Aline tidak pernah menyangka akan mencintai pria seperti Max, yang kasar, arogan, dan juga keras kepala. Namun, seiring berjalannya waktu, rasa benci yang awalnya menguasai Aline, berubah menjadi cinta karena perlakuan Max yang tiba-tiba saja berubah. Saat cinta mulai menguasai hati, barulah Aline tahu bahwa cinta yang ia rasakan adalah salah. Aline pun merasa bingung menanggapi semua kenyataan yang mengguncang kehidupan cintanya. Lalu, akankah Aline bertahan dengan perasaan cintanya kepada Max? Atau, dia justru melepas Max dan memilih cinta yang lain?
Aku tidak pernah menyangka jika ibu akhirnya akan menikah lagi dengan seorang pria kaya raya dari negara Singapura. Sebagai seorang putri tunggal, aku hanya bisa mendukung tanpa mau banyak ikut campur dalam urusan asmara ibuku. Biarlah, kebahagiaannya terus dicari, dengan begitu aku pun bisa menghabiskan waktu remaja ku di rumah tanpa perlu disuruh-suruh untuk melakukan hal yang tidak aku senangi.
"Apa ibu serius akan tinggal di Singapura? Lalu aku tinggal di sini bersama siapa?" tanyaku pada ibu. Ku tunjukkan wajah kesalku padanya, tanda sebagai protes bahwa aku tidak setuju dengan keinginannya.
Perlahan ibu berjalan mendekatiku, ia mengusap pelan puncak kepala sembari tersenyum ramah. Aku sudah tahu jika itu semua adalah trik yang selalu ia gunakan agar aku mau menuruti semua keinginannya.
"Sayang, ayolah mengerti. Aku menikah juga karena demi kebahagiaan dirimu, ayah tirimu adalah orang kaya, kau sama sekali tidak akan merasa kesulitan untuk mendapatkan apa yang kau inginkan," jawab ibuku membantah.
Ya, lagi-lagi memang karena harta ibuku mau menikah dengan pria tua Bangka yang usianya sudah hampir menginjak enam puluh tahun. Tapi, apa mau dikata. Semuanya sudah terlanjur, ibu sudah resmi menikah hanya tempat tinggalnya saja yang baru diputuskan sekarang ingin ke tinggal di Singapura.
"Terserah padamu saja, Bu. Aku sudah malas untuk berdebat denganmu. Lagi pula aku tidak punya hak apa pun untuk melarang kebahagiaanmu," sahutku menyerah. Aku mulai membalikkan badan dan berniat untuk meninggalkan ibu yang sepertinya masih tampak bergeming di tempatnya.
"Tunggu, Aline," ucap ibu yang membuatku menghentikan langkah. Kudengar suara kakinya kembali mendekat, aku pun membalikkan badan untuk menatapnya. "Ibu lupa mengatakan padamu, jika anak dari ayah tirimu yang akan menjaga mu di sini. Dia yang akan memegang perusahaan di sini, itu sebabnya ia harus kembali dari Singapura ke Indonesia untuk memajukan salah satu bisnis dari ayahnya," lanjut ibu menyelesaikan kalimatnya.
Mendengar kata kakak tiri, aku menjadi sedikit merasa insecure. Pasalnya, sejauh yang aku tahu, sikap seorang kakak tiri akan selalu kasar kepada adik tiri. Terlebih jika ia seorang perempuan.
"Jadi, aku akan tinggal bersama kakak tiri?" tanyaku memastikan. Kedua bola mataku membulat lebar saat ibu mengatakan hal itu. Aku berharap semoga kakak tiri ku bukan seorang perempuan yang culas dan juga kasar.
Ibu mengangguk cepat dengan senyum yang mengembang dari sudut bibirnya. "Iya, apa kau suka?" tanyanya sekali lagi.
Aku menggeleng, bukan bermaksud untuk menolak. Hanya saja aku takut jika kakak tiri yang ibu maksud adalah seorang perempuan yang sangat tidak menyukai keberadaan ku.
"Apa dia perempuan?" tanyaku memberanikan diri.
Ibu menggeleng pelan. "Tidak, dia laki-laki, namanya Reyn. Usianya kalau tidak salah sekitar dua puluh delapan atau dua puluh sembilan tahun. Masih jauh dari usia mu. Dia bisa membimbing mu dalam belajar di kampus. Ibu yakin itu," ucap ibu meyakinkan ku.
Aku menghela napas pelan, antara bersyukur atau justru takut. Sebab, aku diharuskan hanya tinggal berdua dengan kakak tiri ku bernama Reyn.
"Tapi, apa ibu tidak merasa khawatir jika aku hanya tinggal berdua saja dengan dia?" tanyaku pada ibu.
"Tentu saja tidak, Sayang. Kau juga akan ditemani oleh Bik Sumi, Bik Inah, dan juga Pak Handoko. Mereka akan tinggal bersama kalian di rumah. Ya, mungkin sesekali mereka akan minta libur padamu untuk sekadar beristirahat. Kau tidak masalah kan?" ucap ibu yang sedikit membuat ku merasa lega.
Ternyata aku tidak akan sendirian di rumah sebesar ini. Pikir ku dalam hati. Aku pun mengangguk menyetujui ucapan ibu sebelum akhirnya wanita paruh baya itu menelepon ayah tiri ku guna mengabari putranya untuk segera terbang kembali ke Indonesia sebelum ibu dan ayah tiri ku berangkat ke Singapura. Sebab, ibu tidak ingin aku tinggal sendiri sebelum benar-benar ada seseorang yang menjagaku dengan sangat baik.
***
Hari ini aku libur kuliah, oleh sebab itu ibu meminta ku untuk menjemput sang kakak karena dirinya tidak bisa menjemput. Ada urusan mendadak sehingga tidak bisa ia tinggalkan. Aku pun sudah bersiap, setelah Pak Handoko mengantarkan ibu ke salah satu kantor untuk mengurusi keberangkatannya ke Singapura. Giliranku yang diantar oleh Pak Handoko untuk menjemput kakak Tiriku.
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang, satu setengah jam lagi pesawat akan segera sampai di bandara. Untuk itu aku pun bergegas naik ke dalam mobil yang langsung dilajukan dengan kecepatan tinggi oleh Pak Handoko. "Pak, bisa agak cepat? Aku tidak mau kita terlambat," ucapku pada supir pribadi yang sedang mengemudi di kursi depan.
"Baik, Non," sahut Pak Handoko mengiyakan keinginanku.
Setelah melakukan perjalanan sekitar satu jam, aku pun sampai dan segera berdiri di titik penjemputan atau kedatangan penumpang. Aku sudah memegang sebuah papan dengan bertuliskan nama REYN di dalamnya. Aku berharap kakak Tiriku itu bisa melihat papan yang aku pegang sehingga ia tidak tersasar karena tidak bisa menemukan ku.
Jam sudah menunjukkan pukul dua belas empat puluh, seharusnya pesawatnya sampai sekitar sepuluh menit yang lalu, akan tetapi, sampai waktu yang ditentukan itu terlewat, kakak tiri ku masih belum menampakkan batang hidungnya di depanku.
"Astaga, lama sekali. Aku sudah lelah menunggunya di sini," gerutu ku mulai kesal. Sesekali aku mencoba meregangkan kaki-kaki ku yang mulai terasa kesemutan karena terlalu lama berdiri.
Tidak lama berselang, suara pesawat yang baru saja landing terdengar dari tempatku berada. Aku berharap salah satu penumpang dalam pesawat tersebut ada Kak Reyn di dalamnya.
Sesaat, setelah para penumpang keluar dari dalam pesawat dan melewati pintu kedatangan, buru-buru kuangkat tinggi-tinggi papan yang aku pegang. Sembari terus mendongak aku mencari kira-kira sosok mana yang tepat untuk nama REYN.
Seluruh keluarga penumpang juga saling berbondong-bondong mencari sanak saudara yang baru saja turun dari pesawat. Kakiku sampai harus terinjak oleh salah satu dari mereka yang mencoba untuk menerobos maju ke arah depan pagar.
Tiba-tiba saja, seorang pria datang menghampiri ku. Sumpah, ia sangat tampan, berkulit putih dan juga manis. Ada lesung Pipit di kedua pipinya yang bisa terlihat saat ia sedang tersenyum.
"Reyn?" tanyaku saat ia berhenti tepat di depanku.
Namun ia segera menggeleng, ia menunjuk pada salah satu penumpang lain yang berdiri di belakangnya. "Bukan, dia Reyn," sahutnya menunjuk seorang pria kurus dan jangkung. Tatapannya sok cool dan juga tajam.
Aku berusaha menelan ludah saat mengetahui jika Reyn yang aku lihat tidak sesuai dengan namanya. Aku pikir, Reyn adalah sosok pria tampan di depanku, tapi ternyata bukan. Reyn justru seorang pria jangkung dengan tubuh kurus dan juga bermata sedikit lebar.
"Dia, Reyn?" tanyaku mengulang.
"Iya, kenapa? Kau tidak suka? Seharusnya kau memberi hormat kepadaku," ucapnya dengan nada ketus.
Aku melirik sebentar kepada sosok pria tampan di depanku. Aku mendengkus pelan dan merasa kecewa. Penampilan rapi dan modis yang aku tampakkan ternyata hanya untuk dipertemukan dengan sosok pria jangkung kurus di belakang pria tampan itu.
"Kau siapa?" tanyaku pada pria tampan yang aku kira bernama Reyn itu.
"Aku Max, aku dikirim dari perusahaan Pak Gilang untuk membantu Reyn mengurus perusahaannya di sini. Pak Gilang sudah memberi ku izin untuk tinggal bersama kalian juga, tapi jika kau merasa keberatan, aku bisa pindah ke tempat lain," ucap Max kepadaku.
Mendengar hal itu aku segera menggeleng cepat. Aku tidak mau kehilangan moment untuk tinggal bersama seorang pria tampan di rumahku. "Tentu saja tidak, kau boleh tinggal di rumah kami. Rumah kami cukup luas dan ada banyak kamar. Kau bisa memilih salah satu kamar di sana," jawabku cepat.
Sekilas, aku melirik ke arah Max yang menatap dengan sungkan ke arah Reyn. Mungkin saja pria itu merasa keberatan dengan keberadaan Max di rumah mereka.
"Apa kau keberatan jika aku tinggal bersama kalian di rumah itu?" tanya Max kepada Reyn.
Aku tidak habis pikir, kenapa ayah tiri ku memberikan aku kakak tiri seperti Reyn yang sama sekali tidak terlihat tampan. Sepertinya Max lebih cocok untuk menjadi kakak tiri ku, karena ia terlihat sangat tampan dan tidak akan pernah merasa malu jika dikenalkan kepada teman-teman kampus ku kelak.
Ada keanehan yang aku lihat dari kedua pria itu, seperti ada teka-teki yang sengaja mereka sembunyikan dariku.
"Tentu ... tentu saja tidak apa-apa, R aaa ... Maksudku Max, ya Max," ucap Reyn seolah sedang memperbaiki cara bicaranya yang belibet.
Aku pun tak menghiraukan percakapan mereka, aku lebih mementingkan waktu istirahat ku yang harus berkurang gara-gara menunggu kedatangan mereka.
"Ya sudah, sebaiknya kita segera pulang. Aku sudah lelah menunggu kalian berdua," ucap ku seloroh pergi meninggalkan keduanya yang masih sibuk berbincang di belakang.
"Sungguh, hari yang sangat menyebalkan," gumam ku pelan tanpa terdengar oleh dua orang yang sedang berjalan di belakangku.
Bab 1 Kesan Pertama
08/10/2022
Bab 2 Pria Yang Menyebalkan
08/10/2022
Bab 3 Dipaksa Menurut
08/10/2022
Bab 4 Pertengkaran
08/10/2022
Bab 5 Selingkuh
08/10/2022
Bab 6 Putus Asa
08/10/2022
Bab 7 Malam Yang Menggairahkan
08/10/2022
Bab 8 Penyesalan
08/10/2022
Bab 9 Perdebatan Di Kampus
08/10/2022
Bab 10 Paket Ancaman
08/10/2022
Buku lain oleh Sinta Dewi Soebagio
Selebihnya