Selama tujuh tahun, aku melepaskan kehidupanku sebagai pewaris perusahaan demi sebuah rumah sederhana bersama pria yang menyelamatkanku dan putra kami. Aku memilih cinta di atas sebuah kerajaan. Pilihan itu hancur berkeping-keping pada malam saat dia pulang dengan aroma parfum wanita lain. Dia menyebut perselingkuhannya sebagai "merger bisnis", tetapi berita utama menceritakan kisah yang sebenarnya. Dia memilih kekuasaan di atas keluarganya. Ibunya memanggil kami ke kediaman keluarga hanya untuk mengumumkan bahwa selingkuhannya sedang mengandung "satu-satunya pewaris yang sah". Di depan semua orang, dia menawariku pekerjaan sebagai pembantu dan berkata putraku boleh tinggal sebagai anak yatim piatu yang diadopsi. Pasanganku, pria yang rela kutinggalkan segalanya untuknya, hanya berdiri di samping ibunya dan tidak mengatakan apa-apa saat ibunya secara terbuka menghapus kami dari hidupnya. Putraku yang berusia lima tahun menatapku, suaranya bergetar, dan mengajukan pertanyaan yang meremukkan kepingan terakhir hatiku. "Mama, kalau Tante itu punya bayi... lalu aku ini apa?" Tetapi pukulan terakhir datang di hari ulang tahunnya. Selingkuhannya menipu kami untuk menghadiri pesta pertunangan mereka, di mana dia mendorong putra kami hingga jatuh ke lantai dan menyangkalnya. Saat keluarganya menyerangku, putraku memohon bantuannya, memanggilnya "Tuan". Pada saat itu, wanita yang dikenalnya telah mati. Aku menggandeng tangan putraku, berjalan keluar dari kehidupan itu selamanya, dan menelepon kerajaan yang telah kutinggalkan. Sudah waktunya dunia mengingat nama asliku.
Selama tujuh tahun, aku melepaskan kehidupanku sebagai pewaris perusahaan demi sebuah rumah sederhana bersama pria yang menyelamatkanku dan putra kami. Aku memilih cinta di atas sebuah kerajaan.
Pilihan itu hancur berkeping-keping pada malam saat dia pulang dengan aroma parfum wanita lain. Dia menyebut perselingkuhannya sebagai "merger bisnis", tetapi berita utama menceritakan kisah yang sebenarnya. Dia memilih kekuasaan di atas keluarganya.
Ibunya memanggil kami ke kediaman keluarga hanya untuk mengumumkan bahwa selingkuhannya sedang mengandung "satu-satunya pewaris yang sah". Di depan semua orang, dia menawariku pekerjaan sebagai pembantu dan berkata putraku boleh tinggal sebagai anak yatim piatu yang diadopsi.
Pasanganku, pria yang rela kutinggalkan segalanya untuknya, hanya berdiri di samping ibunya dan tidak mengatakan apa-apa saat ibunya secara terbuka menghapus kami dari hidupnya.
Putraku yang berusia lima tahun menatapku, suaranya bergetar, dan mengajukan pertanyaan yang meremukkan kepingan terakhir hatiku.
"Mama, kalau Tante itu punya bayi... lalu aku ini apa?"
Tetapi pukulan terakhir datang di hari ulang tahunnya. Selingkuhannya menipu kami untuk menghadiri pesta pertunangan mereka, di mana dia mendorong putra kami hingga jatuh ke lantai dan menyangkalnya. Saat keluarganya menyerangku, putraku memohon bantuannya, memanggilnya "Tuan".
Pada saat itu, wanita yang dikenalnya telah mati. Aku menggandeng tangan putraku, berjalan keluar dari kehidupan itu selamanya, dan menelepon kerajaan yang telah kutinggalkan. Sudah waktunya dunia mengingat nama asliku.
Bab 1
Sudut Pandang Alya Mayasari:
Pertama kalinya aku tahu-benar-benar tahu-bahwa hidupku telah berakhir, semua dimulai dari aroma parfum wanita lain. Bukan parfum murahan atau yang menyengat. Parfum ini mahal. Melati dan mawar, menempel di kerah kemeja pria yang rela kutinggalkan segalanya untuknya.
Selama tujuh tahun, aku adalah Alya Mayasari, seorang wanita tanpa masa lalu, menjalani kehidupan sederhana di sebuah rumah mungil bersama Bima Aditama, CEO jenius dari sebuah perusahaan teknologi yang sedang naik daun, dan putra kami, Daffa. Tapi sebelum itu, aku adalah Alya Suryakencana, satu-satunya pewaris kerajaan bisnis Suryakencana, sebuah dunia dengan kekayaan dan kekuasaan tak terbayangkan yang kutinggalkan tanpa berpikir dua kali. Aku memilih cinta. Aku memilihnya.
