Tidak ada yang salah dengan sebuah pernikahan. Sama sekali tidak. Jika ditengahnya kelak kau temukan air mata, sungguh itulah pernikahan. Pun jika nanti kau hanya jumpai senyum dan tawa, juga sungguh, itulah pernikahan. Bahkan jika kau temukan keduanya silih berganti, maka sungguh itulah pernikahan. Kau percayakan? Begitu pun aku. Ketika jari manismu telah diisi cincin oleh pemilik yang sah, maka ketika itu sempurnalah hidupmu berubah. Ketika namamu tertuang dalam buku kecil bersanding erat dengan namanya, maka ketika itu jelaslah dirimu telah terikat dengannya. Dan ketika ayah-ibumu bukan lagi orang pertama yang kau jumpai saat bangun tidur, maka ketika itu berputarlah arah abdimu padanya. Hubungan ini tidak semudah yang dibicarakan. Ikatannya bukan hanya pada dia yang kelak akan hidup bersamamu saja, tapi juga pada keluarganya. Tidak sebatas tali diantara manusia saja, tapi juga ketersambungan tanggung jawab terhadap Tuhan. Inilah aku. Dan juga dia yang telah dipilihkan-Nya untukku.
Pagi ini hujan begitu deras menyelimuti kota, orang-orang yang sibuk hendak menjemput rutinitas pagi mereka sedikit berdecak kesal dengan keadaan yang ada.
Anak-anak berseragam merah putih yang tak diantar orang tua mereka pergi ke sekolah, berlarian membelah hujan dengan bekal payung kecil dalam genggaman. Sepatu mereka basah, tas pun ikut basah.
Satu-dua pengendara sepeda motor mengalah pada cuaca, mencari bibir-bibir atap toko-toko tepi jalan untuk berteduh, merapatkan kendaraan, dan berdiri menunggu hujan sedikit mereda. Semua terlihat jelas dari sini, dari tempat Naya berdiri. Di lantai dua toko bunganya.
Seperti toko lainnya, toko bunga Tiara juga sederhana, hanya berukuran enam kali empat meter, sesak dipenuhi bunga-bunga dan pot dengan berbagai ukuran. Toko ini berada dileret ketiga dari kiri jika lewat simpang besar arah taman kota, dan tepat di seberangnya ada warung kopi yang telah ada jauh sebelum toko bunga milik Tiara ada.
Sepuluh menit berdiri tak juga terlihat tanda-tanda bahwa hujan akan berhenti. Pagi yang kelabu, bisa dibilang seperti itu. Awan gelap yang berat karena mengandung air di atas langit sana seolah enggan untuk beranjak, biarlah, tak ada yang perlu diumpat.
Satu pengajaran penting yang didapat dari ibunya, bahwa hujan yang turun membasahi bumi membawa rahmat Tuhan disetiap tetesnya. Dan do'a dikala itu adalah do'a yang angin pun akan ikut serta untuk menyampaikannya pada Sang Penguasa Langit. Asalkan syaratnya terpenuhi, yakni sabar dan ikhlas menerima apa yang kelak akan terjadi.Satu pengajaran penting yang didapat dari ibunya, bahwa hujan yang turun membasahi bumi membawa rahmat Tuhan disetiap tetesnya. Dan do'a dikala itu adalah do'a yang angin pun akan ikut serta untuk menyampaikannya pada Sang Penguasa Langit. Asalkan syaratnya terpenuhi, yakni sabar dan ikhlas menerima apa yang kelak akan terjadi.
Tiara melipat kedua tangannya kebagian dada. Gaya ini sangat berfungsi untuk membuat tubuh sedikit terasa hangat disaat hujan sedang turun. Matanya tetap tajam menatap keluar jendela. Meski tidak seramai tadi, tetap saja masih ada orang yang berseliwiran di jalan-jalan.
Lihatlah, diseberang dekat warung kopi sana ada seorang ibu-ibu gendut yang memegang kantong plastik bewarna biru dengan tangan kirinya dan menggenggam payung plastik transparan ditangan kanannya. Kantong plastik biru itu sepertinya berisi bahan makanan, sepintas ada sayuran yang teramati oleh mata Tiara berada di dalam kantong plastik itu. Si ibu masuk ke dalam warung kopi, entah apa yang dilakukannya di dalam sana, si ibu tak terlihat keluar lagi dari dalam warung
Tiara melepaskan kedua tangannya yang terlipat kedada untuk melihat jam yang melingkar ditangan kirinya. Sudah pukul delapan sekarang. Tidak ada lagi anak sekolahan memburu pagi dengan mengayun langkah-langkah besar mereka berharap bisa cepat sampai ke sekolah. Sebagiannya mungkin sudah sampai dan sebagian lainnya mungkin tak sekolah karena hujan atau karena tidak ada yang bisa mengantarkan mereka ke sekolah.
