Suamiku, Christoper Wijaya, adalah playboy paling terkenal di Jakarta, yang terkenal dengan skandal musimannya dengan gadis-gadis berusia sembilan belas tahun. Selama lima tahun, aku percaya bahwa aku adalah pengecualian yang akhirnya berhasil menjinakkannya. Ilusi itu hancur berkeping-keping ketika ayahku membutuhkan transplantasi sumsum tulang. Donor yang sempurna adalah seorang gadis sembilan belas tahun bernama Iris. Pada hari operasi, ayahku meninggal karena Christoper memilih untuk tetap di tempat tidur bersamanya daripada mengantarnya ke rumah sakit. Pengkhianatannya tidak berhenti di situ. Ketika lift anjlok, dia menarik Iris keluar lebih dulu dan membiarkanku jatuh. Ketika lampu gantung jatuh, dia melindungi tubuh Iris dengan tubuhnya dan melangkahi aku yang terbaring berdarah. Dia bahkan mencuri hadiah terakhir dari almarhum ayahku untukku dan memberikannya kepada Iris. Melalui semua itu, dia menyebutku egois dan tidak tahu berterima kasih, sama sekali tidak menyadari fakta bahwa ayahku sudah tiada. Jadi aku diam-diam menandatangani surat cerai dan menghilang. Pada hari aku pergi, dia mengirimiku pesan. "Kabar baik, aku menemukan donor lain untuk ayahmu. Ayo kita jadwalkan operasinya."
Suamiku, Christoper Wijaya, adalah playboy paling terkenal di Jakarta, yang terkenal dengan skandal musimannya dengan gadis-gadis berusia sembilan belas tahun. Selama lima tahun, aku percaya bahwa aku adalah pengecualian yang akhirnya berhasil menjinakkannya.
Ilusi itu hancur berkeping-keping ketika ayahku membutuhkan transplantasi sumsum tulang. Donor yang sempurna adalah seorang gadis sembilan belas tahun bernama Iris. Pada hari operasi, ayahku meninggal karena Christoper memilih untuk tetap di tempat tidur bersamanya daripada mengantarnya ke rumah sakit.
Pengkhianatannya tidak berhenti di situ. Ketika lift anjlok, dia menarik Iris keluar lebih dulu dan membiarkanku jatuh. Ketika lampu gantung jatuh, dia melindungi tubuh Iris dengan tubuhnya dan melangkahi aku yang terbaring berdarah. Dia bahkan mencuri hadiah terakhir dari almarhum ayahku untukku dan memberikannya kepada Iris.
Melalui semua itu, dia menyebutku egois dan tidak tahu berterima kasih, sama sekali tidak menyadari fakta bahwa ayahku sudah tiada.
Jadi aku diam-diam menandatangani surat cerai dan menghilang. Pada hari aku pergi, dia mengirimiku pesan.
"Kabar baik, aku menemukan donor lain untuk ayahmu. Ayo kita jadwalkan operasinya."
Bab 1
Sudut Pandang Amira Putri:
Ayahku meninggal karena suamiku, Christoper Wijaya, memilih untuk menenangkan kesayangan barunya, seorang gadis berusia sembilan belas tahun, daripada memastikan gadis itu sampai di rumah sakit untuk mendonorkan sumsum tulang yang akan menyelamatkan nyawanya.
Di Jakarta, nama Christoper Wijaya berkilauan seperti cakrawala kota. Dia adalah pewaris takhta dinasti properti Wijaya, seorang pria yang hidupnya diliput di kolom gosip dan majalah bisnis dengan semangat yang sama.
Reputasinya mendahuluinya. Dia memiliki preferensi yang spesifik, hampir klinis: gadis-gadis kuliahan yang muda dan lugu, biasanya berusia sekitar sembilan belas tahun.
Mereka seperti bunga musiman dalam hidupnya, datang bersamaan dengan semester baru dan layu saat liburan semester tiba. Gadis-gadis ini, seringkali mahasiswi penerima beasiswa yang terpesona oleh karisma dan kekayaannya, akan dihujani hadiah, dipamerkan di pesta-pesta, dan kemudian, dengan cepat, dibuang. Masa jabatan mereka dapat diprediksi seperti pergantian penjaga di Istana Merdeka-sebuah tontonan singkat yang gemerlap, diikuti oleh jalan keluar yang tiba-tiba dan final.
Kota ini ramai dengan cerita penaklukannya. Mahasiswi seni rupa UI yang diberi pameran galeri lalu ditinggalkan begitu saja. Mahasiswi sastra dari universitas swasta ternama yang menerima koleksi buku klasik edisi pertama sebelum mendapati kunci apartemennya tidak lagi berfungsi. Itu adalah mesin yang kejam dan terorganisir dengan baik, dan Jakarta menyaksikannya dengan semacam ketertarikan yang dingin.
Lalu, ada aku.
Aku adalah Amira Putri, seorang pekerja serabutan yang mengerjakan tiga pekerjaan sekaligus untuk membiayai program diploma di sebuah kampus kecil. Aku bukan dari dunia penthouse dan silsilah mereka. Aku berasal dari dunia kerja shift malam, mi instan, dan cinta yang sunyi namun membara dari ayahku, seorang pensiunan guru Bahasa Inggris SMA.