Malam ini, pilihan itu terasa seperti sebuah makam yang kubangun untuk diriku sendiri.
Tasku sudah kukemas, tersembunyi di belakang lemari Daffa. Kata-kata ayahku tujuh tahun lalu bergema di benakku, sebuah rasa sakit yang menghantuiku dan tak pernah bisa benar-benar hilang. "Dia bukan dari kalangan kita, Alya. Baginya, ambisi adalah segalanya. Suatu hari, ambisi itu akan menuntut pengorbanan, dan kau yang akan jadi persembahannya." Dulu aku menyebutnya sinis. Sekarang aku hanya bisa menyebutnya benar.
Aku berbaring di tempat tidur, berpura-pura tidur, mencoba memanggil kembali jiwa Suryakencana yang seharusnya mengalir dalam darahku. Di mana pewaris kejam itu sekarang? Dia terasa seperti hantu, sebuah cerita tentang orang lain. Yang bisa kurasakan hanyalah ruang kosong di dadaku tempat hatiku dulu berada.
Pintu kamar tidur berderit terbuka. Bima melangkah masuk, siluetnya dibingkai oleh cahaya dari lorong. Dia bergerak dengan keyakinan tenang yang dulu pernah membuat jantungku berdebar kencang. Sekarang, itu hanya membuat perutku mulas. Aroma melati dan mawar memenuhi ruangan, seperti kabut beracun.
Dia pikir aku sudah tidur. Aku merasakan kasur sedikit melesak saat dia duduk di sampingku, jari-jarinya dengan lembut menyibakkan sehelai rambut dari pipiku. Sentuhannya, yang dulu menjadi tempat perlindunganku, kini terasa seperti sebuah pelanggaran.
"Alya?" bisiknya, suaranya rendah dan intim. "Sudah tidur?"
Aku tidak bergerak. Aku menjaga napasku tetap teratur, ritme yang lambat dan stabil yang menyembunyikan badai yang mengamuk di dalam diriku. Aku telah melihat berita utama di ponselku satu jam yang lalu. "Taipan Teknologi Bima Aditama dan Sosialita Clara Wijoyo: Pasangan Sempurna Hasil Merger?" Artikel itu disertai foto mereka meninggalkan sebuah restoran bintang lima di SCBD, tangan Clara terselip posesif di lengan Bima. Senyumnya penuh kemenangan. Senyum Bima... tampak lelah.
Parfum melati dan mawar itu tidak hanya ada di kerahnya. Ada di rambutnya, di kulitnya, meresap ke dalam setiap serat pakaiannya. Itu adalah aroma Clara Wijoyo.
Aku tahu dia telah menghabiskan malam-malamnya bersama wanita itu selama berminggu-minggu, dengan dalih menyelesaikan merger antara Aditama Innovations dan Wijoyo Group. Bisnis, katanya. Sesuatu yang harus dilakukan.
Aku bergerak sedikit, seolah-olah terbangun dalam tidurku, dan menyingkirkan tangannya. "Kamu bau," gumamku, suaraku sarat dengan rasa jijik yang hanya sebagian kupura-purakan. "Mandi sana."
Dia membeku. Aku bisa merasakan ketegangan memancar darinya. "Alya, aku... aku minta maaf. Rapat dengan Clara sering sampai larut. Kamu tahu kan dia bagaimana, dia itu seperti mandi parfum."
Dia menyebut namanya dengan begitu mudah. Clara. Bukan Nona Wijoyo. Clara.
"Aku akan mandi sekarang," katanya, suaranya tegang. Dia berdiri dan menuju kamar mandi, ada sedikit rasa malu dalam gerakannya. Dalam beberapa menit, dia akan kembali dengan wangi sabunku, sampoku, mencoba membersihkan aroma wanita itu dari tubuhnya dan berpura-pura bahwa dia pantas berada di sini, bersamaku.
Tapi dia tidak pantas berada di sini lagi. Bagaimana bisa seorang pria yang begitu bergantung pada pengaruh dan kekuasaan wanita lain benar-benar menjadi milikku? Apakah dia seorang CEO atau hewan peliharaan Clara yang berpakaian bagus?
Bagi dunia, aku hanyalah Alya Mayasari, seorang wanita tanpa arti. Seorang yatim piatu yang dia pungut, diberkati dengan kehidupan tenang yang tidak pantas kudapatkan. Tidak ada yang tahu aku adalah wanita yang memegang kunci kerajaan bisnis yang bisa menelan Aditama Innovations tanpa meninggalkan riak sedikit pun.
Suara pancuran berhenti. Dia muncul beberapa saat kemudian, handuk melilit rendah di pinggulnya, tetesan air menempel di dada bidangnya. Dia masih tampan. Sangat tampan. Pria yang sama yang telah menarikku dari reruntuhan kecelakaan mobil tujuh tahun lalu, wajahnya diukir dengan kekhawatiran mendalam yang telah mencuri napasku.
Saat itu aku melarikan diri dari perjodohan, dari dunia ayahku yang menyesakkan. Mobilku tergelincir di atas lapisan es dan terbalik. Dia adalah orang pertama di tempat kejadian, orang asing yang merobek pintu mobil dengan tangan kosong untuk menolongku.
Dia membawaku ke kabinnya, tangannya lembut saat membersihkan lukaku. Aku ingat kekuatan di bahunya, intensitas di mata gelapnya. Dia tidak seperti pria-pria licik dan predator dari duniaku. Dia nyata.
"Kau milikku sekarang," geramnya malam pertama itu, suaranya sarat dengan rasa posesif yang membuatku bergidik. "Aku yang menemukanmu. Kau milikku."
Dia telah menjanjikanku selamanya. Dia telah bersumpah aku akan menjadi satu-satunya pasangannya, ibu dari anak-anaknya, wanita yang berdiri di sisinya saat dia membangun warisannya.
Sekarang, dia masuk ke tempat tidur, kulitnya hangat dan bersih, dan mencoba menarikku ke dalam pelukannya. Tapi hantu melati dan mawar masih melekat dalam ingatanku. Aku tersentak, memunggunginya.
"Alya, ada apa?" gumamnya, napasnya hangat di leherku.
"Tidak ada. Aku lelah."
Dia bukan pria yang telah menyelamatkanku. Pria itu telah pergi, digantikan oleh orang asing yang berbau ambisi dan pengkhianatan.
Ketukan keras dan panik di pintu depan memecah keheningan yang tegang. Saat itu hampir jam dua pagi.
Bima menghela napas, suara kejengkelan yang murni. "Tetap di sini."
Aku mendengar langkah kakinya, pintu depan terbuka, dan kemudian suara mendesak dan berbisik dari kepala pelayan Clara Wijoyo. "Tuan Aditama, mohon maaf, tapi Nona Clara jatuh sakit. Beliau memanggil Anda."
Darahku seakan membeku.
Aku mendengar respons Bima yang seketika, tanpa ragu, tanpa memikirkan aku atau putra kami yang sedang tidur. "Aku akan segera ke sana."
Dia kembali ke kamar, mengenakan kemeja. Dia bahkan tidak menatapku. "Clara tidak enak badan. Dia sering migrain parah. Aku harus pergi."
Dia mengatakannya dengan begitu santai, seolah-olah sedang membicarakan rekan bisnis. Tapi ada kesalahan di sana, keintiman yang tidak disadari. "Dokternya bilang stres membuat migrainnya lebih buruk, dan hanya aku yang tahu cara memijat pelipisnya dengan benar."
Dia berhenti di pintu, sebersit rasa bersalah melintas di wajahnya. "Aku akan kembali sebelum kamu sadar, Alya. Clara itu... rapuh."
Dia berharap aku akan menunggu. Duduk di sini di tempat tidur kami, di rumah kami, sementara dia pergi untuk menenangkan wanita lain. Dia berharap aku akan menjadi Alya yang selalu sabar, selalu pengertian.
Aku menoleh di atas bantal dan memberinya senyum kecil yang kaku. Senyum sesosok hantu. "Tentu saja. Jangan terburu-buru."
Rasa lega terpancar di wajahnya. Dia begitu buta. Dia melihat senyumku dan mengira itu adalah penerimaan. Dia tidak melihat es yang terbentuk di mataku, baja yang mengeraskan tulang punggungku.
Dia pergi. Pintu depan tertutup pelan, meninggalkanku dan Daffa dalam keheningan yang menyesakkan di rumah yang tak lagi terasa seperti rumah.
Dia pikir aku akan menunggu.
Dia salah. Aku tidak akan pernah menunggunya lagi.
---
Bab 1
29/10/2025
Bab 2
29/10/2025
Bab 3
29/10/2025
Bab 4
29/10/2025
Bab 5
29/10/2025
Bab 6
29/10/2025
Bab 7
29/10/2025
Bab 8
29/10/2025
Bab 9
29/10/2025
Buku lain oleh Gavin
Selebihnya