Cuaca masih kelabu, tak ada lampu jalan yang dimatikan, hal ini sengaja dilakukan untuk mengurangi risiko kecelakaan. Meski lampu jalan tak banyak membantu penerangan dalam berlalu-lintas, sebab kabut dan hujan yang lebat memecah pancaran cahaya lampu, tapi kebanyakan pengguna jalan merasa aman apabila mereka melihat lampu jalan tetap menyala. Itu sebabnya belasan lampu jalan yang berdiri kokoh di seberang toko Tiara juga tidak dimatikan.Cuaca masih kelabu, tak ada lampu jalan yang dimatikan, hal ini sengaja dilakukan untuk mengurangi risiko kecelakaan. Meski lampu jalan tak banyak membantu penerangan dalam berlalu-lintas, sebab kabut dan hujan yang lebat memecah pancaran cahaya lampu, tapi kebanyakan pengguna jalan merasa aman apabila mereka melihat lampu jalan tetap menyala. Itu sebabnya belasan lampu jalan yang berdiri kokoh di seberang toko Tiara juga tidak dimatikan.
Sedikit menukar posisi berdirinya, Tiara terlihat menarik napas panjang. Lalu menghembuskannya perlahan. Gadis yang pagi ini telah rapi dengan kemeja katun bermotif bunga-bunga kecil yang dipadukan dengan rok bahan bewarna hitam nampaknya sedikit tak tenang. Sudah jam delapan lewat dua puluh menit sekarang, namun dua orang karyawannya belum juga datang. Alasannya pasti karena hari hujan, Tiara mencoba menerka-nerka situasi.
Setengah bagian hati Tiara memaksa untuk memaklumi keadaan, tapi setengahnya lagi rasa ingin memaki mereka berdua. Setelah empat tahun bekerja dengannya, bagaimana mungkin mereka lupa dengan prinsip kerja yang telah jelas Tiara paparkan? Tidak boleh terlambat, penampilan harus rapi dan menarik, ramah kepada pengunjung, dan beri tahu kalau tak bisa datang untuk bekerja. That's so simple, right?
Tiara tak merasa jengkel dengan hujan yang kini sedang bergembira turun membasahi kota tercintanya, dia juga tidak marah jika dua karyawannya tidak masuk kerja asalkan mereka memberi tahu apa alasannya. Itu saja. Tak lebih, maka dengan begitu dia juga bisa lega menunggui toko ini sendirian.
Tapi ini tidak, dari tadi dia berdiri di depan kaca besar lantai dua toko bunganya, tak seorang pun menghubungi Tiara untuk memberi penjelasan. Terbesit niat dalam hatinya untuk menanyakan keberadaan Siska dan Dava saat ini, namun tidak mungkinlah dia nekad melakukan itu. Sekali saja dia melakukannya, bisa-bisa untuk selanjutnya karyawannya minta terus diperlakukan seperti itu. Tidak pikirnya, maka itu tidak akan pernah terjadi. Begitulah Tiara.
Turun dari lantai dua toko bunganya, Tiara melangkah menuju ruangan depan dekat pintu keluar. Di sana ada tiga meja persegi yang khas terbuat dari potongan botol bekas air mineral, dan enam kursi tunggu yang menghadap ke dalam toko, untuk pelanggan yang sedang antri atau sekedar menemani teman mereka memilih bunga, jika penat, mereka bisa menikmati pemandangan toko bunga Tiara sambil duduk santai. Dan itulah yang dilakukan Naya saat ini. Dia duduk disalah satu kursi tunggu dan memandang bunga-bunganya.
Di sudut sebelah kanan ruangan kecil itu berdiri sebuah lemari tanpa penutup dengan tinggi dua meter dan lebar satu meter. Di dalam lemari tersebut terlihat indah pancaran cahaya dari bunga mawar, lili, carnation, gerbera dan daffodil yang ditimpa kemilau kuning sinar lampu. Sengaja Tiara memberi lampu dalam lemari tersebut, untuk membuat pelanggan ngiler dengan tatakan bunga yang ada dalam lemari.
Dara kelahiran 26 tahun silam itu memang telah tertarik dengan bunga sejak usia lima tahun, saat ibunya masih muda dan sehat, si ibu memang rajin menanam banyak tanaman hias di depan rumah. Lagian ayahnya juga tak keberatan dan merasa senang saat rumah kecil mereka dihiasi semerbak wangi bunga. Kenanga adalah salah satu kegemaran sang bunda. Tapi itu tak menular padanya, karena Tiara pecinta mawar sejati. Apalagi yang bewarna merah pekat.
Tiara mendengus sebal, sudah hampir jam sembilan sekarang, dan pasti kedua karyawannya memang sepakat untuk tak masuk kerja dihari yang sama. Tak sabar rasanya menanti hari esok, untuk menggelar persidangan langsung, menanyai dua karyawannya secara menditel, meminta pertanggung jawaban.
Tiara Melina, itu nama pemberian sang ayah yang sangat gembira saat kelahiran dara bermata jeli itu di rumah sakit 26 tahun lalu. Sayangnya, si pemberi nama tak lagi bisa membersamai langkah Tiara hingga ia berulang tahun yang ke-20. Menghadap Illahi karena sebuah kecelakaan kerja.
Toko bunga ini menjadi satu-satunya sumber penopang ekonomi kehidupan Tiara dan sang bunda. Ya, hanya mereka berdua. Sejak Tiara terlahir, ibunya tak lagi bisa memiliki anak. Dokter mengatakan keadaan ibu yang menderita hemofilia akan berisiko untuk melahirkan kembali. Melihat kondisi sang bunda yang juga tak tangguh. Tiara menjadi putri kesayangan satu-satunya bagi kedua orang tua. Di rawat dan dijaga sepenuh jiwa.
Maka tak salah jika saat ini, setelah kepergian sang ayah dan semenjak membuka toko bunganya sendiri, Tiara berubah menjadi orang yang sedikit keras pada hidupnya. Juga pada orang sekitarnya. Siska dan Dava tahu persis akan hal itu.
Dara yang menggulung rambut hitam sebahunya dengan ikat karet bewarna senada terlihat begitu sendu pagi ini. Kesalnya pada dua karyawan yang sudah ia anggap seperti adik sendiri nampaknya belum juga mereda.
Di luar sana, hujan sudah berhenti. Wangi jalanan aspal yang basah menyapa hidung pejalan kaki yang satu-satu sudah mulai bermunculan.
Tiara masih duduk di kursi tunggu tokonya, memutar duduknya dan menatap kosong ke arah jalan raya. Tak tahu harus mengapa, malas untuk membuka telepon pintarnya, dan sedang tak minat menata bunga.
Saat ini, disebelah Tiara, tepat di atas meja di dekat ia duduk, ada satu tumpukan hydrangea putih yang masih berantakan, belum disusun menjadi buket. Tapi Tiara, yang suasana hatinya sudah rusak sedari tadi tak minat untuk menyentuh bunga itu. Membiarkannya begitu saja.
Lama dalam lamunan kesalnya, suara lonceng di depan tokonya berbunyi gemerincing. Seorang pria memasuki toko, Tiara dapat melihat jelas siapa yang masuk dari tempat ia duduk saat ini, dan yang pasti itu bukan Dava.
Sosok itu masuk sambil membaca salam, suaranya terdengar sangat berat dan menenangkan, membuat Tiara sedikit terhenyak. Jarang-jarang ada pelanggan yang datang seperti itu. Atau mungkin..... pria itu yang pertama kali melakukannya.
"Assalamu'alaikum..." Si pria yang memasuki toko bersuara sopan.
"Wa'alaikumsalam." Tiara menjawab patah-patah dan bergegas berdiri menghampiri pelanggannya.
Sebelum melangkah mendekat ke arah Tiara, pria itu terlihat melipat payungnya dan menyandarkannya di tempat tatakan payung yang ada didekat pintu masuk.
"Selamat datang di Queen Florist, Tuan." Tiara menatap ramah calon pembelinya, "Ada yang bisa dibantu?"
Si pria yang berdiri dihadapan Tiara tak langsung menatap wajah dara bermata jeli itu, ia sedikit memalingkan wajahnya ke arah kiri, seolah-olah melihat-lihat bunga yang sedang dipajang, lalu berkata sopan "Aku mencari mawar dengan kualitas terbaik."