Dan aku juga berusia sembilan belas tahun ketika dunia Christoper Wijaya bertabrakan dengan duniaku.
Kekuatan perhatiannya menakutkan sekaligus memabukkan. Itu adalah romansa angin puyuh yang menggemparkan kalangan elite Jakarta dan membuat duniaku yang kecil terkesima.
Sang playboy, anak hilang itu, tiba-tiba, secara mustahil, telah berubah.
Dia memutuskan hubungan dengan parade gadis-gadis kuliahannya. Dia membeli seluruh toko bunga hanya untuk mengisi apartemen mungilku dengan bunga lili favoritku. Dia belajar memasak semur favorit ayahku, duduk dengan sabar di dapur kami yang sempit sementara ayahku, Jaka Wibowo, menceramahinya tentang Sastra Indonesia. Dia bahkan merelakan mobil sport kesayangannya karena aku mudah mabuk perjalanan.
Dia melamarku dengan berlutut di tengah Bundaran HI, layar-layar raksasa yang biasanya mengiklankan merek-merek mewah menampilkan satu pertanyaan yang menyilaukan: "Amira Putri, maukah kau menikah denganku?"
Aku menjadi dongeng yang dibisikkan semua orang. Gadis kelas pekerja yang telah menjinakkan binatang buas yang tak terkendali.
Selama lima tahun, dia adalah suami yang sempurna. Setia, memanjakan, dan sangat posesif dengan cara yang kusalahartikan sebagai cinta yang mendalam. Dia membangun benteng kasih sayang di sekelilingku, dan aku percaya, dengan segenap jiwa ragaku, bahwa aku adalah satu-satunya, pengecualian dari aturan kejamnya.
Ilusi itu hancur ketika ayahku jatuh sakit.
Leukemia mieloid akut. Kata-kata dari dokter terasa seperti hukuman mati. Satu-satunya harapan adalah transplantasi sumsum tulang. Kami mencari di registri global, tetapi tidak ada yang cocok. Keputusasaan mulai merayap, kabut tebal yang menyesakkan.
Christoper, suamiku yang sempurna, turun tangan seperti seorang penyelamat. Dia menggunakan kekayaan Wijaya untuk meluncurkan program donor besar-besaran di seluruh kota, mendanai alat tes dan memasang kisah ayahku di papan-papan reklame. Dia memelukku saat aku menangis, berbisik, "Aku akan menyelamatkannya, Amira. Aku janji."
Dan kemudian, sebuah keajaiban. Ditemukan donor yang sangat cocok.
Namanya Iris Larasati. Seorang mahasiswi penerima beasiswa di UI.
Dia berusia sembilan belas tahun.
Pertama kali aku melihatnya, dia berdiri di lobi rumah sakit, tampak rapuh dan kewalahan. Christoper yang membawanya. Dia mengenakan gaun putih sederhana, tangannya dengan gugup mencengkeram tali ranselnya. Dia menatap Christoper dengan mata lebar penuh puja, suaranya berbisik malu-malu saat dia berterima kasih atas kesempatan untuk membantu.
Kebetulan usianya-angka ajaib yang terkutuk itu-membuatku merinding, tapi aku segera menepisnya. Gadis ini menyelamatkan nyawa ayahku. Dia adalah seorang malaikat.
Operasi dijadwalkan. Ayahku, Jaka, dipindahkan ke ruang isolasi steril, sistem kekebalan tubuhnya dihancurkan secara sistematis oleh kemoterapi untuk mempersiapkan transplantasi. Dia rentan, tak berdaya, menunggu anugerah kehidupan yang ada di dalam diri Iris.
Hari operasi tiba, hari Selasa yang dingin dan steril. Jendela waktu untuk transplantasi sangatlah sempit. Begitu protokol kemo selesai, tubuh ayahku menjadi kanvas kosong, tidak mampu melawan infeksi sekecil apa pun. Sumsum baru harus dimasukkan dalam jangka waktu kritis.
Jam-jam berlalu. Tanda-tanda vital ayahku, yang ditampilkan di monitor di samping tempat tidurnya, mulai goyah. Bunyi bip mesin menjadi semakin tidak menentu, menjadi musik latar yang panik bagi kepanikanku yang meningkat.
Kondisinya memburuk. Tubuhnya, yang dilucuti dari pertahanannya, mulai gagal.
Aku dengan panik menelepon Iris. Tidak ada jawaban. Aku menelepon lagi. Dan lagi. Tanganku gemetar begitu hebat hingga aku hampir tidak bisa memegang telepon. Setiap dering yang tak terjawab terasa seperti pukulan palu di hatiku.
Telepon berdering belasan kali sebelum akhirnya dia mengangkatnya. Suaranya kecil, diwarnai keraguan yang aneh dan terengah-engah. "Halo?"
