/0/15466/coverorgin.jpg?v=61f388f015d702f5b62256a150c5e2a8&imageMogr2/format/webp)
Mahesa tertunduk menatap secarik kertas tagihan yang ada di tangannya saat ini. Berapa pun lamanya dia menatap, jumlah digit di bagian ‘total’ itu tidak akan berubah menjadi nol, ataupun berstempel lunas. Tidak ada larangan bagi pria menangis, karena saat ini Mahesa sudah kehabisan cara untuk mencari uang. Bahkan sejak bulan lalu, dia sudah cuti kuliah demi menjaga bapak di rumah sakit. Padahal tinggal dua semester lagi dia akan lulus. Gaji paruh waktunya yang semula akan digunakan untuk membayar kuliahnya, terpaksa dialihkan untuk berobat bapak.
Bapak masuk rumah sakit bukan tanpa sebab. Beliau menjadi korban tabrak lari sebulan lalu. Minimnya informasi dan saksi mata di tempat kejadian, membuat penabrak yang tidak bertanggung jawab itu sulit untuk dilacak.
Sudahlah, berapa kalipun Mahesa menyumpahi si penabrak, toh tetap tidak ada yang berubah dengan kondisinya sekarang. Jika sampai besok malam tagihan ini belum lunas, pihak rumah sakit terpaksa menghentikan pengobatan bapak. Darimana Mahesa bisa mendapatkan uang sebanyak 20 juta dalam waktu semalam?
Mahesa merogoh saku celannya, ponselnya berdering.
“Ya, Ga? Beneran?!” seru Mahesa tak percaya. “Ok, gue ke sana sekarang.”
Sebuah telepon dari Raga, kawan lamanya saat SMP yang memilih cuti kuliah, karena kondisi keuangan keluarganya. Mahesa melangkah mendekati ranjang bapak untuk pamit pergi sebentar. Setelah itu, Mahesa dengan motornya meluncur ke tempat kerja Raga.
Setengah jam perjalanan, Mahesa sampai di tempat kerja Raga—kelab malam. Berbekal nama Raga, satpam yang menyeleksi tamu kelab langsung mempersilakan Mahesa masuk. Hingar bingar musik EDM dan lampu membuat Mahesa mengerjap beberapa kali. Ini adalah kali kedua dia pergi ke kelab malam seperti ini. Pengalaman pertamanya tidak mengenakan, sehingga membuat Mahesa lebih memilih menghabiskan waktunya di perpustakaan daripada menerima ajakan kawan-kawannya untuk berpesta tiap malam.
Mahesa mengedarkan pandangannya, lalu menemukan sosok Raga sedang berdiri di balik meja bar melayani pelanggan yang memesan minuman.
“Ga!” sapa Mahesa dengan terpaksa setengah berteriak.
“Oi, udah nyampe lo?”
Mahesa mengangguk, lalu duduk di kursi di depan meja bar.
“Bentar ya, gue kelarin satu pesanan ini dulu.”
Mahesa kembali mengangguk, sembari tatapannya tidak lepas dari Raga yang lincah meramu minuman untuk pelanggan. Setelah menyajikan segelas cocktail, Raga kembali menghampiri Mahesa.
“Gimana kabar bapak?”
“Mendingan. Lusa operasi tulang kaki, biar bisa jalan normal lagi.”
Raga mengangguk. Kini dia mengerti kenapa sahabatnya ini sangat membutuhkan pekerjaan.
“Bos bilang lo bisa mulai malam ini kalau mau. Tapi lo yakin mau kerja ginian? Maksud gue, sayang kan sarjana lo?”
“Gue belum sarjana, Ga. Udah enggak apa-apa. Yang penting gue ada kerjaan.”
Raga mengangguk, tapi juga menatap nelangsa sahabatnya. “Soal gaji di muka itu …”
Mahesa terdiam mendengarkan kalimat Raga, ini adalah kabar yang paling dinantikannya.
“Bos bisa sih kasih lo, tapi cuma setengah.”
Mahesa tersenyum. Tidak apa, setidaknya dia bisa membawa gajinya yang dibayar di muka ke rumah sakit.
“Enggak apa-apa. Setengahnya nanti gue cari ke yang lain. Santai aja.”
Raga tersenyum. “Nih, apron lo. Terserah lo mau beresin meja atau nyuci gelas dulu.”
Mahesa menerima apronnya, lalu mengenakannya sembari berujar, “Gue beresin meja dulu aja.”
Mahesa mulai mengumpulkan gelas, piring kotor, dan membuang puntung rokok dari meja kelab. Lalu membawa piring kotor ke dapur, sedangkan untuk gelas wine ataupun cocktail dicuci di bak cuci bar.
“Baru ya?”
“Main sama kita, yuk!”