"Anda tidak salah mendatangi tempat ini Tuan, kami menyediakan bunga dengan kualitas terbaik." Tiara menyambut ramah, dia mendapat pembeli pertamanya dipagi hari, bagaimana mungkin dia tidak bersemangat?
"Anda ingin jenis yang mana, Tuan?" Tiara bertanya sopan.
Sang pria masih tak menatap dara itu, ia hanya mengeluarkan suara beratnya sambil balik bertanya, "Apa yang terbaik disini?"
"Kami memiliki banyak jenis mawar. Tuan boleh melihat-lihatnya dulu, atau izinkan saya menjelaskannya sedikit jika Tuan berkenan." Tiara masih berbicara dengan senang hati.
"Silahkan." Si pria merespon cepat.
"Silahkan apa Tuan? Melihat-lihat bunga atau..." Tiara menggantung kalimatnya.
"Jelaskan jenisnya." Si pria menjawab singkat.
"Oh baiklah..." Tiara merasa sangat gembira, seolah pagi ini ia tak merasakan kesal sama sekali. Menjelaskan tentang mawar? Ayolaaaah, itu kesukaannya. "Kami saat ini menyediakan jenis Mawar Putri, Mawar Thalita, dan Mawar Mega Putih. Ketiganya terlihat berbeda baik dari warna maupun ukuran. Jika saya boleh tahu, Tuan mencari bunga mawar untuk keperluan apa?"
"Mengunjungi seseorang." Si pria menjawab singkat.
"Kalau boleh tahu lagi, apa hubungannya dengan Tuan? Apakah orang yang sangat penting?" Tiara bertanya kembali.
Namun kali ini si pria tak menjawab, ia melihat Tiara dengan alis bertaut, membatin dalam hatinya, apa harus sedetil itu ikut campur?
Melihat tatapan itu, Tiara tersadar, ia merasa sedang merecoki kehidupan pribadi seseorang, cepat ia meminta maaf dan menjelaskan, "Maaf Tuan, saya tidak bermaksud untuk mengetahui tentang urusan pribadi anda. Hanya saja, jika anda memilih mawar, harus dipilih yang tepat. Beda momen dan tujuan, beda pula mawarnya."
"Oh." Si pria itu ber-oh singkat, "Aku mau memberikannya pada seorang perempuan."
Mendengar itu, Tiara sedikit bersemu. Pria yang di depannya, yang terlihat sangat tampan, irit bicara, dan tenang ini ternyata orang yang romantis, sambil tersenyum, Naya kembali bersuara, "Kalau begitu saya sarankan anda untuk memberi kan wanita itu Mawar Putri, Tuan. Bunga itu bewarna merah pekat, benar-benar cocok melambangkan cinta dan kasih sayang."
Mendengar pernyataan Tiara, si pria calon pembeli itu sedikit mematung. Ia tak menyangka, bahkan warna pun memiliki arti pada bunga. Ia pikir sembarang saja bisa.
"Kalau begitu ambilkan yang itu." Si pria kembali bersuara.
"Langsung saya buatkan buketnya Tuan?" Tiara kembali
Tiara bekerja sangat cekatan, mengambil dua puluh tangkai Mawar Putri dan merangkainya menjadi buket. Ia mondar-mandir mengambil gunting potong, kawat ikat, dan beberapa helai tisu.Menghiasi buket dengan ikatan pita dan membungkusnya dengan kertas bermotif hati, lalu mengatur beberapa arah bunga agar menjadi buket yang sempurna indah. Tiara bekerja sangat cekatan, mengambil dua puluh tangkai Mawar Putri dan merangkainya menjadi buket. Ia mondar-mandir mengambil gunting potong, kawat ikat, dan beberapa helai tisu. Menghiasi buket dengan ikatan pita dan membungkusnya dengan kertas bermotif hati, lalu mengatur beberapa arah bunga agar menjadi buket yang sempurna indah.
Sang pria yang membeli bunga itu menonton aktivitas Tiara sambil berdiri. Ia menyampirkan satu tangannya ke perut, dan satunya lagi memegang dagunya.
Tiara bekerja sambil bersenandung. Hatinya gembira dengan kehadiran pelangga pertamanya pagi ini.
Beberapa lama menanti, buket mawar bewarna merah itu selesai, Tiara menyerahkannya pada si pembeli, "Ini pilihan yang tepat Tuan, karena mawar ini lebih wangi dari mawar lainnya. Juga sering dijadikan buket bunga untuk hadiah romantis."