"Iris, kamu di mana?" teriakku, suaraku pecah. "Rumah sakit baru saja menelepon. Ayahku dalam kondisi kritis! Kamu harus segera ke sini sekarang! Operasinya, harus dilakukan sekarang!"
"Aku... aku tidak bisa," gagapnya, suaranya bergetar. "Aku takut, Amira. Membayangkan jarum suntik... rasanya... terlalu menakutkan."
"Takut? Iris, ini tentang nyawa ayahku-"
Sebelum aku bisa selesai, suara malas yang familier memotong dari ujung teleponnya. Suara itu membuat darahku terasa dingin.
"Sayang, kamu lagi telepon siapa? Sini, kembali ke tempat tidur."
Itu Christoper.
Christoper-ku. Suamiku.
Gelombang mual menyapuku. Dunia seakan berputar. Telingaku berdenging, jeritan bernada tinggi yang menenggelamkan bunyi bip panik monitor jantung di latar belakang panggilanku sendiri.
Aku menutup telepon. Aku tidak perlu mendengar sepatah kata pun lagi. Aku berlari. Aku berlari keluar dari ruang tunggu rumah sakit, pikiranku kosong, melolong hampa. Aku memanggil taksi, suaraku serak saat menyebutkan alamat-alamat suite hotel bintang lima yang Christoper simpan untuk "mitra bisnis yang berkunjung."
Bentley hitamnya, yang dia beli karena memiliki pengendaraan paling mulus untukku, diparkir dengan berani di depan.
Aku menggunakan kartu kunciku, tanganku gemetar begitu hebat hingga butuh tiga kali percobaan untuk membuka pintu. Suite itu adalah hamparan kaca dan perabotan minimalis yang luas. Dan di sana, di sofa mewah, ada pemandangan yang akan selamanya terpatri dalam ingatanku.
Iris Larasati, gadis yang rapuh dan pemalu itu, bersandar di pelukan suamiku. Dia mengenakan salah satu kemeja sutra Christoper, lengannya digulung hingga ke siku. Kepalanya bersandar di dadanya, ekspresinya menunjukkan kepuasan yang luar biasa.
Christoper sedang membelai rambutnya, sentuhannya luar biasa lembut, sama seperti cara dia dulu menyentuhku. Dia membisikkan sesuatu di telinganya, bibirnya menyentuh pelipisnya.
"Jangan khawatir soal operasinya," kudengar dia bergumam, suaranya rendah dan menenangkan. "Kita bisa menundanya. Beberapa hari tidak akan ada bedanya. Yang terpenting adalah kamu bahagia."
Dia mencondongkan tubuh dan memberikan ciuman lembut di dahinya. Ciuman posesif dan lembut yang sama yang telah dia berikan padaku ribuan kali. Ciuman yang katanya hanya untukku.
Iris terkikik, suara yang manis dan memuakkan. "Kamu baik sekali padaku, Christoper. Aku tidak tahu apa jadinya tanpamu."
"Kamu tidak perlu tahu," bisiknya kembali. "Aku akan mengurus semuanya."
Pada saat itu, teleponku berdering lagi. Suara nyaring itu menembus kabut kengerianku. Aku melihat ID penelepon.
Itu rumah sakit.
Aku menjawab, tenggorokanku tercekat.
"Nyonya Wijaya," suara dokter itu berat, muram. "Saya turut berduka cita. Kami sudah melakukan semua yang kami bisa, tapi..."
Dia tidak perlu menyelesaikannya.
"Pak Jaka meninggal beberapa saat yang lalu."
Dunia menjadi sunyi. Suara kota, dengungan AC hotel, bahkan detak jantungku sendiri-semuanya berhenti begitu saja.
Teleponku terlepas dari jari-jariku yang mati rasa, berdentang di lantai marmer.
Suara itu membuat mereka menoleh.
Dan pada saat itu, saat aku berdiri di ambang pintu, hantu di pesta kehancuranku sendiri, aku akhirnya mengerti.
Dongeng itu sudah berakhir. Dongeng itu tidak pernah nyata.
Aku hanyalah musim yang lain, dan musim semi akhirnya tiba.
Duniaku tidak hanya hancur. Ia berhenti ada. Aku terhuyung-huyung, kegelapan di tepi pandanganku bergegas menelanku utuh. Hal terakhir yang kulihat adalah wajah Christoper, ekspresinya berubah dari kasih sayang yang lembut menjadi kemarahan karena diganggu. Dia bahkan belum menyadari besarnya apa yang baru saja terjadi. Dia tidak bisa.
Karena baginya, itu tidak penting.
Bab 1
27/11/2025
Bab 2
27/11/2025
Bab 3
27/11/2025
Bab 4
27/11/2025
Bab 5
27/11/2025
Bab 6
27/11/2025
Bab 7
27/11/2025
Bab 8
27/11/2025
Bab 9
27/11/2025
Bab 10
27/11/2025
Bab 11
27/11/2025
Bab 12
27/11/2025
Bab 13
27/11/2025
Bab 14
27/11/2025
Bab 15
27/11/2025
Bab 16
27/11/2025
Buku lain oleh Gavin
Selebihnya