“Dih, ganteng tapi kok bisu.”
Mahesa tidak meladeni mereka para wanita yang sengaja menggodanya sejak detik pertama dia datang ke meja ini. Dirinya tetap fokus membersihkan meja, tidak peduli dengan apapun yang dilakukan oleh wanita-wanita dengan pakaian seksi di sekelilingnya.
“Digodain ya?” tanya Raga saat Mahesa sudah selesai mencuci gelas di bak cuci. “Ntar juga lo biasa kok.”
Mahesa tahu resiko seperti ini akan terjadi padanya saat dia memutuskan menerima pekerjaan di kelab malam. Digoda—kalau tidak mau disebut pelecehan verbal—oleh banyak pelanggan bar, terutama wanita. Tidak salah memang jika para wanita itu melihat Mahesa dan akhirnya merasa gemas sendiri. Mahesa tidak jelek, tapi juga tidak tampan, ya manislah—itu yang dulu yang sering diucapkan oleh teman-teman wanita di kampusnya. Tubuhnya yang tinggi dengan massa otot ideal sangat menunjang penampilannya.
“Biasalah, kayak anak-anak di kampus.”
“Mereka itu langganan di sini.”
Mahesa menoleh kembali ke arah kumpulan wanita yang memilih duduk di meja paling pojok dekat dengan ruang VIP.
“Sering ngadain pesta di sini.”
“Orang kaya?”
Raga mengangguk. “Bos pernah bilang kalau mereka itu sekumpulan, hem … apa ya istilahnya. Ah, intinya mereka itu cewek-cewek yang prinsip hidupnya you only live once. Kebanyakan juga masih single, kalaupun ada yang bawa cowok, palingan cuma dijadiin ONS atau enggak gigolo yang disewa mereka buat bachelorette party, atau buat ngejamu klien-klien mereka yang udah tante-tante.”
“Kok enggak nyewa private room aja?”
Raga mengedikkan bahunya tak tahu.
“Lo cocok tuh, jadi gigolo mereka.”
“Ogah!”
***
Arloji Mahesa sudah menunjuk ke angka tiga, suasana kelab sudah sepi. Hanya menyisakan beberapa tamu yang masih asyik mengobrol dan seorang wanita yang sedari satu jam lalu duduk dengan kepala menunduk di meja bar. Mabuk.
“Mbak?” panggil Mahesa yang kegiatan mengelap meja barnya sedikit terganggu. Dia perlu agar wanita itu bergerak dari duduknya, atau lebih baik pulang sekalian.
/0/3598/coverorgin.jpg?v=20250122110024&imageMogr2/format/webp)
/0/16645/coverorgin.jpg?v=ef346df3b63e19bf964828ca82a1a7a0&imageMogr2/format/webp)
/0/23634/coverorgin.jpg?v=20250429182641&imageMogr2/format/webp)
/0/19737/coverorgin.jpg?v=6182bdc09f7b348fb30c10a15d7173ce&imageMogr2/format/webp)
/0/15512/coverorgin.jpg?v=20250123120853&imageMogr2/format/webp)
/0/17778/coverorgin.jpg?v=20240404191640&imageMogr2/format/webp)
/0/12293/coverorgin.jpg?v=b2e6968b52417a533039e5ba601f1b54&imageMogr2/format/webp)
/0/30687/coverorgin.jpg?v=20251208143700&imageMogr2/format/webp)
/0/26442/coverorgin.jpg?v=20250909185456&imageMogr2/format/webp)
/0/17563/coverorgin.jpg?v=20250708175251&imageMogr2/format/webp)
/0/26443/coverorgin.jpg?v=3c05568e6614933eba8efe02ab9064d3&imageMogr2/format/webp)
/0/22533/coverorgin.jpg?v=ac42a10c716b1b3cb93cf42b843fe60b&imageMogr2/format/webp)
/0/6529/coverorgin.jpg?v=cddeb0bc243bcef36794eb78d95cc4dd&imageMogr2/format/webp)
/0/24611/coverorgin.jpg?v=ec8a20c274b82dd9df63cf3f627d9889&imageMogr2/format/webp)
/0/7632/coverorgin.jpg?v=20250122152154&imageMogr2/format/webp)
/0/22609/coverorgin.jpg?v=20250302072348&imageMogr2/format/webp)
/0/30743/coverorgin.jpg?v=206a36a220d7e12db2205562ad6c9db6&imageMogr2/format/webp)
/0/5888/coverorgin.jpg?v=88ed910bbcf55b640b1eb6eb4ed85c97&imageMogr2/format/webp)
/0/16428/coverorgin.jpg?v=20240511203602&imageMogr2/format/webp)
/0/17900/coverorgin.jpg?v=20240617110129&imageMogr2/format/webp)