Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Pengabdian dan Cinta

Pengabdian dan Cinta

Yogaa

5.0
Komentar
609
Penayangan
15
Bab

Seorang polisi ditugaskan untuk menyelidiki gembong mafia. Ardi (32) dan Bara (30) bertekad akan membongkar siapa dalang di balik kejahatan ini. Mafia yang tidak tersentuh hukum. Di saat tengah mengintai sasaran, Bara tertembak tepat mengenai dadanya. Misi mereka akhirnya gagal dan membuat malapetaka baru. Tidak sampai di situ, mereka harus dihadapkan pada pilihan sulit. Terlebih Ardi. Dia harus memilih antara tugas atau keluarga. Setelah mengetahui gembong mafia,Arkana (65) adalah ayahnya sendiri. Akan tetapi, demi cinta dan pengabdiannya pada negara, ia merelakan pria itu meregang nyawa oleh timah panas miliknya.

Bab 1 Penggerebekan berbuah luk

Penggerebekan berbuah luka

Selamat Membaca

"Enyahlah kalian dari dunia!"

Suara tembakan terdengar beberapa kali, membuat pasangan tersebut meninggal secara mengenaskan. Mata dari seorang pria itu tertembak juga dengan istrinya, bahkan mereka sudah tersiksa dari pria misterius tersebut. Air mata terakhir kali menetes membasahi pandangan, karena mereka harus berpisah dengan putranya, mereka selama-lama mungkin.

"Angkat tubuh mereka dan bakar!"

Seorang anak lelaki memandang tindakannya pria misterius bersama dengan rekannya dan mereka semua mulai meninggalkan tempat itu. Tidak pernah terduga, bahwa itu adalah malam terakhir gadis tersebut bertemu dengan orang tuanya. Anak lelaki itu keluar dan mengikuti mereka sampai dia menembus sebuah hutan dan disanalah orang tua kandung sang gadis terbakar.

"Ayah, Ibu!"

Suara itu bergema sampai ke telinganya seorang pria misterius, membuat pria itu memutarkan pandangan mencari suara itu. Pria itu berjalan menelusuri hutan itu dan semua percuma, dia tidak mendapat siapapun di sana. Anak lelaki berusia delapan tahun menangis memandang api merah bercampur biru dan orange itu. Akhirnya, debu didapatkan sang anak lelaki sesudah ia melihat mereka meninggalkan hutan itu.

"Ayah, Ibu!"

Dia pun menghapus air mata, kemudian menggali tanah untuk membuat kuburan dan menanam debu orang tuanya. Anak lelaki itu memberi tanda dengan dua batu dan dia mulai meninggalkan hutan tersebut, kemudian mencari cara untuk membuat laporan tindakan kriminal terhadap ayah dan juga sang ibu.

Berbagai cara dilakukan oleh anak lelaki kecil tersebut untuk mengungkap pelaku, tapi semua polisi menertawakan cerita sang anak lelaki itu sampai membuat dia menangis. Ia meninggalkan tempat tersebut, namun satu dari polisi Australia mendatanginya untuk memberitahukan sesuatu.

"Kamu mau menjadi seorang polisi untuk ungkapkan kematian orang tua kandungmu?"

***

Lima belas tahun kemudian..

Hari ini, aku dan tim meluncur ke daerah pinggiran untuk melakukan penggerebekan di sebuah rumah. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari informan yang aku tempatkan di lokasi, akan terjadi transaksi jual beli shabu dalam jumlah yang besar. Aku meyakini bahwa kelompok ini masih ada hubungannya dengan pelaku yang sedang ditahan di polres.

Memakai kaos lengan panjang berwarna navy, celana jeans dengan sedikit robekan di paha dan sepatu kets putih menjadi pilihanku saat ini. Setelah briefing dengan anggota tim yang berjumlah enam orang, kami bergegas memasuki mobil untuk menuju lokasi penggerebekan.

Di dalam mobil, kami kembali memeriksa perlengkapan yang akan dibutuhkan saat penggerebekan nanti. Aku memasang rompi anti peluru dan menyelipkan senjata revolver di pinggang serta tidak lupa memakai masker penutup wajah.

