Mohon maaf jika cerita ini terlalu jujur dan polos tanpa sensor, karena memang ini adalah KISAH NYATA yang semuanya benar-benar telah kualami. Hanya nama tokoh yang disamarkan.
^*^
Namaku Prasetya Putra Pramudya biasa dipanggil Pras, Indonesia asli, darah campuran ayah Jogja sementara mama Sunda.
Usiaku saat ini 21 tahun, mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta. Kampus kecil, kurang terkenal. Bahkan banyak yang baru dengar namanya waktu aku sebutin.
Kalau soal penampilan, aku orang biasa. Kata tetangga, mirip Arhan Pratama, pemain Timnas Garuda. Ganteng? Mungkin nggak segitunya. Tapi aku nggak keberatan dibandingin, karena fans berat Timnas, terutama Justin Hubner dan Ole Romeny.
Ada satu hal dalam diriku yang beda, ialah punya ketertarikan sama perempuan yang usianya jauh lebih tua dariku. Minimal seumuran dengan mamaku. Apalagi jika wanita tersebut berstatus mama atau ibu dari temanku. Aneh bukan?
Aku juga nggak tahu kenapa bisa begitu. Rasanya muncul begitu aja, tanpa alasan yang jelas. Tapi aku bersyukur, karena perasaanku masih tertuju pada lawan jenis, walau usianya lebih tua. Nggak seperti Anwar, temanku, yang menyukai ayah temannya padahal sudah jelas dia juga seorang lelaki.
Hidupku berubah saat kelas dua SMP. Orang tuaku bercerai. Katanya sudah nggak cocok lagi. Mama kembali ke rumah nenek di Sukabumi, membawa serta adikku, Prilia Putri Pramudya. Aku tinggal sama Ayah, melanjutkan sekolah di Kota Bogor. Prilia yang masih SD kala itu, melanjutkan sekolah di Sukabumi. Sebulan sekali ketemu Mama dan adikku.
Di rumah, aku lebih sering sendirian. Ayah kerja sebagai sopir bus antar kota. Sering pergi berhari-hari. Jadinya aku udah terbiasa ngurusin diri sendiri.
Lima bulan setelah cerai, Mama hamil lagi. Calon suaminya seorang driver ojek online, usianya baru dua puluh satu. Mereka nikah, dan sejak itu, rasa hormatku ke Mama agak pudar. Gosip tentang perselingkuhannya dulu, jadi terasa masuk akal. Mungkin itu sebabnya Ayah menceraikan dia.
Ayahku, Pramudya, asli Jogja. Sebenarnya dia sarjana pendidikan. Tapi entah kenapa lebih milih kerja sebagai sopir bus. Meski jarang di rumah, dia tetap tanggung jawab. Untuk makan, kalau lagi malas masak, aku tinggal ke warung langganan. Nggak perlu bayar, karena Ayah yang urus semuanya di akhir pekan.
Setahun setelah cerai, Ayah nikah lagi. Aku manggil istri barunya Mama Nina, wanita cantik keibuan berasal dari Karawang. Nggak butuh waktu lama buatku nerima dia. Orangnya baik, perhatian, dan hangat. Aku sempat ngerasa kayak punya keluarga utuh lagi. Seperti punya dua ibu kandung.
Tapi itu nggak lama. Mama Nina nggak kuat hidup sama pria yang jarang di rumah. Akhirnya dia pergi juga. Aku kecewa, tapi bisa ngerti. Sepi itu nggak gampang dijalanin.
Saat menikah dengan Ayah, status Mama Nina, sebagai janda kaya raya, mantan istri pejabat di sana. Mungkin karena ayahku ganteng banget, sehingga Mama Nina mau menjadi istrinya, padahal status sosial kami bagai bumi dan langit.
Sekarang, aku kembali hidup sendiri di rumah. Ayah tetap urus semua kebutuhanku, walau kami hidup sederhana. Aku sekolah naik motor matic, nggak pernah neko-neko.
Dari luar mungkin aku kelihatan seperti remaja biasa. Tapi dalam hati dan pikiranku, banyak hal yang nggak semua orang tahu. Dan sebagian dari itu... mungkin terlalu rumit buat dijelaskan.
^*^
Awal sebuah perubahan dan kejutan.
Pagi itu aku telat bangun. Sempat kepikiran bolos, tapi udah janji ketemu teman sekelas, jadi aku paksa juga berangkat. Walaupun aku tahu, udah pasti bakal kena omel guru piket. Apalagi aku baru beberapa bulan menjadi siswa SMA swasta yang juga tidak terkenal tapi sangat ketat dalam penerapan disiplin sekolah.
