilau, seperti cermin perak yang berdenyut hidup.
"Ini aneh..." Gumamnya, mencondongkan tubuh.
Lalu, sesuatu menariknya. Bukan tangan, bukan angin - tapi seolah ruang itu sendiri menggenggam tubuhnya. Dunia berputar cepat, langit menjadi kabut dan sebelum ia sempat berteriak, semua lenyap.
Ketika matanya terbuka lagi, ia berbaring di rerumputan lembut. Udara di sini dingin, segar dan langitnya... punya dua bulan.
"Tidak mungkin..."
Ia menepuk pipinya, mencubit lengannya. Nyeri. Ini bukan mimpi. Ia berdiri, menatap sekeliling: Hutan lebat, sungai jernih dan di kejauhan terlihat menara batu menjulang tinggi.
Di sisi lain padang, sosok berpakaian putih berjalan perlahan. Rambutnya berwarna perak, berkilau di bawah cahaya dua bulan. Mata birunya menatap langsung ke arahnya.
Raihan membeku.
Dia-persis seperti dalam mimpinya.
Gadis itu berjalan mendekat, suaranya tenang tapi dalam: "Akhirnya... kau kembali, Penjaga Bayangan."
"Apa maksudmu? Aku... siapa kau?" Raihan mundur setengah langkah.
"Nama lamamu adalah Kael. Kau mati di dunia kami lima ratus tahun lalu, tapi jiwamu terlahir kembali di dunia lain. Sekarang, gerbang antar dunia terbuka lagi."
Raihan menelan ludah.
Kael? Mati? Lima ratus tahun lalu? Semua kata itu berputar dalam kepalanya seperti badai.
"Tidak, aku cuma mahasiswa biasa. Aku-"
"Tidak ada yang biasa, jika jiwamu masih membawa cahaya dari dunia lama." Elara mendekat, lalu menyentuh dada Raihan dengan ujung jarinya. Seketika, cahaya biru samar keluar dari tubuhnya, membentuk simbol melingkar - seperti segel kuno.
Raihan terjatuh ke lutut, pandangannya kabur. Ingatan kilat menabrak kepalanya: Peperangan, api, dan dirinya yang berdiri di atas menara batu, menahan pintu dimensi agar tak runtuh. Suara Elara di masa lalu bergetar: "Jika kau pergi, aku akan menunggu, meski seribu tahun..."
Kilatan itu menghilang. Raihan terengah-engah.
"Kenapa aku di sini?" Tanyanya dengan suara gemetar.
Elara memandangnya lama, lalu menjawab lirih: "Karena dunia kami hancur tanpa penjaganya. Dan seseorang di dunia lamamu telah membuka pintu terlarang itu lagi."
Dunia lama. Dunia baru. Dua dunia yang saling menelan.
Raihan menatap langit. Dua bulan itu seperti mata raksasa yang mengawasi, dingin dan tak berperasaan. Ia ingin menyangkal semuanya, tapi jiwanya bergetar, seolah mengenali panggilan itu.
"Jika aku benar-benar... Kael." Ucapnya pelan: "Apa yang harus kulakukan?"
Elara tersenyum samar, tapi matanya menyimpan kesedihan yang dalam: "Kau harus memilih dunia mana yang ingin kau selamatkan. Tapi ingat, menyelamatkan satu berarti menghancurkan yang lain."
Hening.
Hanya suara serangga malam dan desir angin yang mengisi udara.
Raihan menatap tangannya - jari-jarinya gemetar. Ia ingin pulang, tapi kata pulang kini tak lagi berarti apa-apa. Dunia mana yang rumahnya?
"Kalau begitu... tunjukkan padaku dunia yang harus kuselamatkan." Katanya akhirnya.
Elara menunduk, lalu mengulurkan tangan: "Ikut aku, Penjaga Bayangan."
Ketika jari mereka bersentuhan, cahaya biru menyelimuti keduanya. Dalam sekejap, hutan lenyap, tergantikan kota asing di bawah langit yang pecah. Menara bata hitam berdiri di tengah reruntuhan dan bayangan raksasa merangkak dari celah bumi.
---
"Dunia ini... runtuh." Bisik Raihan.
"Ya." Jawab Elara: "Dan waktu kita hampir habis."
Bayangan itu bergerak seperti kabut pekat. Dari dalamnya, terdengar jeritan manusia - atau sesuatu yang menyerupai manusia.
"Kenapa aku?" Raihan menatapnya: "Kenapa harus aku?"
Elara memandang lurus ke arahnya:"Karena hanya kau yang bisa menutup pintu antara dua dunia. Karena hanya jiwamu yang pernah melewati keduanya."
"Dan kalau aku gagal?"
Elara menatap dua bulan di langit yang kini perlahan pecah dan berkata lirih: "Maka kedua dunia akan mati... bersamamu."
---
Langit bergemuruh. Tanah bergetar. Dari balik bayangan muncul sosok lain - berwajah sama seperti Raihan, tapi matanya hitam seluruhnya. Ia tersenyum.
"Aku sudah bosan menunggu, Kael." Katanya dengan suara yang nyaring tapi datar: "Sekarang biar aku yang mengakhiri semuanya."
Elara menarik pedang bercahaya: "Bayanganmu sendiri telah lepas. Ini harga dari perjanjian yang dulu kau buat."
Raihan memandangi kembarannya itu, hatinya berdegup tak karuan. Ia tidak mengerti semuanya, tapi sesuatu di dalam dirinya mulai bangkit - ingatan, kekuatan, ketakutan.
/0/12741/coverorgin.jpg?v=0e14b610eced47453db3c9f9f039dd67&imageMogr2/format/webp)
/0/24416/coverorgin.jpg?v=3f42961cc95c0f05100f937190aa6aeb&imageMogr2/format/webp)
/0/28654/coverorgin.jpg?v=c43b1a97bc533e77745f248482033d9b&imageMogr2/format/webp)
/0/5783/coverorgin.jpg?v=3712bdebc069917f2361658abd585e25&imageMogr2/format/webp)
/0/27674/coverorgin.jpg?v=81ab1c0773e46226f8541a8af4ac8005&imageMogr2/format/webp)
/0/16135/coverorgin.jpg?v=229f6ae4d3bbd17e38626e52433800a7&imageMogr2/format/webp)
/0/16671/coverorgin.jpg?v=371b04a54873846c5d87c4b9ceb95fc4&imageMogr2/format/webp)
/0/16672/coverorgin.jpg?v=d87fa4f845b95b8f9e90e34b460bad5e&imageMogr2/format/webp)