Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Sang Pemuas
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Maya menatap keluar jendela, menikmati sinar matahari yang hangat. Suara riang anak-anak bermain di taman membuatnya tersenyum. Di sisi lain, Rian, suaminya, sedang duduk di meja makan, menikmati secangkir kopi.
"Maya, kau sudah siap untuk pergi? Kita harus berangkat sebelum jalanan macet," Rian berkata sambil mengaduk kopi di cangkirnya.
"Ya, sebentar lagi. Aku hanya ingin menikmati secangkir teh ini," jawab Maya, sambil memandangi secangkir teh hijau yang telah disiapkannya.
Rian mengangguk, senyum manis menghiasi wajahnya. "Kau tahu, kita sudah merencanakan akhir pekan ini sejak lama. Jangan sampai kita terlambat."
Maya tersenyum, tetapi dalam hatinya, ia merasa ada yang hilang. Kehidupan mereka memang stabil-rumah yang nyaman, pekerjaan yang baik, dan cinta yang tampaknya sempurna. Namun, ada sesuatu yang membuatnya merasa tidak puas.
"Rian, kau sudah mengingatkan kita untuk pergi ke acara pameran seni di kota?" Maya bertanya, berusaha mengalihkan pikirannya.
"Sudah, sayang. Aku sudah menyiapkan semuanya," jawab Rian, bangkit dari kursi dan mengambil jaketnya. "Ini akan menjadi akhir pekan yang menyenangkan."
Maya mengangguk, tetapi pikirannya melayang. Ia ingat saat-saat berapi-api saat masih muda, ketika ia merasa hidupnya penuh warna. Kini, ia merasa terjebak dalam rutinitas.
"Rian, bagaimana kalau setelah pameran, kita makan malam di tempat baru?" usulnya, berusaha untuk bersemangat.
"Bagus! Aku suka ide itu," Rian menjawab dengan semangat. "Kita harus merayakan setiap momen, kan?"
"Ya, tentu," Maya menjawab, tetapi senyumnya tidak sepenuhnya tulus. Di dalam hatinya, ia merindukan kebebasan dan kegembiraan yang pernah ada.
Saat mereka bersiap-siap, Maya teringat tentang sahabatnya, Tara, yang selalu menyemangatinya. "Aku harus berbicara dengan Tara nanti," pikirnya. Mungkin sahabatnya bisa memberinya perspektif baru tentang hidupnya yang sekarang.
Di mobil, Rian menyalakan radio dan lagu favorit mereka mengalun lembut. Maya terpaksa tersenyum saat Rian mulai menyanyi sambil menyetir. Suara Rian yang serak menambah kehangatan suasana.
"Jangan menghentikan karierku, Maya! Siapa tahu, aku bisa jadi penyanyi terkenal!" Rian bercanda.
"Impian yang bagus, tapi aku rasa suara mu hanya akan membuat burung-burung terbang menjauh," Maya menjawab, tertawa.
Rian tertawa, menepuk pahanya. "Setidaknya aku bisa membuatmu tersenyum."
Tetapi di balik senyuman itu, Maya merasakan kesedihan yang mendalam. Di satu sisi, ia mencintai Rian, tetapi di sisi lain, ia merindukan bagian dari dirinya yang seolah-olah telah hilang. Saat mereka berkendara menuju pameran seni, hatinya berdebar-debar, menginginkan perubahan, tetapi tidak tahu bagaimana cara mewujudkannya.
"Apakah kau sudah siap untuk melihat seni yang menakjubkan?" Rian bertanya dengan antusias.
"Ya, tentu saja," jawab Maya, berusaha menampilkan semangat. Namun, jauh di dalam hatinya, ada sebuah pertanyaan yang terus mengganggu: Apakah semua ini cukup untuknya?
Ketika mereka sampai di lokasi pameran, Maya tahu bahwa ini hanya awal dari perjalanan yang lebih rumit. Dan saat Arman, mantan kekasihnya, kembali muncul di hidupnya, segalanya akan berubah.
Pameran seni itu berlangsung di sebuah galeri kecil dengan pencahayaan lembut yang menciptakan suasana intim. Rian terlihat antusias, menggandeng tangan Maya saat mereka melangkah masuk.
"Lihat, itu karya seniman lokal yang terkenal!" seru Rian sambil menunjuk sebuah lukisan besar berwarna cerah. "Kita harus berfoto di depannya!"
Maya tersenyum dan mengangguk. Rian selalu tahu cara untuk membuat momen-momen kecil terasa istimewa. Mereka berpose di depan lukisan tersebut, Rian tersenyum lebar sementara Maya berusaha menampilkan senyumnya yang paling menawan. Namun, di dalam hati, ia merasakan kerinduan akan sesuatu yang lebih dalam.
Setelah berkeliling melihat berbagai karya seni, mereka berhenti di sebuah sudut galeri yang lebih tenang. Maya melihat lukisan yang menggambarkan dua orang yang saling merangkul, dengan latar belakang yang gelap namun dipenuhi dengan bintang-bintang.
"Bagaimana menurutmu, Maya?" Rian bertanya, melihat ke arah lukisan itu.
"Lukisan ini... terasa emosional. Seperti menggambarkan cinta yang berjuang melawan kegelapan," jawab Maya, jujur dengan perasaannya.
Rian mengangguk, "Seni memang bisa mengungkapkan banyak hal. Mungkin kita juga bisa menemukan cara untuk mengatasi masalah kita, jika ada."
Maya terdiam, hatinya bergetar. Rian selalu bersikap positif, tetapi ia tidak bisa mengabaikan rasa kosong yang mengendap di hatinya.