Si pria pembeli itu menerimanya dengan tangan kanan, lalu berterima kasih.
"Anda akan bayar langsung atau menggunakan kartu, Tuan?" Tiara meminta haknya dengan ramah.
Si pria tak menjawab, ia langsung mengeluarkan dompetnya dan bertanya datar, "berapa?"
"Seratus dua puluh ribu," Tiara membalas cepat.
Sang pria mengacak isi dompetnya, mencari sejumlah uang sebanyak yang Tiara sebutkan.
Tiara mengulurkan tangan menyambut rezkinya pagi ini sambil tersenyum. Merasa bahagia.
Tapi si pria tak menggubris, dengan ringannya malah meletakkan uang yang diambilnya di meja, tanpa melalui tangan Tiara.
Tapi si pria tak menggubris, dengan ringannya malah meletakkan uang yang diambilnya di meja, tanpa melalui tangan Tiara.
Tiara hanya bisa melipat senyumnya, merasa canggung.
Usai transaksi terpenuhi, sang pria meninggalkan toko bunga itu, berterima kasih sekali lagi, dan mengucapkan salam sebelum pergi.
Mendengar untaian salam itu, Tiara otomatis menjawab balik, hatinya terasa sejuk entah mengapa. Sudah lama ia tak bertemu dengan orang-orang seperti pria itu.
Selepas pembelinya pergi, Tiara kembali ke meja tempat menata bunganya, membereskan alat-alat yang telah digunakannya tadi.
Namun, belum sampai semua alat tertata ditempatnya semula, telepon pintar Tiara berdering. Seseorang memanggil.
Bergegas, Tiara mengambil telepon pintarnya dan membaca nama di layar telepon pintar itu. Ternyata itu panggilan dari sang bunda.
"Ada apa pagi sudah menelopon, bu?" Tiara menjawab sambil terus menyusun pisau, gunting dan alat-alatnya.
Dari seberang telepon sana, sang bunda berkata singkat "Tutup toko mu dulu, pulanglah segera."
"Ada apa memangnya bu? Apa ibu sakit mendadak lagi?" Tiara agak sedikit panik.
"Pulang sajalah dulu." Sang bunda menjawab.
Namun belum sempat Tiara bertanya ulang untuk memastikan semua baik-baik saja, sang bunda telah menutup sambungan teleponnya. Meninggalkan Tiara yang kini bergelimang kecemasan.
Apa yang terjadi pada ibu? Kenapa ibu menyuruhnya pulang mendadak? Kenapa hari ini perasaannya berubah cepat? Kesal, bahagia, cemas terjadi berdekatan?
Tiara, sambil bersiap-siap menutup toko bunganya, tak bisa untuk tidak merasa cemas. Satu-satunya di kota ini keluarga yang dia punya hanya ibunya. Mana mungkin dia akan baik-baik saja setelah telepon dari ibunya bernada seperti itu.
Cepat, Tiara bersiap-siap pulang, mengambil tasnya dan menuju pintu
Namun, belum seutuhnya meninggalkan toko, langkah Tiara terhenti tepat di tatakan payung di dekat pintu. Pembelinya tadi meninggalkan payung warna-warninya. Tersandar dengan tetesan air yang mulai mengering.
Tiara mematung sejenak, berpikir hendak melakukan apa terhadap payung itu.
Dipegangnya payung itu, lalu diletakkannya lagi, dipegangnya lagi, lalu diletakkannya lagi. Tiara bingung. Saat ia teringat bahwa si pria pembeli itu meminta buket mawar untuk seorang wanita, maka Tiara langsung meletakkan payung itu seketika. Sepertinya, membawa payung itu bersamanya pulang bukanlah haknya, siapa tahu pria itu kapan-kapan kembali lagi untuk menanyai payungnya.
Bab 1 Payung rindu
08/12/2022
Bab 2 Berita buruk bagi Tiara
08/12/2022
Bab 3 Nasihat Zaky 1
08/12/2022
Bab 4 Nasihat Zaky 2
08/12/2022
Bab 5 Emosi Tiara 1
08/12/2022
Bab 6 Emosi Tiara 2
08/12/2022
Bab 7 Adab buruk
08/12/2022
Bab 8 Love u ummi
08/12/2022
Bab 9 My sister
08/12/2022
Bab 10 Bismillah
08/12/2022
Buku lain oleh thisfloella
Selebihnya