Pagi itu di sebuah sudut kota Paris yang diselimuti kabut tipis, Ayla menyesap kopinya perlahan. Aroma croissant hangat dan bunga lavender yang samar dari toko di seberang jalan memenuhi udara, seolah berusaha menenangkan gejolak di hatinya. Tiga tahun. Tiga tahun sudah ia membangun kembali hidupnya di sini, jauh dari bayang-bayang masa lalu yang menyakitkan. Sebuah kehidupan yang, anehnya, terasa jauh lebih berlimpah dan bahagia dibanding sebelumnya, bahkan dengan rahasia besar yang ia simpan rapat-rapat.
Putranya, Langit, sedang asyik bermain dengan miniatur Menara Eiffel di karpet ruang tamu. Tawa renyahnya adalah melodi terindah bagi Ayla, sebuah bukti nyata dari kebahagiaan yang ia temukan. Langit adalah dunianya, alasan ia berjuang, alasan ia bernapas. Mata bulat hitamnya, hidung mancung, dan senyum kecilnya adalah tiruan sempurna dari Bara, sang ayah yang tak pernah tahu keberadaannya. Setiap kali menatap Langit, Ayla merasakan campuran antara cinta yang meluap dan luka lama yang kembali menganga.
"Maman, lihat!" seru Langit, mengangkat menara mininya tinggi-tinggi. "Aku membangun yang tertinggi!"
Ayla tersenyum, hatinya menghangat. Ia menghampiri putranya, memeluknya erat. "Kamu memang yang terbaik, Sayangku."
Momen damai itu terusik oleh dering ponsel. Sebuah nomor asing dari Indonesia. Jantung Ayla berdesir tak nyaman. Sudah lama ia memutuskan kontak dengan siapa pun di sana, membiarkan jurang pemisah antara dirinya dan masa lalu semakin dalam. Namun, firasat buruk menggelitik. Dengan ragu, ia mengangkatnya.
"Halo?" suaranya sedikit bergetar.
"Ayla? Ini aku, Arini." Suara itu familiar, suara sahabatnya yang dulu selalu ada untuknya. Arini. Mengapa Arini menghubunginya setelah sekian lama?
"Arini? Ada apa?" tanya Ayla, berusaha menyembunyikan keterkejutannya.
"Ayla, aku... aku punya kabar penting. Ini tentang keluargamu. Lebih tepatnya, tentang Bara."
Napas Ayla tercekat. Nama itu. Nama yang selama ini ia kubur dalam-dalam, tiba-tiba muncul kembali, seolah sebuah kutukan yang tak terhindarkan. Tangannya mencengkeram erat ponsel. Langit yang peka, menatapnya dengan raut khawatir.
"Ada apa dengan Bara?" desaknya, suaranya kini dingin.
Arini terdiam sejenak, seolah mencari kata yang tepat. "Dia... dia dalam masalah besar, Ayla. Perusahaannya terancam bangkrut. Ada kasus penggelapan dana yang menyeret namanya, dan sepertinya dia dijebak."
Darah Ayla berdesir. Dijebak? Sebuah ironi yang pahit. Tiga tahun lalu, justru ia yang menjebak Bara. Malam pertama pernikahan mereka, sebuah jebakan yang rapi ia susun, demi melarikan diri dari perjodohan yang tidak ia inginkan dan pernikahan tanpa cinta. Ia tak pernah menyangka, atau mungkin tak pernah peduli, bagaimana nasib Bara setelah itu. Yang ia tahu, ia berhasil kabur, membawa serta rahasia terbesar dalam hidupnya.
"Lalu, apa hubungannya denganku?" tanya Ayla sinis, berusaha menunjukkan ketidakpedulian. Padahal, jauh di lubuk hatinya, ada rasa penasaran yang tak bisa ia sangkal.
"Ada klausul dalam perjanjian pra-nikah kalian, Ayla," jelas Arini dengan nada mendesak. "Jika terjadi kebangkrutan atau masalah finansial besar pada salah satu pihak dalam waktu lima tahun pernikahan, pihak lain berhak... berhak menuntut bagian dari aset yang masih tersisa, atau bahkan mengambil alih. Dan, ada satu detail penting: itu hanya berlaku jika kalian belum resmi bercerai. Perusahaan keluarga Bara, dan semua asetnya, kini dalam bahaya besar."
Ayla terkesiap. Perjanjian pra-nikah? Ia nyaris melupakan dokumen itu. Dulu, ia hanya menandatanganinya tanpa membaca detailnya. Yang ia inginkan hanyalah membatalkan pernikahan itu sesegera mungkin. Sebuah perjanjian yang seharusnya menjadi tali pengikat, kini menjadi tali yang bisa menjerat kembali.
"Tapi kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi," Ayla membantah, meskipun ia tahu betul bahwa secara hukum, mereka masih suami istri. Ia tak pernah mengurus perceraian. Untuk apa? Ia sudah jauh, bebas.
"Itulah masalahnya, Ayla. Secara hukum, kalian masih menikah. Dan satu-satunya cara untuk menyelamatkan Bara, dan mungkin juga keluarganya, adalah jika kamu... kembali."
/0/26322/coverorgin.jpg?v=a8e089ce1108b3543c9173d2aa2060e6&imageMogr2/format/webp)
/0/29076/coverorgin.jpg?v=96e71822624d7a180c1ff604caad4ad3&imageMogr2/format/webp)
/0/29627/coverorgin.jpg?v=b75bf9e3c3bb7040efeb91ced53e6f9a&imageMogr2/format/webp)
/0/23627/coverorgin.jpg?v=f285cbfe3e929af7d2d05222a9a25935&imageMogr2/format/webp)
/0/29151/coverorgin.jpg?v=b2f0c883bd5a8ba5cbcb78d5f6c05d2e&imageMogr2/format/webp)
/0/27882/coverorgin.jpg?v=fb3af0b7aa134f32aba29157ac30ac5c&imageMogr2/format/webp)
/0/29585/coverorgin.jpg?v=f84382457203f06ee0fb9d1238028b9d&imageMogr2/format/webp)
/0/19430/coverorgin.jpg?v=3bb9ee9327cc3ca3fceda12011ae3123&imageMogr2/format/webp)
/0/8538/coverorgin.jpg?v=e72e59d652311224195d6f1fdce3822a&imageMogr2/format/webp)
/0/4242/coverorgin.jpg?v=5f25fe6daa7952fe3d898b4ffd34f9b8&imageMogr2/format/webp)
/0/4075/coverorgin.jpg?v=2df383e5de97368743d1232b89fdde25&imageMogr2/format/webp)
/0/5358/coverorgin.jpg?v=6d4c9a2ab90be39e6bdaf94bf3cd580e&imageMogr2/format/webp)
/0/24262/coverorgin.jpg?v=d429ea85c8fd7e620072a4fd1bb1787e&imageMogr2/format/webp)
/0/5072/coverorgin.jpg?v=f58873173f1986910223afb6e0f788e4&imageMogr2/format/webp)
/0/24868/coverorgin.jpg?v=71c98f4e27e070276d75863fffb098a7&imageMogr2/format/webp)
/0/14428/coverorgin.jpg?v=e673db163036ee391c656ce0b40786ba&imageMogr2/format/webp)
/0/26855/coverorgin.jpg?v=1b6f21b41e9d584d6d1cd0b206e3972e&imageMogr2/format/webp)
/0/25081/coverorgin.jpg?v=3d5c547eb2a541aeedf7de0c0cc15e76&imageMogr2/format/webp)
/0/29180/coverorgin.jpg?v=37718d569ab1621ce3b76543300ebe2c&imageMogr2/format/webp)