"Pras!"
Baru aja motorku melaju, ada yang manggil dari belakang. Aku rem, noleh, dan agak bingung. Ternyata Rifky. Anak bungsu Pak Haji Anhar, tetangga sebelahku. Orang-orang manggil dia "Rifky Ustad" karena memang dikenal santun, alim, sederhana dan sangat religius. Menjadi panutan semua anak muda di kompleks.
Dia buru-buru nyamperin aku.
"Sorry, Pras. Kesiangan ya? Lagi buru-buru?" katanya sambil ulur tangan.
"Yoi. Ustad juga telat ke kampus?" Aku jawab sambil senyum.
"Banget. Eh, boleh nebeng sampai perempatan? Motor saya mogok," ucap Rifky mahasiswa tingkat tiga salah satu universitas ternama.
Aku angguk dan kasih dia boncengan. Motor langsung aku gas lagi. Entah kenapa, malah makin kenceng. Rifky nggak pake helm, tapi aku pikir aman aja karena kami nggak lewat jalan besar.
Walau rumah kami bersebelahan, namun ini pertama kalinya aku boncengin Rifky. Dulu dia kakak kelasku waktu SD dan SMP, tapi sejak SMA dan kuliah, kami jarang ngobrol. Dia anaknya sopan banget. Gak pernah ngomong 'gue-lu'. Gayanya juga rapi-celana bahan, kemeja, nggak pernah pakai jeans sobek-sobek kayak anak kompleks lainnya.
"Stop di sini aja, Pras," katanya sambil nepuk pundakku.
"Nggak lanjut ke kampus, Tad?" tanyaku.
'Tad' adalah sapaan akrab kami dari kata 'Ustad' Bukan Rifky yang meminta, tapi memang kami semua terbiasa menyapanya demikian. Kaya sudah jadi nama panggilan aja.
"Masih, tapi dari sini kita kan udah beda arah. Saya naik angkot aja, Pras."
"Sekalian aja saya anterin. Saya juga udah telat parah. Ke sekolah juga paling disuruh muter lapangan, Tad."
"Serius mau nganterin sampai kampus?"
"Kalau perlu, saya anter sampe kelas," candaku.
"Hehehe, ya udah deh, ayo lanjut."
Kami jadi lebih santai ngobrolnya. Jalanan makin padat, motor aku pelanin. Ternyata Rifky enak juga diajak ngobrol. Biasanya kami cuma sapa-sapaan kalau papasan. Lingkungan kami tahu keluarga dia religius. Sementara aku, ya... tipikal anak remaja biasa. Slengekan.
"Ngopi dulu yuk di kantin. Saya masih lama juga masuknya," ajaknya.
Aku nggak jawab, langsung arahkan motor ke kantin dekat ATM Centre. Aku emang hafal area kampus ini. Dari kecil suka main ke sini, suasananya adem, sejuk, dan tenang. Aku masuk ke lingkungan kampus tanpa mencolok. Seragam SMA-ku ketutup jaket.
Kami duduk, pesan kopi dan gorengan. Tiba-tiba Rifky ngomong serius.
/0/24661/coverorgin.jpg?v=629f8f88baba399a125ab8ef389ce989&imageMogr2/format/webp)
/0/7039/coverorgin.jpg?v=11b52d2710f09d733e8cc6a62e4a9af2&imageMogr2/format/webp)
/0/2454/coverorgin.jpg?v=693f1f249946477a393a40fd87fcbd4e&imageMogr2/format/webp)
/0/17384/coverorgin.jpg?v=824555dd66945fa97551dd6fb5bd7e30&imageMogr2/format/webp)
/0/3502/coverorgin.jpg?v=329e28e2f3fbcd0a44963e4f911b409c&imageMogr2/format/webp)
/0/29114/coverorgin.jpg?v=8ef50e2564eedbd7adab40a8459a0b58&imageMogr2/format/webp)
/0/24416/coverorgin.jpg?v=3f42961cc95c0f05100f937190aa6aeb&imageMogr2/format/webp)
/0/12906/coverorgin.jpg?v=1b33352383fc7da5c274fa9d922a261b&imageMogr2/format/webp)
/0/4862/coverorgin.jpg?v=df56744ad021a59f2b8fd13413dbca67&imageMogr2/format/webp)
/0/12287/coverorgin.jpg?v=dc9ec73b075f7f84b492682478ed1f3a&imageMogr2/format/webp)