Di puncak karierku, notaris memberitahuku bahwa ayahku, Farhan Hadisaputro, telah mencabut hak warisku. Seluruh aset keluarga, termasuk bengkel batik legendaris kami, diwariskan kepada asistennya, Dahlia. Aku hancur, terlebih saat melihat ayah merawat Dahlia yang sedang sakit dengan penuh kasih sayang, cinta yang seharusnya menjadi milikku. Dahlia, yang ternyata hamil anak ayahku, menjebakku dua kali, membuatnya seolah-olah aku mendorongnya hingga keguguran. Ayah murka dan mengusirku, bahkan menuduhku mandul. "Anggita tidak akan pernah bisa memberiku anak," ucapnya dingin. Aku tidak hanya dikhianati, tapi juga dihina oleh ayah kandungku sendiri. Di tengah keputusasaan, aku menemukan fakta yang mengejutkan: aku hamil anak kekasihku, Sagara. Aku memutuskan untuk pergi, meninggalkan semua kepahitan di belakang. Dengan bantuan pengacara, aku mengubah identitasku dan memulai hidup baru di Bali, bersumpah untuk melindungi anakku dan tidak akan pernah kembali.
Di puncak karierku, notaris memberitahuku bahwa ayahku, Farhan Hadisaputro, telah mencabut hak warisku. Seluruh aset keluarga, termasuk bengkel batik legendaris kami, diwariskan kepada asistennya, Dahlia.
Aku hancur, terlebih saat melihat ayah merawat Dahlia yang sedang sakit dengan penuh kasih sayang, cinta yang seharusnya menjadi milikku.
Dahlia, yang ternyata hamil anak ayahku, menjebakku dua kali, membuatnya seolah-olah aku mendorongnya hingga keguguran.
Ayah murka dan mengusirku, bahkan menuduhku mandul. "Anggita tidak akan pernah bisa memberiku anak," ucapnya dingin.
Aku tidak hanya dikhianati, tapi juga dihina oleh ayah kandungku sendiri.
Di tengah keputusasaan, aku menemukan fakta yang mengejutkan: aku hamil anak kekasihku, Sagara.
Aku memutuskan untuk pergi, meninggalkan semua kepahitan di belakang. Dengan bantuan pengacara, aku mengubah identitasku dan memulai hidup baru di Bali, bersumpah untuk melindungi anakku dan tidak akan pernah kembali.
Bab 1
Anggita POV:
Kata-kata notaris itu terasa seperti palu godam yang menghancurkan seluruh duniaku dalam sekejap.
"Anggita, saya baru saja memeriksa wasiat terakhir Tuan Farhan Hadisaputro," Notaris itu menatapku dengan sorot mata yang penuh belas kasihan.
"Setahun yang lalu, beliau telah mencabut hak warismu."
Aku merasakan napas tertahan di paru-paru.
Tidak mungkin.
Ini pasti salah.
"Apa maksud, Bapak?" Suaraku serak, hampir tidak terdengar.
Notaris itu menghela napas.
"Semua aset keluarga, termasuk bengkel batik 'Hadisaputro' yang legendaris, akan diwariskan sepenuhnya kepada Nona Dahlia Pusponegoro."
Dahliá?
Asisten ayahku?
Duniaku berputar.
Aku menggelengkan kepala, mencoba mengusir kabut yang menyelimuti pikiranku.
Ini pasti mimpi buruk.
Baru saja aku kembali dari pameran internasional di Paris.
Karya-karyaku memenangkan penghargaan, dan aku berhasil mendapatkan kontrak besar yang akan membawa nama 'Hadisaputro' ke panggung dunia.
Aku ingin memberikan kejutan pada ayah.
Membuktikan padanya bahwa inovasi dan tradisi bisa berjalan beriringan.
Tapi sekarang, semua itu terasa seperti lelucon kejam.
Sebuah getaran di saku membuatku terlonjak.
Itu ponselku.
Sagara.
Kekasihku.
Ponsel itu bergetar lagi, menampilkan pesan darinya.
"Selamat, sayang. Aku bangga padamu. Kamu berhasil!"
Melihat pesan itu, hatiku terasa seperti dicabik-cabik.
Bagaimana aku bisa memberikan kejutan ini sekarang?
Kejutan yang seharusnya membahagiakan, kini terasa sangat pahit.
Dadaku sesak.
Udara di ruangan ini terasa menipasku.
Aku ingat senyum bangga ayah saat pertama kali aku menunjukkan desain batik modernku.
Aku ingat pelukannya yang hangat saat aku berhasil menjual karya pertamaku.
Apakah semua itu hanya pura-pura?
Apakah cintanya padaku hanya sebuah topeng?
Kenapa ini terjadi?
Sejak kecil, aku hidup untuk batik.
Batik adalah napasku, darahku.
Ayah mengajarkanku setiap lekuk, setiap makna di balik motif.
"Anggita, kamu adalah penerusku," kata ayah suatu kali.
"Warisan ini ada di tanganmu."
Kata-kata itu terngiang di telingaku, kini terdengar seperti ejekan.
Aku ingin percaya bahwa ini hanyalah kesalahpahaman.
Bahwa ayahku tidak akan pernah melakukan ini.
Namun, firasat buruk merayapi hatiku.
Firasat yang mengatakan bahwa segala sesuatu akan menjadi lebih buruk.
Aku harus mencari ayah.
Meskipun kakiku terasa berat, aku memaksa diriku bangkit.
Aku harus mendengar langsung darinya.
Mungkin notaris itu salah.
Mungkin ada penjelasan lain.
Pikiranku berpacu, membayangkan berbagai skenario.
Aku hanya ingin melihat ayah, memeluknya, dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.
Ketika aku tiba di rumah sakit, nafasku tercekat.
Bau antiseptik menyengat hidungku.
Di salah satu koridor yang sepi, aku melihatnya.
Farhan Hadisaputro.
Ayahku.
Maestro batik yang kuagumi.
Rambutnya yang beruban kini terlihat lebih berantakan.
Wajahnya tampak lelah, namun sorot matanya...
Sorot matanya menunjukkan kasih sayang yang tak terbatas.
Tapi bukan untukku.
Ayah sedang duduk di samping ranjang rumah sakit, menggenggam tangan seorang wanita.
Dahlia.
Asisten ayahku.
Tubuh Dahlia tampak lemah, wajahnya pucat pasi, namun senyum tipis tersungging di bibirnya saat ayah mengusap lembut keningnya.
Ayah membisikkan sesuatu, dan Dahlia terkekeh pelan.
Pemandangan itu menusukku lebih dalam dari pisau manapun.
Asisten yang telah bekerja dengan kami selama bertahun-tahun.
Wanita yang selalu tampak kalem dan patuh.
Wanita yang kini menerima seluruh warisanku.
Aku merasakan jantungku berdebar tak karuan.
Darahku mendidih.
Kepalaku mulai pusing.
Badanku bergetar hebat.
Aku ingin berteriak, ingin menghancurkan apa pun di dekatku.
Namun, suaraku tercekat di tenggorokanku.
Aku hanya bisa berdiri di sana, seperti patung, menyaksikan pengkhianatan ini terkuak di depan mataku.
Ayah, yang selalu kudambakan cintanya.
Ayah, yang selalu kujadikan panutan.
Dia merawat wanita lain dengan kasih sayang yang seharusnya menjadi milikku.
Selama ini, aku telah mencurahkan seluruh hidupku untuknya, untuk nama 'Hadisaputro'.
Dua puluh delapan tahun.
Dua puluh delapan tahun aku percaya pada warisan itu.
Dua puluh delapan tahun aku percaya pada cintanya.
Betapa bodohnya aku.
Kini aku tahu.
Cinta itu hanyalah sebuah ilusi yang manis.
Sebuah kebohongan yang kejam.
Buku lain oleh Gavin
Selebihnya