Operasi kali ini harus berhasil agar bisa memutus mata rantai kelompok ini dalam mengedarkan obat-obat terlarang. Aku prihatin melihat generasi muda yang rusak karena barang haram tersebut. Padahal, masa depan mereka masih panjang.

Akhirnya, kami sampai di tempat yang dituju setelah menempuh perjalanan hampir satu jam. Bara memarkirkan mobil di tempat yang agak tersembunyi agar kedatangan kami tidak diketahui oleh mereka.

Setelah memastikan keadaan aman, kami segera melangkah menuju rumah yang menjadi target penggerebekan. Aku membagi tim menjadi 2 kelompok. Kapten Bara, aku dan Arshaka tim yang membantu Aiptu Arshaka dan mereka akan masuk dari pintu belakang, sedangkan aku, Bara dan Arshaka mencoba menerobos dari pintu depan.

Aku pun memberikan aba-aba untuk melakukan pergerakan, Aiptu Arshaka langsung bergerak ke bagian belakang bersama Bara, aku dan Aditya . Tim yang dipimpin langsung mengambil posisi menuju pintu depan.

Sebelum mendobrak pintu, aku memberikan kode kepada Aiptu Arshaka melalui handy talky agar masuk secara bersamaan. Jadi, kesempatan mereka untuk melarikan diri sangat kecil.

Brak!

"Angkat tangan! Kalian sudah kami kepung," teriakku sambil menodongkan senjata ke arah mereka.

Tampak kelompok yang terdiri dari tujuh orang itu terkejut melihat kedatanganku dan tim. Sempat kulihat, salah satu dari mereka berusaha menyembunyikan shabu yang akan diperjualbelikan.

"Jangan bergerak! Sekarang jongkok dan tangan tetap di atas!" perintahku sambil mendekati mereka.

Aku yang terlalu fokus mendekati pelaku, tidak menyadari ada pergerakan dari belakang.

"Awas, pak!" teriak Bara sambil berlari ke arahku. Aku yang terkejut, refleks mengikuti arah lari dan melihat seorang pria yang sudah bersiap menyerang.

Perkelahian pun tidak terhindar lagi, mereka yang tadi dalam posisi jongkok juga sudah bersiap untuk membantu temannya.

Bugh! Bugh! Bugh!

Suara pukulan menggema di seluruh ruangan, perlawanan yang mereka berikan cukup membuatku dan tim kewalahan. Beruntungnya aku dan anggotaku menguasai ilmu beladiri yang mumpuni.

Aku, Bara dan Arshaka , menguasai taekwondo serta muaythai. Sementara yang lain walaupun hanya menguasai satu ilmu beladiri, tetapi itu sudah lebih dari cukup untuk melindungi diri mereka sendiri.

Namun, terjadi sesuatu yang tidak terduga saat aku melihat Bara kewalahan menghadapi lawannya. Tampak banyak memar di sekitar wajahnya, sepertinya yang dia hadapi mempunyai ilmu beladiri yang lebih dari dia. Bara tersentak, ketika merasakan sebuah benda tajam menusuk perut sebelah kanan dan secara spontan Bara pun berteriak kesakitan.

Argh!

Sebelum tubuh Bara roboh ke lantai, pelaku itu mengeluarkan senjata dan menambahkannya ke arah Bara yang bersiap untuk bangun dari tempatnya terjatuh. Sasarannya tepat mengenai paha bagian samping sebelah kanan dan Bara pun langsung tersungkur.

Anggota timku langsung berjalan ke arah Bara,setelah mereka berhasil melumpuhkan para komplotan penjahat itu. Hampir tiga tahun aku bergabung di unit reserse, baru kali ini mengalami luka yang parah.

"Bertahan, Bara. Jangan tutup mata, kami akan segera membawa kamu ke rumah sakit," ujar Aiptu Arshaka sambil membuka rompi anti peluru dan menekan tempat yang terkena tusukan.

"Hmm, tenang aja. Saya nggak apa-apa, ini cuma luka kecil," ujar Bara.

Aiptu Arshaka segera membawaku menuju mobil setelah memberikan perintah kepada Aditya dan yang lainnya untuk mengamankan lokasi penggerebekan.

Bau obat-obatan tercium ketika kesadaran sudah Bara dapatkan. Mencoba menggerakkan badan, tetapi perutku terasa sakit. Tampak infus sudah terpasang di tangan kiri Bara. Memindai seluruh ruangan, tidak ditemukan seorang pun yang menemani Bara.

Bara kembali memikirkan kejadian penusukan itu, bagaimana aku bisa lengah dalam melaksanakan tugas?

Aku bersyukur Bara diberikan kesempatan hidup sekali lagi karena masih banyak kasus yang belum terselesaikan termasuk kecelakaan kakaknya Bara. Misteri yang sampai sekarang belum terpecahkan.

Mamanya keluarga Bara sampai sekarang tidak tahu keberadaannya di mana. Seminggu setelah kedatanganku hari itu, aku kembali mengunjunginya. Akan tetapi, rumah sudah dalam keadaan kosong. Ketika dihubungi, nomornya pun tidak aktif. Sebenarnya apa yang disembunyikan oleh Mama soal kecelakaannya kakaknya Bara?.

Clek!

Bunyi kenop pintu yang dibuka mengembalikan kesadaran Bara akan lamunan tentang Mamanya Bara. Saat melihat ke arah samping, tampak kepala aku yang mengintip dari balik pintu.

"Bang, kenapa berdiri di situ aja? Kayak orang mau nagih utang tau, nggak," gerutu Bara padaku.

"Nggak, Cuma mau pastikan masih hidup atau sudah lewat," jawabku sambil berjalan mendekati brankar.

"Ih, jahat. Mendoakan adiknya mati, aku baik-baik aja, Bang. Ini mah belum seberapa," ucapnya, yang langsung dihadiahi sentilan di kening Bara.

"Jangan takabur. Sekarang, kamu masih diberikan kesempatan hidup. Kita nggak tau apa yang akan terjadi besok. Janji sama Abang kalau kamu akan lebih waspada lagi dalam menjalani tugas." Bara mengangguk sambil menggenggam tangannya yang berada di kepalaku.

"Begitu dapat kabar dari Arshaka , kami semua langsung shock. Mama sampai histeris, memikirkan nasib anak lelakinya itu semata wayangnya ini. Jangan mengulanginya lagi, ya!" tegasnya.

"Sekarang Mama di mana, kok nggak ke sini?" tanya Bara.

"Mama pulang istirahat sebentar, sudah dua hari Mama menjamu di sini. Takut kalau tiba-tiba kamu sadar."

"Hah! Beneran Bara nggak sadarkan diri selama dua hari?"

"Iya, kamu nggak tau itu pingsan atau tidur? Nyenyak benar kayaknya."

Bara tidak percaya kalau tidak sadarkan diri selama dua hari. Aku menceritakan kalau Bara banyak kehilangan darah dan luka tusukan pun terlalu dalam, sehingga merobek usus. Untungnya segera cepat ditangani karena itu bisa membahayakan nyawa Bara.

"Abang masih penasaran, sebenarnya apa yang kamu pikirkan sehingga bisa lengah seperti itu?"

"Aku melihat Aditya yang kewalahan menghadapi lawannya, Bang. Eh, malah nggak ingat kalau Aku juga lagi menghadapi pelaku yang lain."

"Yakin cuma karena itu? Abang tau kamu lagi menyembunyikan suatu masalah karena beberapa minggu ini kamu sering melamun di kamar ataupun di gazebo belakang."

Bara terkejut mendengar ucapanku barusan , ternyata dia memperhatikan segala tingkah laku Bara saat sedang berada di rumah.

"Belum saatnya Bara menceritakan masalah itu, Bang, sebelum bukti kuat ditemukan. Bara nggak mau gegabah dalam bertindak," ujar Bara.

"Abang percaya sama kamu. Kalau memang butuh bantuan, nggak usah segan menghubungi Abang atau Mama dan Papa. Sudah cukup, kamu membuat mereka khawatir."

"Siap, Pak," ujar Bara sambil memberikan gerakan hormat. Aku hanya tersenyum melihat tingkah konyol Bara.

Bersambung

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku