Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Syahadat Cinta

Syahadat Cinta

biabaharda

5.0
Komentar
5.3K
Penayangan
44
Bab

"Saya mulai ragu dengan perasaan yang saya rasakan. Bukan berarti saya tidak lagi mencintai Ustaz tetapi saya memiliki mimpi yang tidak mungkin bisa saya raih jika berada di dalam penjara suci," tulis Adibah Rania Zahara dalam surat yang ditulisnya. "Saya hargai semua keputusan yang kau ambil. Insyaallah hati saya ikhlas menerima keputusanmu. Ini mungkin yang terbaik," Adib Ahda Zahiri menuliskan balasan surat untuk perempuan yang telah dikhitbahnya.

Bab 1 Prolog

Seorang gadis cantik duduk di hadapan cermin ruang riasnya, wajahnya terhias, tubuhnya anggun dengan gaun pernikahan berwarna putih. Matanya memandang nanar ke arah cermin yang berada di depannya. Ekspresi wajahnya sulit untuk diartikan, ada kebahagiaan, ada pula kabut kesedihan di pelupuk matanya. Ia tidak menyangka waktu begitu cepat berlalu, rasanya baru kemarin ia lulus dari Pondok Maarif dan melanjutkah kuliahnya di salah satu Universitas Negeri terkemuka di kota Bandung dan sekarang seorang pria telah siap mengucapkan janji suci pernikahan.

Ia bingung dengan perasaan hatinya sendiri, tidak pernah dalam pikirannya akan menikah dengan pria itu. Pria yang mampu membolak-balikkan hatinya, membuatnya merasakan cemburu, dan bertingkah seperti anak kecil. Kisah cinta yang cukup rumit hingga melaju ke pelaminan.

Perjalanan cinta yang berliku, dimulai dari hal-hal yang tak terduga, bermula dari hatinya yang kesepian. Cinta tulus dari pria itu yang mampu mewarnai hari-harinya dan meramaikan jiwanya yang sepi. Hubungan yang dimulai tanpa sengaja memberi arti yang mendalam dalam kehidupannya.

"Rania sampai kapan kamu akan melamun di depan cermin? Pak penghulu sudah menunggumu."Suara lembut Umi Khadijah, Ibu Rania membuyarkan lamunannya.

"Umi membuat Rania terkejut, tiba-tiba masuk tanpa mengetuk pintu,"keluh gadis bernama Rania itu.

"Ya Allah, sayang Umi berkali-kali mengetuk pintu kamarmu, tapi tidak ada jawaban, makannya jangan melamun terus. Pengantin kok melamun, kerasukan baru tahu rasa,"canda Umi Khadijah.

"Umi kok doanya jelek si," ucap Rania sambil memanyunkan bibir mungilnya.

"Umi tidak mendoakan, habisnya kamu kebanyakan melamun. Apa ada yang mengganggu pikiran kamu? Apa kamu ragu mau menikah dengan dia?" Ekspresi Umi Khadijah terlihat sedikit cemas.

Rania tersenyum, bibir merahnya membentuk lengkungan bulan sabit. "Umi kenapa berpikiran seperti itu? Rania sama sekali tidak ragu untuk melabuhkan hati padanya. Rania hanya sedang mengenang masa-masa yang lalu, sebelum memulai kehidupan baru. Waktu begitu cepat berlalu, Umi."

Umi Khadijah berjalan mendekati Rania, kemudian mengecup puncak kepala Rania yang tertutup kerudung berwarna putih. "Kau benar sayang waktu begitu cepat berlalu, rasanya baru kemarin Umi menggendong kamu dan mengantar kamu ke sekolah, tapi hari ini kamu akan menjadi milik orang lain." Umi Khadijah mulai berkaca-kaca.

"Umi jangan menangis. Itu membuat Rania sedih." Rania mengusap air mata yang berada di pelupuk mata sang ibunda.

"Ini tangisan bahagia sayang, kamu harus tahu di mana pun kamu berada doa Umi akan selalu menyertaimu." Umi Khadijah membelai kedua pipi Rania dengan lembut.

"Iya, Rania tahu itu. Oh iya bukannya Umi ke sini untuk menjemput putri tercinta Umi?" Rania menampakkan senyum kecil di bibirnya.

Umi Khadijah tertawa kecil. "Iya, kamu benar sayang, kok malah kita jadi melankolis begini. Sebaiknya kita turun sekarang sebelum pak penghulu yang datang ke sini."

"Tidak ada yang tahu tentang jodoh, kepada siapa hati kita akhirnya akan berlabuh. Jodoh adalah rahasia Tuhan, hanya kepadanyalah selama ini aku berserah. Tidak pernah terbayang olehku akan berjodoh dengannya, semua telah menjadi suratan takdir yang digariskan oleh Allah. Apa yang kita harapkan memang tidak selalu dapat terwujud. Segala yang ada dalam hidup datang dan pergi begitu saja, begitu pula dengan cinta. Namun, aku yakin bahwa Allah selalu memberi yang kita butuhkan bukan yang kita minta," suara hati Rania berbisik pada dirinya. Bersama Umi Khadijah, Rania dengan mantap melangkahkan kaki menuju tempat berlangsungnya ijab qobul pernikahan dirinya.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku